Jumat, 22 Maret 2013

Perkembangan Bahasa Seorang Anak


PERKEMBANGAN BAHASA SEORANG ANAK
(Suatu Tinjauan Psikolinguistik)
PENDAHULUAN
Semua kejadian yang dialami manusia selalu terkait dengan bahasa. Pada waktu seseorang berbelanja, berbincang-bincang mengenai kehidupan seseorang, atau berdiskusi secara serius tentang masalah politik, etika, dan lain-lain serta menjelaskan suatu hasil penelitian, bahasa digunakan sebagai media komunikasi.
Komunikasi dengan bahasa oleh manusia dilakukan melalui kegiatan berbicara dan mendengarkan (Clark & Clark, 1977). Pada waktu berbicara, ide-ide atau gagasan-gagasan dituangkan ke dalam bentuk kata-kata, juga perasaan-perasaan dan pandangan diungkapkan serta juga maksud yang terkandung yaitu agar maksud tersebut dapat ditangkap oleh pendengar. Semuanya ini menggambarkan kegiatan mental.
Dalam kegiatan mental ini proses kognitif yang terjadi antara lain mengingat apa yang baru didengar, mengenal kembali apa yang baru didengar itu sebagai kata-kata yang ada artinya, berfikir, mengucapkan apa yang telah tersimpan dalam ingatan dan seterusnya.
Mengenai proses mental yang terjadi ketika kita berbicara atau ketika berusaha menangkap atau memahami suatu pembicaraan, merupakan suatu kejaidan yang rumit, walaupun nampaknya sebagai hal biasa, yang sepele. Seolah-olah memang sudah seharusnya demikian, tidak perlu pusing-pusing memikirkannya. Masalahnya, sebagai orang dewasa kita tidak ingat lagi bagaimana dulu kita belajar berbahasa sewaktu kecil. Kapan kita mulai memahami kata, kalimat, awalan dan akhiran (imbuhan)? Usaha apa yang dulu kita lakukan sehingga mampu berbicara? Apakah kita mengalami kesulitan waktu itu ? Bagaimana kita mengatasi kendala, kalau ada.
Kerumitan ini baru terlihat dampaknya tatkala terjadi salah paham. Kita lalu bertanya misalnya, bagaimana suatu kalimat dimengerti fungsinya oleh pendengar sebagai suatu perintah atau pemberitahuan. Atau pertanyaan lain, bagaimana kalimat sindiran dapat ditangkap maknanya? Dalam hal sindiran ini tampaknya peranan berfikir dan fungsi-fungsi kognitif lainnya berperan sangat penting.
Bahasa adalah suatu system komunikasi yang digunakan oleh manusia, baik dihasilkan atau disampaikan secara oral melalui isyarat yang dapat diperluas ke dalam bentuk tulisan (Jo Ann Brewer, 1992).
Setiap bahasa terdiri dari seperangkat system yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantic, dan pragmatic.
Fonologi merupakan salah satu bagian dari tata bahasa, yang mempunyai bunyi-bunyi bahasa pada umumnya (G. Keraf, 1982). Fonologi mempelajari fungsi dari system pembeda bunyi dalam suatu bahasa, mencoba menetapkan aturan-aturan untuk menentukan dan membedakan fonem satu dengan yang lain dan bagaimana ia dapat berfungsi di dalam sistematika bahasa, sehingga komunikasi bahasa dapat menjadi efektif (S. Mar’at, 1983).
Fonem adalah suatu bunyi terkecil yang dapat membedakan arti. Fonem-fonem dapat di bagi menjadi dua kelompok, yaitu fonem-fonem segmental dan fonem-fonem suprasegmental. Fonem segmental dapat dibagi dalam fonem vocal dan fonem konsonan. Fonem suprasegmental terdiri dari nada, tekanan, dan panjang jeda.
Contoh : fonem /p/ dan /g/ dalam kata paying dan gayung atau piring dan giring.
Di sini terlihat bahwa /p/ dan /g/ dalam lingkungan yang sama dapat membentuk dua kata yang berbeda (payung dan gayung atau piring dan giring) dengan arti yang berbeda pula. Oleh karena itu /p/ dan /g/ disebut fonem karena merupakan satuan bunyi terkecil yang membentuk arti.
Jadi secara konkret, dalam fonologi dipelajari bagaimana bunyi itu disusun menjadi kata, bagaimana aturannya bila ingin menggabungkan bunyi menjadi kata dan dimana memberi tekanan dan intonansi pada waktu membunyikan kata-kata, agar makna lebih mudah bisa ditangkap bisa oelh lawan bicaranya. Seorang anak yang baru belajar bahasa, harus belajar membedakan bunyi-bunyi dan pola-pola intonansi yang manghasilkan makna berbeda-beda.
Morfologi ialah ilmu yang membicarakan morfem serta bagaimana morfem itu dibentuk menjadi kata (Yus Badudu, 1976). Morfem adalah bentuk linguistic yang paling kecil, misalnya tidur, jalan, ber-,ke-,-an, panas, dan sebagainya. Morfologi dapat juga diuraikan sebagai struktur gramatik dari suatu kata (Dik & Kooy, 1979, hlm. 171). Selanjutnya dikatakan oleh Yus Badudu bahwa morfem bahasa Indonesia dibedakan atas 4 golongan sebagai berikut :
1.       Morfem yang dapat berdiri sebagai kata, yaitu morfem bebas seperti batu, telur, lima, pergi.
2.       Morfem yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi selalu terikat pada morfem lain yang disebut imbuhan (afiks), disebut morfem terikat morfologis, misalnya : me-, pe-an, ke-an, per-, dan sebagainya.
3.       Morfem yang tidak pernah berdiri sendiri, tetapi selalu terikat dengan morfem yang lain dalam suatu frase, klausa, atau kalimat, disebut morfem terikat sintaksis, contohnya : (belia) paa mula belia, atau (siur) pada simpang siur. Kata sambung (konjungsi) termasuk juga morfem terikat sintaksis, seperti : terapi, karena sehingga; juga kata depan (preposisi) seperti : di, ke, dari, untuk.
4.       Morfem yang unik, selalu terikat baik secara morfologis maupun sintaksis, tetapi bukan termasuk imbuhan. Contohnya :
Juang pada berjuang, semangat juang
Temu pada pertemuan, penemuan, bertemu
Tawa pada tertawa, tertawa-tawa.
Sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang mempelajari dasar-dasar dan proses-proses pembentukan kalimat dalam suatu bahasa (Gorys Keraf, 1982).
Untuk mempelajari kalimat diperlukan kata-kata. Ada beberapa kategori kata (menurut tata bahasa tradisional) sebagai berikut :
1.       Kata benda atau nomina
2.       Kata kerja atau verba
3.       Kata sifat atau ajektiva
4.       Kata ganti atau pronominal
5.       Kata bilangan atau numeralia
6.       Kata keterangan atau adverbia
7.       Kata sambung atau conjungtio
8.       Kata depan atau preposition
9.       Kata sandang atau articula
10.   Kata seru atau interjection
Penggolongan oleh ahli-ahli linguistic yang berdasarkan struktur morfologinya, dikelompokkan ke dalam 4 jenis kata :
1.       Kata benda atau nomina substantive
2.       Kata kerja atau verba
3.       Kata sifat atau ajectiva
4.       Kata tugas atau function words
Kadang-kadang Nampak perbedaan dalam penggolongan kategori pada pelbagai bahasa. Antara bahasa Indonesia dengan bahasa Barat juga terlihat perbedaan karena keduanya berasal dari rumpun yang berbeda. Meskipun masing-masing bahasa mempunyai struktur gramatik yang berbeda, namun paa umumnya semua bahasa tentu memiliki kategori kata kerja dan kategori kata  benda, yang berbeda secara jelas antara keduanya.
Kedua kategori ini adalah suatu kategori yang universal (George A. Miller, 1981). Artinya bahwa kata benda selalu menunjuk tentang sesuatu yang kita bicarakan dan kata kerja menunjuk tentang apa yang sedang terjadi dengan “sesuatu” tersebut.
Setelah mengetahuui kategori kata-kata, maka kita dapat menyusun kata-kata menjadi suatu struktur kalimat menurut aturan-aturan tertentu.
Semantik ialah studi mengenai “arti” suatu perkataan atau kalimat. Ada bermacam-macam teori mengenai semantic, yang berbeda-beda dalam pendekatan permasalahannya. Dari teori yang banyak itu dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu :
Teori Referensi
Teori referensi yang mempelajari kaitan antara kata dengan objeknya atau bendanya yang dirujuk (that it’s refers). Contohnya : perkataan “sepatu” akan merujuk pada suatu sepatu apa saja yang di dunia. Menurut teori ini hubungan antara kata dengan objeknya disebut hubungan referensi, artinya kata merujuk pada benda. Kembali pada contoh di atas, apabila seseorang menyebut “sepatu”, maka ia akan menghubungkan bunyi ujaran tersebut dengan sepatu apa saja, tidak peduli bagaimana bentuknya. Dengan cara demikian terjadilah suatu hubungan tertentu yang disebut “arti”.
Teori Pengertian (Sense)
Teori pengertian (sense) yang mempelajari hubungan antara kata dengan konsepnya. Contohnya : kata “sepatu” tadi menimbulkan suatu konsep tentang sepatu, yaitu suatu benda yang dipakai sebagai alas kaki. Jadi, orang tidak melihat bendanya dulu untuk mengetahui apa sepatu itu.
Suatu konsep biasanya dihubungkan dengan konsep-konsep lainnya yang berkaitan dengan konsep tersebut. Misalnya dalam asosiasi bebas, seseorang mendengar kata “kursi”, maka kata pertama yang akan muncul dalam pikiran yang dikaitkan dengan kursi itu ialah “meja”. Kedua perkataan itu (kursi dan meja) ditengahi (mediated) oleh konsep-konsep (S. Marat, 1983).
Pragmatik adalah penggunaan bahasa untuk mengekspresikan intention dan agar seseorang mengerjakan sesuatu. Pragmatik meliputi aturan-aturan berbahasa yang baik bila sedang berada di dalam suatu pertemuan atau dalam saat santai atau bermain-main. Juga ketika sedang diundang makan malam bersama-sama orang lain.
PERKEMBANGAN FONOLOGI
Pada umur 3-4 bulan anak mulai memproduksi bunyi-bunyi. Mula-mula ia memproduksi tangisan atau bunyi Cooing (mendekut, Hassan Shadily), seperti bunyi burung merpati (Wolf, dalam S. Marat, 1983).
Pada usia 5-6 bulan ia mulai mengoceh. Ocehannya kadang-kadang mirip bunyi ujaran.
Pada pertengahan tahun pertama, anak-anak mulai membedakan bunyi-bunyi (Ervin Tripp, dalam Clark & Clark, 1977) dan selanjutnya dikatakan bahwa persepsi bahasa (speech perception) kelihatannya bergantung pada interaksi anak-anak dengan lingkungannya. Hal ini terbukti dari eksperimen bahwa dari orang tua tuna rungu tidak berhasil menemukan atau mendeteksi pola-pola bunyi semata-mata dari rangsangan-ransangan auditif dari televise dan radio (Ervin Tripp, dalam Clark & Clark, 1977). Dalam hal ini, rupa-rupanya adalah bunyi-bunyi yang selalu kembali terdengar oleh si anak pada saat-saat yang mempunyai arti bagi dirinya, misalnya bunyi atau suara yang ia dengar saat ia dimandikan, diberi makan, ditimang-timang, atau diberi rangsangan visual oleh pengasuhnya.
Pada periode babbling (mengoceh) ia membuat bunyi-bunyi yang makin bertambah variasinya dan makin kompleks kombinasinya. Mereka juga mengkombinasikan vocal dengan konsonan menjadi suatu sequence seperti silabe, umpamannya ba-ba-ba, ma-ma-ma, pa-pa-pa, dan seterusnya. Ocehan ini tidak dapat diinterpretasikan dan banyak di antaranya yang nantinya setelah ia dapat berbicara, tidak dipakai lagi dalam mengungkapkan kata-kata yang berarti.
Ocehan ini makin bertambah sampai si anak mampu memproduksi perkataan yang pertama, yaitu pada periode kalimat satu kata, yang kira-kira muncul sekitar usia 1 tahun.
Suatu hal yang menarik ialah adanya unformitas pada anak-anak dengan perlabagi bahasa, dalam hal bunyi-bunyi pertama yang mereka produksikan, yaitu konsonan dengan p atau m, vocal belakang a mendahului konsonan belakang k dan g serta vocal depan I dan u (Laughlin, 1978).
Jadi, dalam perkembangan fonologi, seorang anak harus mempelajari aturan-aturan fonologi, misalnya aturan untuk mengkombinasikan bunyi-bunyi menjadi suatu bunyi ujaran yang ada dalam suatu bahasa. Di samping itu, mereka juga harus belejar menghubungkan bunyi dengan acuannya, artinya seorang anak akan menangkap atau memperhatikan hal-hal yang penting dalam suatu ucapan atau kalimat apabila hal itu mengacu (make reference to) kepada objek-objek yang konkret atau hubungan-hubungan dan kejadian-kejadian yang dialami si anak. Menghubungkan bunyi dengan acuannya ini merupakan suatu proses yang kompleks, bukan sekedar mempelajari nama dari benda-benda seperti apa yang dikatakan oleh kaum behavioris (Ervin-Tripp, dalam Clark & Clark, 1977).
Begitu anak-anak melewati periode mengoceh, mereka mulai mengevaluasi segmen-segmen fonetik tertentu, yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan untuk mengucapkan perkataan. Mereka belajar bagaimana mengucapkan sequence of segments, yaitu silabe-silabe (suku kata) dan kata-kata.
Cara anak-anak mencoba menguasai segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori Hypothesis-testing (Clark & Clark, 1997) atau discovery procedures (Braine). Menurut teori ini, anak-anak menguji-coba pelbagai hipotesis tentang bagaimana memproduksi bunyi yang betul. Contohnya : Anak mencoba mengucapkan perkataan doggie. Mula-mula ia mengucapkannya sebagai do, kemudian berubah menjadi dodie lalu goggie dan terakhir baru doggie.
Kadang-kadang apabila si anak hanya mempunyai beberapa segmen saja yang dikuasai, ia berhasil menemukan cara yang tepat atau benar untuk memproduksi segmen tertentu misalnya contoh di atas, ia berhasil mengucapkan dodie (segmen d). Kemudian apabila ia menambahkan beberapa konsonan letup lainnya ke dalam daftar inventarisasinya, mungkin ia mula-mula mengalami kesukaran untuk mengucapkan dua konsonan letup yang berbeda dalam satu perkataan (segemn d dan g). Oleh karenanya, ia memusatkan diri pada segmen yang baru, yaitu segemen g sehingga terbentuklah goggie karena si anak memproduksikannya pada dua tempat. Ia mulai memilih tanda-tanda (gestures) artikulasi yang benar untuk memproduksi doggie seperti yang umumnya diucapkan oleh orang dewasa (Clark & Clark, 1977).
Pada tahap-tahap permulaan dalam perolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan dengan cara sebagai berikut :
1.       Menghilangkan konsonan akhir (nyamuk – mu).
2.       Mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal (kunci – ci).
3.       Menghilangkan silabe yang tidak diberi tekanan (semut – mut).
4.       Duplikasi silabe yang sederhana (nakal-kakal).
Menurut beberapa hipotesis, penyederhanaan ini disebabkan oleh keterbatasan dalam rentang ingatan, kemampuan representasi, dan ketrampilan artikulasi.
Penyederhanaan tersebut di atas akan hilang bilamana si anak telah menguasai lebih banyak segmen-segmen dan urutan segmen-segmen yang baru diperoleh dan anak mengoreksi dirinya sendiri apabila dalam pengucapan kata kurang tepat.
Praktik dan koreksi diri ini memberikan bukti tambahan bahwa anak-anak mengandalkan pada “model” yaitu the adult based representations of word (Clark & Clark, 1977).
PERKEMBANGAN SEMANTIK
Dalam proses perolehan bahasa, anak-anak harus belajar mengerti ari dari kata-kata yang baru, dengan kata-kata lain mengembangkan suatu “kamus arti kata” (a dictionary of meaning).
Mula-mula mereka menduga-duga arti suatu perkataan dari konteks dimana perkataan itu diucapkan. Dalam usahanya ini, mereka mulai dengan dua asumsi mengenai fungsi dan isi dari suatu bahasa, yaitu :
1.       Bahasa dipergunakan untuk komunikasi. Asumsi pertama mungkin timbul karena ketergantungan mereka pada gestures atau tanda-tanda yang sering menyertai pembicaraan orang dewasa. Langkah selanjutnya ialah mengambil kesimpulan bahwa bahasa, seperti juga gestures, digunakan untuk komunikasi.
2.       Bahasa mempunyai arti dalam suatu konteks tertentu. Anak-anak berasumsi bahwa ada hubungan yang masuk akal antara apa yang dikatakan pembicara dalam suatu situasi tertentu dengan situasinya sendiri.
Dalam usahanya untuk mengerti arti suatu perkataan, anak-anak harus membuat suatu hipotesis tentang arti kata. Caranya ialah dengan membuat pemetaan (mapping) konsep-konsep mereka tentang objek-objek, kejadian-kejadian, sifat-sifat, dan hubungan-hubungan yang tidak asing bagi mereka (Clark & Clark, 1977). Contohnya : Ibu menunjuk seekor anjing dan barkata, Bow-wow. Si anak kemudian mengaplikasikan bow-wow untuk semua binatang yang berkaki empat. Hipotesisnya mula-mula mungkin adalah bahwa bow-wow mengacu kepada objek yang dapat bergerak atau objek yang mempunyai kepala dan ekor, dan lain-lain. Dengan caranya si anak mengaitkan “arti kata yang diduga olehnya” kepada suatu konsep tertentu, yaitu sesuatu yang telah diketahuinya.
Gejala yang Nampak pada setiap bahasa ialah adanya over extension (perluasan) dalam pemakaian suatu perkataan untuk mengacu kepada suatu kategori yang lebih luas daripada yang seharusnya ada dalam bahasa orang dewasa. Dasar dari perluasan ini sering Nampak dalam suatu bentuk atau mungkin juga dalam ukuran yang digabung dengan bentuk. Contoh : objek bulat dan kecil dikelompokkan dan disebut “bola”.
Menentukan hubungan antara perkataan dan konsep tidaklah mudah. Apalagi karena anak-anak sejak permulaan jarang dapat “kena” dengan arti kata yang dianut orang dewasa, maka mereka memerlukan waktu beberapa tahun untuk penyesuaian dan penghalusan hipotesis dan strateginya agar arti kata anutan si anak cocok dengan arti kata orang dewasa. Proses penyempurnaan ini dapat memakan waktu cukup lama, sampai terjadinya kelengkapan.
PERKEMBANGAN SINTAKSIS
Selama periode kalimat satu kata dan kalimat dua kata, anak-anak dengan menghilangkan preposisi, artikel, dan sebagainya, sehingga bentuknya menyerupai telegram.
Sesudah kalimat dua kata, si anak dapat membuat kalimat tiga kata yang konstruksinya aadlah sebagai berikut :
Agent – Action – Object :
1.       I see doggie
2.       Penjahat pake pistol (Taufik 2;6)
3.       Ibu bawa coklat (Puti 2;7).
Atau Agent – action – location : sit daddy chair.
Kalimat empat kata muncul pada akhir tahap I dan bentuk kalimat yang bisanya diproduksi adalah sebagai berikut :
Agent – action – object – location
Pada tahap I belum terjadi enfleksi (perubahan kata yang disesuaikan dengan tenses). Infleksi mulai dalam tahap II. (Brown, dalam S. Marat, 1983) telah mempelajari 14 grammatical morphemes dari bahasa Inggris, antara lain plural –s, preposisi on, dan in, past tense regular, past tense irregular. Kepandaian atau keahlian untuk membuat infleksi memerlukan banyak waktu untuk penguasaannya.
PERKEMBANGAN MORFOLOGI
Pada periode kalimat dua kata, anak-anak sudah mulai membuat kalimat yang terdiri dari dua kata dan kata yang dipergunakannya itu pada umumnya masih berupa dua kata dasar yang dihubungkan. Jadi, terlihat belum adanya imbuhan-imbuhan pada kata dasar yang dapat menimbulkan perbedaan arti kata.
Pada kalimat dalam bahasa-bahasa Eropa, perubahan-perubahan yang terjadi pada kata dalam bentuk infleksi morfologi baru muncul pada frase diferensiasi (2,5 tahun ke atas-5 tahun), ketika anak-anak mulai mengadakan diferensiasi pada kelas kata dan diferensiasi morfologi.
Dalam bahasa Indonesia, belum diketahui bagaimana perkembangan morfologi pada bahasa anak karena belum ada data-data empiris yang cukup representative (S. Marat, 1983).
Slobin (dalam Dale, P.S., 1976) menemukan pada 40 bahasa anak  yang telah diselidiki adanya kesamaan hukum-hukum perolehan bahasa (operating principles) dan disebutkan antara lain:
Prinsip Opresional 1
Pada awal pengenalan kata, anak-anak mencari dan akhirnya menemukan bahwa kata-kata itu bermacam-macam bentuknya dan bermacam-macam pula maknanya. Melalui bantuan konteks, lambat laun si anak mengetahui bahwa misalnya perkataan bau dan bahu, tau dan tahu dan pas, dan lain-lain sepintas masing-masing pasangan tersebut terdengar sama apabila diucapkan, merujuk kepada hal yang berbeda. Mereka mengetahui hal ini karena orang dewasa selalu memakai pasangan kata tersebut dalam situasi, kondisi, dan kejadian yang berbeda-beda.
Prinsip Oprasional 2
Masih dalam kaitan dengan makna suatu perkataan. Anak-anak juga menemukan misalnya bahwa ada 2 macam hal yang harus dibedakan, yaitu kata-kata tugas (function words) dan imbuhan-imbuhan, juga bahwa akhiran atau sufiks –an , -kan, dan –I selalu berhubungan dengan kata kerja, sufiks –nya dengan kata benda, ada ulangan kata, dan sebagainya.
Prinsip Oprasional 3
Menghindari adanya kekecualian, hal mana terbukti dengan adanya kecenderungan anak mengadakan generalisasi seperti telah diuraikan pada sebelumnya.
Prinsip Oprasional 4
Memperhatian akhiran-akhiaran kata dan mereka berkesimpulan bahwa akhiran atau sufiks itu dapat mengubah makna suatu kata. Peranan konteks juga sangat penting dalam hal ini. Slobin dan Mikes (dalam S. Marat, 1983) menemukan bukti dari perlbagai bahasa bahwa anak-anak memperhatikan akhiran atau sufiks dan memakainya lebih dulu daripada awalan atau prefiks.
Prinsip Oprasional 5
Anak-anak mangamati bahwa penempatan kata dan urutan kata dan aturan-atutannya. Juga lama kelamaan dapat memisahkan antara awalan dan akhiran serta pemakaiannya, sehingga tidak terbalik atau keliru dalam pemakaian. Contoh : awalan di- lebih dulu dari me-.
PEROLEHAN BAHASA ANAK
Bagaimana proses belajar berbahasa pada anak-anak terjadi?
Ada 3 teori utama yang mencoba menjelaskan perkembangan bahasa pada anak-anak, yaitu Model Behaviorist, Model Linguistik, dan Model Kognitif. Di bawah ini akan diuraikan secara singkat masing-masing model tersebut (Butler; King; Berko-Gleason dalam Jo Ann Brewer (1992).
Model Behaviorist
Inti padangan model ini ialah : Language is a function of reinforcement. Orang tua mengajar anaknya berbicara dengan memberikan reinforcement atau penguatan (prinsip behaviorism) terhadap tingkah laku verbal. Dengan pemberian reinforcement ini anak belajar memberi nama pada benda-benda secara tepat, sehingga anak mengetahui arti kata-kata. Hal ini terjadi karena setiap kali si anak berbuat suatu kesalahan, akan segera dikoreksi oleh orang tuanya atau masyarakat verbal lainnya, melalui reinforcement yang selektif.
Penguasaan gramatika juga terjadi dengan cara yang sama, tetapi bagaimana anak dapat tahu arti kata-kata? Menurut teori ini anak-anak mula-mula merupakan suatu tabula rasa. Kata-kata yang didengarnya disimpan dalam ingatan melalui asosiasi. Kemudian dalam observasinya sehari-hari terhadap lingkungannya, ia melihat adanya suatu hubungan antara entity (kombinasi antara objek dengan (person) dengan suatu aksi tertentu. Lama-kelamaan terjadi asosiasi yang kuat antara keduanya dan asosiasi tersebut disimpannya dalam ingatan (memory). Makin banyak rangsangan bahasa yang diterimanya dari lingkungan, makin banyak asosiasi yang terjadi dan disimpan dalam ingatannya.
Bagaimana bentuk asosiasi yang terjadi? Bentuknya ternyata sama dengan bentuk skema linguistic, yaitu seperti struktur kalimat N-V (Noun-Verb). Jadi skema S-R dari teori stimulus-Respon mempunyai struktur asosiasi yang sesuai dengan struktur linguistic.
Sesuai dengan hokum asosiasi, dikatakannya pula bahwa item (butir) yang kedua selalu menerangkan dan bergantung pada item yang pertama. Aliran ini juga menganggap penting aspek imitasi dalam perolehan bahasa anak (S. Marat, 1983).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa seorang anak yang belum memahami bahasa sama sekali akan dihadapkan pada lingkungan sehari-hari yang menggunakan bahasa.
Mereka mendengar ujaran-ujaran yang diucapkan oleh orang di sekitarnya, kemudian mencoba menirunya. Bilamana ia meniru dengan benar ia akan mendapat ganjaran atau reward dari lingkungannya dan berusaha mengulang-ulang ujaran tersebut. Meskipun penirunya tidak sekaligus sempurna, namun dengan cara ini lambat laun ia akan menguasai bahasa yang digunakan orang dewasa sekitarnya.
Anak-anak juga dapat belajar meniru kata-kata dan frasa-frasa yang didengarnya tanpa memahami artinya. Disamping itu, anak-anak sering mengucapkan kata-kata yang tidak diajarkan oleh orang-orang di sekitarnya, namun mengikuti aturan-aturan tertentu dan menolak memperbaikinya bila diminta (Jo Ann Brewer, 1992).
Tampaknya mereka mempunyai jalan pikiran yang menghasilkan aturan-aturan yang dibuatnya sendiri meskipun usianya masih sangat muda (kurang lebih 2 tahun). Dalam hal ini Model Behaviorist belum dapat menjelaskannya.
Model Linguistik
Chomsky (dalam Jo Ann Brewer, 1992) adalah tokoh yang mengembangkan model ini. Menurut pendapatnya, anak-anak dilahirkan sudah dilengkapi dengan kemampuan untuk berbahasa. Melalui kontak dengan lingkungan social, kemampuan bahasa tersebut akan tampak dalam perilaku berbahasa.
Dari sudut pandang ini, bahasa adalah suatukemampuan yang khas yang dipunyai manusia. Selain itu Chomsky dan kawan-kawan menganggap perolehan bahasa tidak diperoleh dengan cara induksi seperti diterangkan oleh mazhab empiris, melainkan karena manusia secara biologis memang sudah diprogramkan (pre-programmed) untuk memperoleh bahasa. Hampir semua anak memformulasikan data-data bahasa yang diperoleh melalui hipotesis testing, dan lambat laun anak menguasai teori tentang gramatik.
Menurut Chomsky, seorang anak bukanlah suatu tabula rasa, melainkan telah mempunyai faculty of language (faculty = kemampuan untuk berkembang atau untuk belajar). Faculty ini adalah khas manusia sedangkan binatang tidak mempunyai faculty tersebut. Faculty ini berdiri sendiri, tidak bergantung pada faculty yang lain seperti berfikir, pengamatan, dan sebagainya. Faculty ini semata-mata berupa factor linguistic dan berbeda dengan bentuk-bentuk berfikir yang primitive seperti pada hewan. Selanjutnya dikatakan, apabila seorang anak mempunyai faculty of language, maka semua anak di dunia ini akan mengembangkan tipe-tipe bahasa yang sama, yang berarti ada suatu cirri universal dalam segala macam bahasa.
Faculty of language ini telah mengandung pelbagai aturan tatabahasa, sehingga anak tidak mengalami kesukaran dalam belajar bahasa. Faktor linguitik bawaan ini oleh Chomsky disebut innate mechanism. Bahwa anak-anak mempunyai innate mechanism dibuktikan dari cara mereka menyusun kalimat-kalimat dengan  aturan-aturannya sendiri, yang mustahil didapatkannya dari luar (orang tua, dan lain-lain) karena kalimat-kalimat yang didengarnya tidak demikian bentuknya atau berbeda bentuknya. Lagipula input bahasa yang didapatnya relative masih sedikit untuk dapat diinduksikan daripada suatu aturan gramatika. Dalam kenyataannya sehari-hari tatabahasa itu hanya terlihat struktur luarnya (surface structure) saja, sedangkan struktur dalam atau deep structure masih merupakan tanda Tanya. Struktur dalam (deep structure) inilah yang dicoba oleh Chomsky untuk diuraikan.
Model Kognitif
Kelompok ini diwakili oleh Piaget, Bruner, dan Vigotsky (dalam Jo Ann Brewer, 1992). Model ke 3 ini adalah pandangan terbaru mengenai perolehan bahasa pada anak-anak ialah pandangan yang disebut Model Proses (Process Models) atau Analisis Strategi (Strategy Analysis) (S. Marat, 1983).
Inti dari pendekatan baru ini adalah suatu model kognitif untuk bahasa, yang mencoba menjelaskan bagaimana bahasa itu diproses secara kognitif dan bagaimana manifestasinya dalam tingkah laku (Laughlin, 1978). Model ini berusaha menghubungkan segi performance dan segi competence, hal mana belum diungkapkan hubungannya oleh kedua pendekatan yang terdahulu.
Para ahli bekerja di lapangan dewasa ini lebih menyukai model ketiga ini, yaitu yang memandang bahasa dari sudut prosesnya (in process terms). Hubungan antara bahasa dan perkembangan kognitif ditinjau dari perspektif psikolinguistik dewasa ini diterangkan sebagai berikut :
Bahwa anak-anak dapat belajar bahasa memang berkat adanya hal-hal yang innate, tetapi hal-hal yang innate ini bukanlah a set of ideas seperti yang diungkapkan oleh aliran rasionalis (Chomsky dkk.), melainkan berupa kapasitas kognitif dan kapasitas untuk belajar. Kedua kapasitas tersebut lebih general dan predetermining sifatnya, tidak sederhana seperti yang diungkapkan oleh aliran empiris (Skinner dkk.).
Kemampuan umum (general) berarti bahwa anak-anak menemukan pola-pola linguistic seperti halnya mereka menunjukkan pola-pola persepsi dalam dunia penginderaan. Kedua proses ini merupakan bagian dari perkembangan kognitif umum. Jadi, dikatakan bahwa seorang individu itu berkembang, baik linguistic maupun perceptual adalah hasil dari prosedur atau kesimpulan kognitif yang bersifat innate (Laughin, 1978). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa apa yang disebut Chomsky dkk. Sebagai suatu universal bahasa tidak lain dari hasil proses-proses kognitif yang diasumsikan universal sifatnya. Dengan demikian transformasi yang dibicarakan oleh Transformational Generative Grammar (TGG) dari Chomsky sebenarnya adalah suatu operasi kognitif yang bukan hanya direfleksikan dalam bahasa, tetapi juga dalam persepsi visual (Beher, 1970). Contohnya : bahwa orang dapat membedakan antara kata benda dengan kata kerja dalam suatu bahasa merupakan hasil dari strategi kognitif dalam membedakan antara objek dan hubungan antara objek.
LINGKUNGAN YANG MENDUKUNG PEROLEHAN BAHASA
Hampir semua anak belajar berbahasa dan berhasil menguasai ke-5 aspek bahasa, yaitu fonologi, semantic, sintaksis, morfologi dan pragmatic yang selanjutnya dapat menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan berkomunikasi mereka. Bagaimana mereka mencapai keberhasilan tersebut? Apa yang telah dilakukan oleh orang tua atau pengasuhnya untuk keberhasilan itu? Dari observasi terhadap para orang tua dan pengasuh-pengasuh ditemukan bahwa mereka :
Menggunakan Pendekatan Informal
Artinya, mereka mengajarkan bahasa dalam situasi rileks, kadang-kadang sambil bermain-main. Apa yang menjadi topic pembicaraan juga mengenai kejadian-kejadian yang dialami sehari-hari, misalnya ketika masih usia balita orang tua mengajak berbicara pada waktu anak sedang dimandikan, diberi makan, atau peristiwa-peristiwa lainnya. Bahkan ketika anak belum mampu berbicara sekalipun orang tua telah mengajaknya berbicara secara lengkap. Dengan bertambahnya usia, bahasa yang digunakan orang tua memang lebih dikontrol, namun tetap dikaitkan dengan konteks kegiatan yang sedang dilakukan anak. Jadi tidak ada perencanaan sebelumnya apakah ada topic-topik tertentu untuk hari-hari tertentu, tidak ada “pelajaran bahasa” untuk setiap harinya. Bahasa dipelajari melalui interaksi yang terjadi, yang bermakna bagi anak.
Memfokuskan Diri pada Maksud Pembicara
Orang tua, pengasuh atau orang dewasa lainnya pada umumnya dalam menanggapi ucapan-ucapan atau bahasa anak lebih memfokuskan perhatiannya pada apa yang diinginkan anak daripada memperhatikan benar tidaknya ucapannya.
Dengan cara demikian anak akan merasa memperoleh rewards karena orang tuanya memahaminya, dan bahwa ia dapat berkomunikasi serta terpenuhi kebutuhannya. Keberhasilan ini memotivasi anak untuk terus belajar. Pada gilirannya nanti ia akan menemukan sendiri pola-pola struktur kalimat yang benar, sejalan dengan perkembangan kognisinya, yaitu tatkala ia mampu membuat konseptualisasi hubungan antara Agent – Action – Object atau Location. Pada dasarnya, belajar bahasa lebih dikendalikan oleh pembelajarnya sendiri daripada rewards dari lingkungan. Bila orang tua membetulkan ucapan anak (pada waktu anak masih sangat muda) mereka lebih banyak membetulkan isi pembicaraan daripada bentuk ucapan si anak.
Harapan akan Keberhasilan
Semua orangtua mengharapkan anaknya akan mampu berbicara dengan baik pada waktu mereka sudah besar. Mereka tidak terlalu menghawatirkan bila mendapatkan anaknya yang masih balita masih berbicara cadel atau kalimatnya tidak sempurna. Mereka percaya bahwa hambatan-hambatan ini hanya bersifat sementara, tidak menetap dan hanya merupakan bagian dari proses belajar bahasa. Dari hari ke hari bahasa akan bertambah baik; bentuk-bentuk yang tidak semestinya akan hilang dan diganti dengan bentuk-bentuk yang matang, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang berlaku di lingkungannya.
Sifat Holistik dalam Belajar Bahasa
Bahasa mempunyai struktur, fungsi dan proses. Struktur bahasa menyangkut suatu system dimana unsur-unsur bahasa diatur dan dihubungkan satu dengan yang lain (Bloom & Lahey, 1978). Dalam menghubungkan unsur-unsur tersebut dikenakan peraturan tertentu yaitu tatabahasa. Unsur-unsur yang dihubungkan itu terdiri atas isi bahasa dan bentuk bahasa.
Isi bahasa
Isi bahasa adalah apa yang menjadi bahan pembicaraan orang, dan apa yang kita tangkap dari pembicaraan tersebut pada umumnya mengenai objek-objek dan kejadian-kejadian. Dengan kata lain mengenai konsep tentang objek dan hubungan antara konsep-konsep yang sering juga disebut sebagai kategori non-linguistik.
Bentuk bahasa
Sedangkan bentuk bahasa disebut kategori linguistic, dimana unit-unit linguistic seperti kata-kata dan kalimat dapat berfungsi dalam penggunaan bahasa.
Fungsi bahasa menyangkut alas an-alasan mengapa seseorang berbicara. Fungsi bahasa pada umumnya mengkomunikasikan apa yang ingin disampaikan seseorang. Ada dua macam fungsi bahasa, yakni yang bersifat intrapersonal (mathetik), yaitu penggunaan bahasa untuk memecahkan persoalan (problem solving), mengambil keputusan, berfikir, mengingat, dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat interpersonal (pragmatic), yaitu yang menunjukkan adanya suatu pesan penutur.
Proses bahasa, menyangkut suatu deskripsi tentang alat-alat, materi dan prosedur yang ada dalam mental kita yang dipergunakan manusia untuk memproduksi dan mengerti bahasa. Jadi berkaitan dengan persepsi manusia terhadap bahasa dan produksi bahasa. Persepsi bahasa berkaitan dengan kemampuan manusia untuk menganalisis bunyi ujaran, mengidentifikasikannya sebagai suatu kata atau kalimat, menangkap ide-ide yang terkandung dalam kalimat tersebut. Mengenai proses mental yang terjadi ketika kita berbicara atau ketika menangkap suatu pembicaraan, merupakan suatu kejadian  yang rumit (Clark & Clark, 1977).
Ketiga aspek tersebut harus dipelajari oleh anak yang sedang belajar bahasa. Dalam kenyataannya anak belajar bahasa, fungsi bahasa, dan bagaimana menggunakan bahasa dalam interaksi social pada saat yang bersamaan (Halliday, dalm Jo Ann Brewer, 1992). Para orang tua tidak mengajarkan setiap aspek satu per satu, melainkan mengajar dengan cara mengajaknya bercakap-cakap (conversation) dalam konteks yang bermakna, dan dalam situasi social. Jadi bahasa tersebut ditampilkan sebagai suatu keseluruhan, dalam suatu konteks dan dalam situasi social sekaligus.
Bercirikan Kreativitas
Menurut Goodman et al. (dalam Jo Ann Brewer, 1992), seorang anak belajar bahasa selalu menggunakan kemampuan kreatifnya, mereka menciptakan kata-kata atau frasa-frasa baru, akan tetapi pada saat yang sama mereka akan kembali ke aturan-aturan social yang sudah baku, terutama bila mereka menyadari bahwa kata-kata atau frasa-frasa yang diciptakan gagal mengkomunikasikan apa yang mereka maksud atau inginkan.
Menghargai Keberhasilan
Kemajuan anak dalam belajar bahasa sangat cepat, biasanya mereka telah menguasai bahasa pertamanya sebelum mereka masuk sekolah Taman Kanak-Kanak. Mereka telah mampu membuat kalimat sederhana yang lengkap yang berarti telah menguasai struktur sintaksinya dalam bahasa pertamanya. Sejak masih sangat muda telah mampu mengadaptasikan bahasanya terhadap lawan bicaranya.
Sebagai kesimpulan, orang tua berhasil mengajarkan bahasa kepada anaknya apabila mereka menggunakan bahasa itu dalam situasi kehidupan yang riel tanpa suatu niat khusus untuk “mengajar” bahasa dan menerima ketidaksempurnaan dan menghargai keberhasilan anak serta memberikan kesempatan kepada anak untuk berkreasi dengan kata-kata. Dalam proses belajar tersebut selalu dikaitkan dengan interaksinya dengan orang lain, dan menekankan makna ujaran daripada bentuk ujarannya (Jo Ann Brewer, 1992).
DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S., Bahasa Indonesia : Dalam Pembinaan di TVRI. Bandung : CV Pustaka Prima, 1976.
Bloom, L. & M. Lahey, Language Development and Language Disorders. New York : John Wiley &
Sons, 1978.
Brewer, Jo Ann., Introduction to Early Childhood Education. Boston : Allyn and Bacon, 1992.
Clark, H.H. & E.V. Clark, Psychology and Language : An Introduction to Psycholinguistics, New
York : Harcourt Brace Jovanovich, Inc. 1997.
Dale, P.S., Language Development : Structure and Function. New York : Holt, Rinehart, and
Winston, 1976.
Kempen, G.A.M., Memory for word and sentence meanings : a Setfeature model, disertasi
Katholieke University Nijmegen. Nijmegen : Drukkerij Schipper, 1970.
Kempen G.A.M., De Taalgebruiker in de mens : een uitzicth over de taalpsychologie, Groningen :
H.D. Tjeenk Wilink B.V., 1976.
Kempen, G.A.M., Onder Woordenbrengen : Psychologische aspecten van expressief taalgebrink,
Groningen : Wolters Noodhoof, 1977 (Inaugurale Rede).
Keraf, G., Tatabahasa Indonesia : Untuk Sekolah Lanjutan Atas, Ende-Flores : Penerbit Nusa
Indah, 1982.
Laughlin, B. MC., Second-Language Acquisition in Childhood, New Jersey : Lawrence Erlbaum
Associates, Publishers, 1978.
Miller, G.A., Language and Speech. San Francisco : W.H. Freeman and Company, 1981.
Samsuniwiyati Marat, Psikolinguistik, Diktat Mata Kuliah, Fakultas Psikologi Universitas
Padjajaran, Bandung, 1983.