PERKEMBANGAN
BAHASA SEORANG ANAK
(Suatu
Tinjauan Psikolinguistik)
PENDAHULUAN
Semua
kejadian yang dialami manusia selalu terkait dengan bahasa. Pada waktu
seseorang berbelanja, berbincang-bincang mengenai kehidupan seseorang, atau
berdiskusi secara serius tentang masalah politik, etika, dan lain-lain serta
menjelaskan suatu hasil penelitian, bahasa digunakan sebagai media komunikasi.
Komunikasi
dengan bahasa oleh manusia dilakukan melalui kegiatan berbicara dan mendengarkan
(Clark & Clark, 1977). Pada waktu berbicara, ide-ide atau gagasan-gagasan
dituangkan ke dalam bentuk kata-kata, juga perasaan-perasaan dan pandangan
diungkapkan serta juga maksud yang terkandung yaitu agar maksud tersebut dapat
ditangkap oleh pendengar. Semuanya ini menggambarkan kegiatan mental.
Dalam
kegiatan mental ini proses kognitif yang terjadi antara lain mengingat apa yang
baru didengar, mengenal kembali apa yang baru didengar itu sebagai kata-kata
yang ada artinya, berfikir, mengucapkan apa yang telah tersimpan dalam ingatan
dan seterusnya.
Mengenai
proses mental yang terjadi ketika kita berbicara atau ketika berusaha menangkap
atau memahami suatu pembicaraan, merupakan suatu kejaidan yang rumit, walaupun
nampaknya sebagai hal biasa, yang sepele. Seolah-olah memang sudah seharusnya
demikian, tidak perlu pusing-pusing memikirkannya. Masalahnya, sebagai orang
dewasa kita tidak ingat lagi bagaimana dulu kita belajar berbahasa sewaktu
kecil. Kapan kita mulai memahami kata, kalimat, awalan dan akhiran (imbuhan)?
Usaha apa yang dulu kita lakukan sehingga mampu berbicara? Apakah kita
mengalami kesulitan waktu itu ? Bagaimana kita mengatasi kendala, kalau ada.
Kerumitan
ini baru terlihat dampaknya tatkala terjadi salah paham. Kita lalu bertanya
misalnya, bagaimana suatu kalimat dimengerti fungsinya oleh pendengar sebagai
suatu perintah atau pemberitahuan. Atau pertanyaan lain, bagaimana kalimat
sindiran dapat ditangkap maknanya? Dalam hal sindiran ini tampaknya peranan
berfikir dan fungsi-fungsi kognitif lainnya berperan sangat penting.
Bahasa
adalah suatu system komunikasi yang
digunakan oleh manusia, baik dihasilkan atau disampaikan secara oral melalui
isyarat yang dapat diperluas ke dalam bentuk tulisan (Jo Ann Brewer, 1992).
Setiap
bahasa terdiri dari seperangkat system yaitu fonologi, morfologi, sintaksis,
semantic, dan pragmatic.
Fonologi merupakan
salah satu bagian dari tata bahasa, yang mempunyai bunyi-bunyi bahasa pada
umumnya (G. Keraf, 1982). Fonologi mempelajari fungsi dari system pembeda bunyi
dalam suatu bahasa, mencoba menetapkan aturan-aturan untuk menentukan dan
membedakan fonem satu dengan yang lain dan bagaimana ia dapat berfungsi di
dalam sistematika bahasa, sehingga komunikasi bahasa dapat menjadi efektif (S.
Mar’at, 1983).
Fonem adalah suatu
bunyi terkecil yang dapat membedakan arti. Fonem-fonem dapat di bagi menjadi
dua kelompok, yaitu fonem-fonem segmental dan fonem-fonem suprasegmental. Fonem
segmental dapat dibagi dalam fonem vocal dan fonem konsonan. Fonem
suprasegmental terdiri dari nada, tekanan, dan panjang jeda.
Contoh
: fonem /p/ dan /g/ dalam kata paying dan gayung atau piring dan giring.
Di
sini terlihat bahwa /p/ dan /g/ dalam lingkungan yang sama dapat membentuk dua
kata yang berbeda (payung dan gayung atau piring dan giring) dengan arti yang
berbeda pula. Oleh karena itu /p/ dan /g/ disebut fonem karena merupakan satuan
bunyi terkecil yang membentuk arti.
Jadi
secara konkret, dalam fonologi dipelajari bagaimana bunyi itu disusun menjadi
kata, bagaimana aturannya bila ingin menggabungkan bunyi menjadi kata dan
dimana memberi tekanan dan intonansi pada waktu membunyikan kata-kata, agar
makna lebih mudah bisa ditangkap bisa oelh lawan bicaranya. Seorang anak yang
baru belajar bahasa, harus belajar membedakan bunyi-bunyi dan pola-pola
intonansi yang manghasilkan makna berbeda-beda.
Morfologi
ialah ilmu yang membicarakan morfem
serta bagaimana morfem itu dibentuk menjadi kata (Yus Badudu, 1976). Morfem
adalah bentuk linguistic yang paling kecil, misalnya tidur, jalan, ber-,ke-,-an,
panas, dan sebagainya. Morfologi dapat juga diuraikan sebagai struktur gramatik
dari suatu kata (Dik & Kooy, 1979, hlm. 171). Selanjutnya dikatakan oleh
Yus Badudu bahwa morfem bahasa Indonesia dibedakan atas 4 golongan sebagai
berikut :
1. Morfem yang dapat berdiri sebagai kata, yaitu morfem bebas
seperti batu, telur, lima, pergi.
2. Morfem yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi selalu
terikat pada morfem lain yang disebut imbuhan (afiks), disebut morfem terikat
morfologis, misalnya : me-, pe-an, ke-an, per-, dan sebagainya.
3. Morfem yang tidak pernah berdiri sendiri, tetapi selalu
terikat dengan morfem yang lain dalam suatu frase, klausa, atau kalimat,
disebut morfem terikat sintaksis, contohnya : (belia) paa mula belia, atau
(siur) pada simpang siur. Kata sambung (konjungsi) termasuk juga morfem terikat
sintaksis, seperti : terapi, karena sehingga; juga kata depan (preposisi)
seperti : di, ke, dari, untuk.
4. Morfem yang unik, selalu terikat baik secara morfologis
maupun sintaksis, tetapi bukan termasuk imbuhan. Contohnya :
Juang pada berjuang, semangat juang
Temu pada pertemuan, penemuan, bertemu
Tawa pada tertawa, tertawa-tawa.
Sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang mempelajari dasar-dasar
dan proses-proses pembentukan kalimat dalam suatu bahasa (Gorys Keraf, 1982).
Untuk mempelajari kalimat diperlukan
kata-kata. Ada beberapa kategori kata (menurut tata bahasa tradisional) sebagai
berikut :
1. Kata benda atau nomina
2. Kata kerja atau verba
3. Kata sifat atau ajektiva
4. Kata ganti atau pronominal
5. Kata bilangan atau numeralia
6. Kata keterangan atau adverbia
7. Kata sambung atau conjungtio
8. Kata depan atau preposition
9. Kata sandang atau articula
10. Kata
seru atau interjection
Penggolongan
oleh ahli-ahli linguistic yang berdasarkan struktur morfologinya, dikelompokkan
ke dalam 4 jenis kata :
1. Kata benda atau nomina substantive
2. Kata kerja atau verba
3. Kata sifat atau ajectiva
4. Kata tugas atau function words
Kadang-kadang
Nampak perbedaan dalam penggolongan kategori pada pelbagai bahasa. Antara
bahasa Indonesia dengan bahasa Barat juga terlihat perbedaan karena keduanya
berasal dari rumpun yang berbeda. Meskipun masing-masing bahasa mempunyai
struktur gramatik yang berbeda, namun paa umumnya semua bahasa tentu memiliki
kategori kata kerja dan kategori kata benda, yang berbeda secara jelas
antara keduanya.
Kedua
kategori ini adalah suatu kategori yang universal (George A. Miller, 1981).
Artinya bahwa kata benda selalu menunjuk tentang sesuatu yang kita bicarakan
dan kata kerja menunjuk tentang apa yang sedang terjadi dengan “sesuatu”
tersebut.
Setelah
mengetahuui kategori kata-kata, maka kita dapat menyusun kata-kata menjadi suatu
struktur kalimat menurut aturan-aturan tertentu.
Semantik
ialah studi mengenai “arti” suatu
perkataan atau kalimat. Ada bermacam-macam teori mengenai semantic, yang
berbeda-beda dalam pendekatan permasalahannya. Dari teori yang banyak itu dapat
digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu :
Teori
Referensi
Teori
referensi yang mempelajari kaitan antara kata
dengan objeknya atau bendanya yang dirujuk (that it’s refers). Contohnya
: perkataan “sepatu” akan merujuk pada suatu sepatu apa saja yang di dunia.
Menurut teori ini hubungan antara kata dengan objeknya disebut hubungan
referensi, artinya kata merujuk pada benda. Kembali pada contoh di atas,
apabila seseorang menyebut “sepatu”, maka ia akan menghubungkan bunyi ujaran
tersebut dengan sepatu apa saja, tidak peduli bagaimana bentuknya. Dengan cara
demikian terjadilah suatu hubungan tertentu yang disebut “arti”.
Teori
Pengertian (Sense)
Teori
pengertian (sense) yang mempelajari hubungan antara
kata dengan konsepnya. Contohnya : kata “sepatu” tadi menimbulkan suatu konsep
tentang sepatu, yaitu suatu benda yang dipakai sebagai alas kaki. Jadi, orang
tidak melihat bendanya dulu untuk mengetahui apa sepatu itu.
Suatu
konsep biasanya dihubungkan dengan konsep-konsep lainnya yang berkaitan dengan
konsep tersebut. Misalnya dalam asosiasi bebas, seseorang mendengar kata
“kursi”, maka kata pertama yang akan muncul dalam pikiran yang dikaitkan dengan
kursi itu ialah “meja”. Kedua perkataan itu (kursi dan meja) ditengahi (mediated)
oleh konsep-konsep (S. Marat, 1983).
Pragmatik adalah penggunaan bahasa untuk mengekspresikan intention
dan agar seseorang mengerjakan sesuatu. Pragmatik meliputi aturan-aturan
berbahasa yang baik bila sedang berada di dalam suatu pertemuan atau dalam saat
santai atau bermain-main. Juga ketika sedang diundang makan malam bersama-sama
orang lain.
PERKEMBANGAN
FONOLOGI
Pada
umur 3-4 bulan anak mulai memproduksi bunyi-bunyi. Mula-mula ia memproduksi
tangisan atau bunyi Cooing (mendekut, Hassan Shadily), seperti bunyi
burung merpati (Wolf, dalam S. Marat, 1983).
Pada
usia 5-6 bulan ia mulai mengoceh. Ocehannya kadang-kadang mirip bunyi ujaran.
Pada
pertengahan tahun pertama, anak-anak mulai membedakan bunyi-bunyi (Ervin Tripp,
dalam Clark & Clark, 1977) dan selanjutnya dikatakan bahwa persepsi bahasa
(speech perception) kelihatannya bergantung pada interaksi anak-anak
dengan lingkungannya. Hal ini terbukti dari eksperimen bahwa dari orang tua
tuna rungu tidak berhasil menemukan atau mendeteksi pola-pola bunyi semata-mata
dari rangsangan-ransangan auditif dari televise dan radio (Ervin Tripp, dalam
Clark & Clark, 1977). Dalam hal ini, rupa-rupanya adalah bunyi-bunyi yang
selalu kembali terdengar oleh si anak pada saat-saat yang mempunyai arti bagi
dirinya, misalnya bunyi atau suara yang ia dengar saat ia dimandikan, diberi
makan, ditimang-timang, atau diberi rangsangan visual oleh pengasuhnya.
Pada
periode babbling (mengoceh) ia membuat bunyi-bunyi yang makin bertambah
variasinya dan makin kompleks kombinasinya. Mereka juga mengkombinasikan vocal
dengan konsonan menjadi suatu sequence seperti silabe, umpamannya
ba-ba-ba, ma-ma-ma, pa-pa-pa, dan seterusnya. Ocehan ini tidak dapat
diinterpretasikan dan banyak di antaranya yang nantinya setelah ia dapat
berbicara, tidak dipakai lagi dalam mengungkapkan kata-kata yang berarti.
Ocehan
ini makin bertambah sampai si anak mampu memproduksi perkataan yang pertama,
yaitu pada periode kalimat satu kata, yang kira-kira muncul sekitar usia 1
tahun.
Suatu
hal yang menarik ialah adanya unformitas pada anak-anak dengan perlabagi
bahasa, dalam hal bunyi-bunyi pertama yang mereka produksikan, yaitu konsonan
dengan p atau m, vocal belakang a mendahului konsonan belakang k dan g serta
vocal depan I dan u (Laughlin, 1978).
Jadi,
dalam perkembangan fonologi, seorang anak harus mempelajari aturan-aturan
fonologi, misalnya aturan untuk mengkombinasikan bunyi-bunyi menjadi suatu
bunyi ujaran yang ada dalam suatu bahasa. Di samping itu, mereka juga harus
belejar menghubungkan bunyi dengan acuannya, artinya seorang anak akan
menangkap atau memperhatikan hal-hal yang penting dalam suatu ucapan atau
kalimat apabila hal itu mengacu (make reference to) kepada objek-objek
yang konkret atau hubungan-hubungan dan kejadian-kejadian yang dialami si anak.
Menghubungkan bunyi dengan acuannya ini merupakan suatu proses yang kompleks,
bukan sekedar mempelajari nama dari benda-benda seperti apa yang dikatakan oleh
kaum behavioris (Ervin-Tripp, dalam Clark & Clark, 1977).
Begitu
anak-anak melewati periode mengoceh, mereka mulai mengevaluasi segmen-segmen
fonetik tertentu, yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan untuk
mengucapkan perkataan. Mereka belajar bagaimana mengucapkan sequence of
segments, yaitu silabe-silabe (suku kata) dan kata-kata.
Cara
anak-anak mencoba menguasai segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori Hypothesis-testing
(Clark & Clark, 1997) atau discovery procedures (Braine). Menurut
teori ini, anak-anak menguji-coba pelbagai hipotesis tentang bagaimana
memproduksi bunyi yang betul. Contohnya : Anak mencoba mengucapkan perkataan doggie.
Mula-mula ia mengucapkannya sebagai do, kemudian berubah menjadi dodie
lalu goggie dan terakhir baru doggie.
Kadang-kadang
apabila si anak hanya mempunyai beberapa segmen saja yang dikuasai, ia berhasil
menemukan cara yang tepat atau benar untuk memproduksi segmen tertentu misalnya
contoh di atas, ia berhasil mengucapkan dodie (segmen d). Kemudian apabila
ia menambahkan beberapa konsonan letup lainnya ke dalam daftar
inventarisasinya, mungkin ia mula-mula mengalami kesukaran untuk mengucapkan
dua konsonan letup yang berbeda dalam satu perkataan (segemn d dan g). Oleh
karenanya, ia memusatkan diri pada segmen yang baru, yaitu segemen g sehingga
terbentuklah goggie karena si anak memproduksikannya pada dua tempat. Ia
mulai memilih tanda-tanda (gestures) artikulasi yang benar untuk
memproduksi doggie seperti yang umumnya diucapkan oleh orang dewasa
(Clark & Clark, 1977).
Pada
tahap-tahap permulaan dalam perolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi
perkataan orang dewasa yang disederhanakan dengan cara sebagai berikut :
1. Menghilangkan konsonan akhir (nyamuk – mu).
2. Mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal (kunci –
ci).
3. Menghilangkan silabe yang tidak diberi tekanan (semut –
mut).
4. Duplikasi silabe yang sederhana (nakal-kakal).
Menurut
beberapa hipotesis, penyederhanaan ini disebabkan oleh keterbatasan dalam rentang
ingatan, kemampuan representasi, dan ketrampilan artikulasi.
Penyederhanaan
tersebut di atas akan hilang bilamana si anak telah menguasai lebih banyak
segmen-segmen dan urutan segmen-segmen yang baru diperoleh dan anak mengoreksi
dirinya sendiri apabila dalam pengucapan kata kurang tepat.
Praktik
dan koreksi diri ini memberikan bukti tambahan bahwa anak-anak mengandalkan
pada “model” yaitu the adult based representations of word (Clark &
Clark, 1977).
PERKEMBANGAN
SEMANTIK
Dalam
proses perolehan bahasa, anak-anak harus belajar mengerti ari dari kata-kata
yang baru, dengan kata-kata lain mengembangkan suatu “kamus arti kata” (a
dictionary of meaning).
Mula-mula
mereka menduga-duga arti suatu perkataan dari konteks dimana perkataan itu
diucapkan. Dalam usahanya ini, mereka mulai dengan dua asumsi mengenai fungsi
dan isi dari suatu bahasa, yaitu :
1. Bahasa dipergunakan untuk komunikasi. Asumsi pertama mungkin
timbul karena ketergantungan mereka pada gestures atau tanda-tanda yang sering
menyertai pembicaraan orang dewasa. Langkah selanjutnya ialah mengambil
kesimpulan bahwa bahasa, seperti juga gestures, digunakan untuk komunikasi.
2. Bahasa mempunyai arti dalam suatu konteks tertentu.
Anak-anak berasumsi bahwa ada hubungan yang masuk akal antara apa yang
dikatakan pembicara dalam suatu situasi tertentu dengan situasinya sendiri.
Dalam
usahanya untuk mengerti arti suatu perkataan, anak-anak harus membuat suatu
hipotesis tentang arti kata. Caranya ialah dengan membuat pemetaan (mapping)
konsep-konsep mereka tentang objek-objek, kejadian-kejadian, sifat-sifat, dan
hubungan-hubungan yang tidak asing bagi mereka (Clark & Clark, 1977).
Contohnya : Ibu menunjuk seekor anjing dan barkata, Bow-wow. Si anak
kemudian mengaplikasikan bow-wow untuk semua binatang yang berkaki
empat. Hipotesisnya mula-mula mungkin adalah bahwa bow-wow mengacu kepada objek
yang dapat bergerak atau objek yang mempunyai kepala dan ekor, dan lain-lain.
Dengan caranya si anak mengaitkan “arti kata yang diduga olehnya” kepada suatu
konsep tertentu, yaitu sesuatu yang telah diketahuinya.
Gejala
yang Nampak pada setiap bahasa ialah adanya over extension (perluasan)
dalam pemakaian suatu perkataan untuk mengacu kepada suatu kategori yang lebih
luas daripada yang seharusnya ada dalam bahasa orang dewasa. Dasar dari
perluasan ini sering Nampak dalam suatu bentuk atau mungkin juga dalam ukuran
yang digabung dengan bentuk. Contoh : objek bulat dan kecil dikelompokkan dan
disebut “bola”.
Menentukan
hubungan antara perkataan dan konsep tidaklah mudah. Apalagi karena anak-anak
sejak permulaan jarang dapat “kena” dengan arti kata yang dianut orang dewasa,
maka mereka memerlukan waktu beberapa tahun untuk penyesuaian dan penghalusan
hipotesis dan strateginya agar arti kata anutan si anak cocok dengan arti kata
orang dewasa. Proses penyempurnaan ini dapat memakan waktu cukup lama, sampai
terjadinya kelengkapan.
PERKEMBANGAN
SINTAKSIS
Selama
periode kalimat satu kata dan kalimat dua kata, anak-anak dengan
menghilangkan preposisi, artikel, dan sebagainya, sehingga bentuknya menyerupai
telegram.
Sesudah
kalimat dua kata, si anak dapat membuat kalimat tiga kata yang
konstruksinya aadlah sebagai berikut :
Agent
– Action – Object :
1. I see doggie
2. Penjahat pake pistol (Taufik 2;6)
3. Ibu bawa coklat (Puti 2;7).
Atau
Agent – action – location : sit daddy chair.
Kalimat
empat kata muncul pada akhir tahap I dan
bentuk kalimat yang bisanya diproduksi adalah sebagai berikut :
Agent
– action – object – location
Pada
tahap I belum terjadi enfleksi (perubahan kata yang disesuaikan dengan tenses).
Infleksi mulai dalam tahap II. (Brown, dalam S. Marat, 1983) telah mempelajari
14 grammatical morphemes dari bahasa Inggris, antara lain plural –s,
preposisi on, dan in, past tense regular, past tense irregular.
Kepandaian atau keahlian untuk membuat infleksi memerlukan banyak waktu untuk
penguasaannya.
PERKEMBANGAN
MORFOLOGI
Pada
periode kalimat dua kata, anak-anak sudah mulai membuat kalimat yang
terdiri dari dua kata dan kata yang dipergunakannya itu pada umumnya masih
berupa dua kata dasar yang dihubungkan. Jadi, terlihat belum adanya
imbuhan-imbuhan pada kata dasar yang dapat menimbulkan perbedaan arti kata.
Pada
kalimat dalam bahasa-bahasa Eropa, perubahan-perubahan yang terjadi pada kata
dalam bentuk infleksi morfologi baru muncul pada frase diferensiasi (2,5 tahun
ke atas-5 tahun), ketika anak-anak mulai mengadakan diferensiasi pada kelas
kata dan diferensiasi morfologi.
Dalam
bahasa Indonesia, belum diketahui bagaimana perkembangan morfologi pada bahasa
anak karena belum ada data-data empiris yang cukup representative (S. Marat,
1983).
Slobin
(dalam Dale, P.S., 1976) menemukan pada 40 bahasa anak yang telah
diselidiki adanya kesamaan hukum-hukum perolehan bahasa (operating principles)
dan disebutkan antara lain:
Prinsip
Opresional 1
Pada
awal pengenalan kata, anak-anak mencari dan akhirnya menemukan bahwa kata-kata
itu bermacam-macam bentuknya dan bermacam-macam pula maknanya. Melalui bantuan
konteks, lambat laun si anak mengetahui bahwa misalnya perkataan bau dan
bahu, tau dan tahu dan pas, dan lain-lain sepintas
masing-masing pasangan tersebut terdengar sama apabila diucapkan, merujuk
kepada hal yang berbeda. Mereka mengetahui hal ini karena orang dewasa selalu
memakai pasangan kata tersebut dalam situasi, kondisi, dan kejadian yang
berbeda-beda.
Prinsip
Oprasional 2
Masih
dalam kaitan dengan makna suatu perkataan. Anak-anak juga menemukan misalnya
bahwa ada 2 macam hal yang harus dibedakan, yaitu kata-kata tugas (function
words) dan imbuhan-imbuhan, juga bahwa akhiran atau sufiks –an , -kan, dan
–I selalu berhubungan dengan kata kerja, sufiks –nya dengan kata benda, ada
ulangan kata, dan sebagainya.
Prinsip
Oprasional 3
Menghindari
adanya kekecualian, hal mana terbukti dengan adanya kecenderungan anak
mengadakan generalisasi seperti telah diuraikan pada sebelumnya.
Prinsip
Oprasional 4
Memperhatian
akhiran-akhiaran kata dan mereka berkesimpulan bahwa akhiran atau sufiks itu
dapat mengubah makna suatu kata. Peranan konteks juga sangat penting dalam hal
ini. Slobin dan Mikes (dalam S. Marat, 1983) menemukan bukti dari perlbagai
bahasa bahwa anak-anak memperhatikan akhiran atau sufiks dan memakainya lebih
dulu daripada awalan atau prefiks.
Prinsip
Oprasional 5
Anak-anak
mangamati bahwa penempatan kata dan urutan kata dan aturan-atutannya. Juga lama
kelamaan dapat memisahkan antara awalan dan akhiran serta pemakaiannya,
sehingga tidak terbalik atau keliru dalam pemakaian. Contoh : awalan di- lebih
dulu dari me-.
PEROLEHAN
BAHASA ANAK
Bagaimana
proses belajar berbahasa pada anak-anak terjadi?
Ada
3 teori utama yang mencoba menjelaskan perkembangan bahasa pada anak-anak,
yaitu Model Behaviorist, Model Linguistik, dan Model Kognitif. Di bawah ini
akan diuraikan secara singkat masing-masing model tersebut (Butler; King;
Berko-Gleason dalam Jo Ann Brewer (1992).
Model
Behaviorist
Inti
padangan model ini ialah : Language is a function of reinforcement.
Orang tua mengajar anaknya berbicara dengan memberikan reinforcement
atau penguatan (prinsip behaviorism) terhadap tingkah laku verbal.
Dengan pemberian reinforcement ini anak belajar memberi nama pada benda-benda
secara tepat, sehingga anak mengetahui arti kata-kata. Hal ini terjadi karena
setiap kali si anak berbuat suatu kesalahan, akan segera dikoreksi oleh orang
tuanya atau masyarakat verbal lainnya, melalui reinforcement yang
selektif.
Penguasaan
gramatika juga terjadi dengan cara yang sama, tetapi bagaimana anak dapat tahu
arti kata-kata? Menurut teori ini anak-anak mula-mula merupakan suatu tabula
rasa. Kata-kata yang didengarnya disimpan dalam ingatan melalui asosiasi.
Kemudian dalam observasinya sehari-hari terhadap lingkungannya, ia melihat
adanya suatu hubungan antara entity (kombinasi antara objek dengan
(person) dengan suatu aksi tertentu. Lama-kelamaan terjadi asosiasi yang kuat
antara keduanya dan asosiasi tersebut disimpannya dalam ingatan (memory).
Makin banyak rangsangan bahasa yang diterimanya dari lingkungan, makin banyak
asosiasi yang terjadi dan disimpan dalam ingatannya.
Bagaimana
bentuk asosiasi yang terjadi? Bentuknya ternyata sama dengan bentuk skema
linguistic, yaitu seperti struktur kalimat N-V (Noun-Verb). Jadi skema S-R dari
teori stimulus-Respon mempunyai struktur asosiasi yang sesuai dengan struktur
linguistic.
Sesuai
dengan hokum asosiasi, dikatakannya pula bahwa item (butir) yang kedua
selalu menerangkan dan bergantung pada item yang pertama. Aliran ini
juga menganggap penting aspek imitasi dalam perolehan bahasa anak (S. Marat,
1983).
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa seorang anak yang belum memahami bahasa sama
sekali akan dihadapkan pada lingkungan sehari-hari yang menggunakan bahasa.
Mereka
mendengar ujaran-ujaran yang diucapkan oleh orang di sekitarnya, kemudian
mencoba menirunya. Bilamana ia meniru dengan benar ia akan mendapat ganjaran
atau reward dari lingkungannya dan berusaha mengulang-ulang ujaran
tersebut. Meskipun penirunya tidak sekaligus sempurna, namun dengan cara ini
lambat laun ia akan menguasai bahasa yang digunakan orang dewasa sekitarnya.
Anak-anak
juga dapat belajar meniru kata-kata dan frasa-frasa yang didengarnya tanpa
memahami artinya. Disamping itu, anak-anak sering mengucapkan kata-kata yang
tidak diajarkan oleh orang-orang di sekitarnya, namun mengikuti aturan-aturan
tertentu dan menolak memperbaikinya bila diminta (Jo Ann Brewer, 1992).
Tampaknya
mereka mempunyai jalan pikiran yang menghasilkan aturan-aturan yang dibuatnya
sendiri meskipun usianya masih sangat muda (kurang lebih 2 tahun). Dalam hal
ini Model Behaviorist belum dapat menjelaskannya.
Model
Linguistik
Chomsky
(dalam Jo Ann Brewer, 1992) adalah tokoh yang mengembangkan model ini. Menurut
pendapatnya, anak-anak dilahirkan sudah dilengkapi dengan kemampuan untuk
berbahasa. Melalui kontak dengan lingkungan social, kemampuan bahasa tersebut
akan tampak dalam perilaku berbahasa.
Dari
sudut pandang ini, bahasa adalah suatukemampuan yang khas yang dipunyai
manusia. Selain itu Chomsky dan kawan-kawan menganggap perolehan bahasa tidak
diperoleh dengan cara induksi seperti diterangkan oleh mazhab empiris,
melainkan karena manusia secara biologis memang sudah diprogramkan (pre-programmed)
untuk memperoleh bahasa. Hampir semua anak memformulasikan data-data bahasa
yang diperoleh melalui hipotesis testing, dan lambat laun anak menguasai teori
tentang gramatik.
Menurut
Chomsky, seorang anak bukanlah suatu tabula rasa, melainkan telah mempunyai faculty
of language (faculty = kemampuan untuk berkembang atau untuk belajar). Faculty
ini adalah khas manusia sedangkan binatang tidak mempunyai faculty
tersebut. Faculty ini berdiri sendiri, tidak bergantung pada faculty yang
lain seperti berfikir, pengamatan, dan sebagainya. Faculty ini semata-mata
berupa factor linguistic dan berbeda dengan bentuk-bentuk berfikir yang
primitive seperti pada hewan. Selanjutnya dikatakan, apabila seorang anak
mempunyai faculty of language, maka semua anak di dunia ini akan
mengembangkan tipe-tipe bahasa yang sama, yang berarti ada suatu cirri
universal dalam segala macam bahasa.
Faculty
of language ini telah mengandung pelbagai
aturan tatabahasa, sehingga anak tidak mengalami kesukaran dalam belajar
bahasa. Faktor linguitik bawaan ini oleh Chomsky disebut innate mechanism.
Bahwa anak-anak mempunyai innate mechanism dibuktikan dari cara mereka
menyusun kalimat-kalimat dengan aturan-aturannya sendiri, yang mustahil
didapatkannya dari luar (orang tua, dan lain-lain) karena kalimat-kalimat yang
didengarnya tidak demikian bentuknya atau berbeda bentuknya. Lagipula input
bahasa yang didapatnya relative masih sedikit untuk dapat diinduksikan daripada
suatu aturan gramatika. Dalam kenyataannya sehari-hari tatabahasa itu hanya
terlihat struktur luarnya (surface structure) saja, sedangkan struktur
dalam atau deep structure masih merupakan tanda Tanya. Struktur dalam (deep
structure) inilah yang dicoba oleh Chomsky untuk diuraikan.
Model
Kognitif
Kelompok
ini diwakili oleh Piaget, Bruner, dan Vigotsky (dalam Jo Ann Brewer, 1992).
Model ke 3 ini adalah pandangan terbaru mengenai perolehan bahasa pada
anak-anak ialah pandangan yang disebut Model Proses (Process Models)
atau Analisis Strategi (Strategy Analysis) (S. Marat, 1983).
Inti
dari pendekatan baru ini adalah suatu model kognitif untuk bahasa, yang mencoba
menjelaskan bagaimana bahasa itu diproses secara kognitif dan bagaimana
manifestasinya dalam tingkah laku (Laughlin, 1978). Model ini berusaha
menghubungkan segi performance dan segi competence, hal mana
belum diungkapkan hubungannya oleh kedua pendekatan yang terdahulu.
Para
ahli bekerja di lapangan dewasa ini lebih menyukai model ketiga ini, yaitu yang
memandang bahasa dari sudut prosesnya (in process terms). Hubungan
antara bahasa dan perkembangan kognitif ditinjau dari perspektif
psikolinguistik dewasa ini diterangkan sebagai berikut :
Bahwa
anak-anak dapat belajar bahasa memang berkat adanya hal-hal yang innate,
tetapi hal-hal yang innate ini bukanlah a set of ideas seperti
yang diungkapkan oleh aliran rasionalis (Chomsky dkk.), melainkan berupa
kapasitas kognitif dan kapasitas untuk belajar. Kedua kapasitas tersebut lebih general
dan predetermining sifatnya, tidak sederhana seperti yang diungkapkan
oleh aliran empiris (Skinner dkk.).
Kemampuan
umum (general) berarti bahwa anak-anak menemukan pola-pola linguistic seperti
halnya mereka menunjukkan pola-pola persepsi dalam dunia penginderaan. Kedua
proses ini merupakan bagian dari perkembangan kognitif umum. Jadi, dikatakan
bahwa seorang individu itu berkembang, baik linguistic maupun perceptual adalah
hasil dari prosedur atau kesimpulan kognitif yang bersifat innate (Laughin,
1978). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa apa yang disebut Chomsky dkk.
Sebagai suatu universal bahasa tidak lain dari hasil proses-proses kognitif
yang diasumsikan universal sifatnya. Dengan demikian transformasi yang
dibicarakan oleh Transformational Generative Grammar (TGG) dari Chomsky
sebenarnya adalah suatu operasi kognitif yang bukan hanya direfleksikan dalam
bahasa, tetapi juga dalam persepsi visual (Beher, 1970). Contohnya : bahwa
orang dapat membedakan antara kata benda dengan kata kerja dalam suatu bahasa
merupakan hasil dari strategi kognitif dalam membedakan antara objek dan
hubungan antara objek.
LINGKUNGAN
YANG MENDUKUNG PEROLEHAN BAHASA
Hampir
semua anak belajar berbahasa dan berhasil menguasai ke-5 aspek bahasa, yaitu
fonologi, semantic, sintaksis, morfologi dan pragmatic yang selanjutnya dapat
menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan berkomunikasi mereka. Bagaimana mereka
mencapai keberhasilan tersebut? Apa yang telah dilakukan oleh orang tua atau
pengasuhnya untuk keberhasilan itu? Dari observasi terhadap para orang tua dan
pengasuh-pengasuh ditemukan bahwa mereka :
Menggunakan
Pendekatan Informal
Artinya,
mereka mengajarkan bahasa dalam situasi rileks, kadang-kadang sambil
bermain-main. Apa yang menjadi topic pembicaraan juga mengenai
kejadian-kejadian yang dialami sehari-hari, misalnya ketika masih usia balita
orang tua mengajak berbicara pada waktu anak sedang dimandikan, diberi makan,
atau peristiwa-peristiwa lainnya. Bahkan ketika anak belum mampu berbicara
sekalipun orang tua telah mengajaknya berbicara secara lengkap. Dengan
bertambahnya usia, bahasa yang digunakan orang tua memang lebih dikontrol,
namun tetap dikaitkan dengan konteks kegiatan yang sedang dilakukan anak. Jadi
tidak ada perencanaan sebelumnya apakah ada topic-topik tertentu untuk
hari-hari tertentu, tidak ada “pelajaran bahasa” untuk setiap harinya. Bahasa
dipelajari melalui interaksi yang terjadi, yang bermakna bagi anak.
Memfokuskan
Diri pada Maksud Pembicara
Orang
tua, pengasuh atau orang dewasa lainnya pada umumnya dalam menanggapi
ucapan-ucapan atau bahasa anak lebih memfokuskan perhatiannya pada apa yang
diinginkan anak daripada memperhatikan benar tidaknya ucapannya.
Dengan
cara demikian anak akan merasa memperoleh rewards karena orang tuanya
memahaminya, dan bahwa ia dapat berkomunikasi serta terpenuhi kebutuhannya.
Keberhasilan ini memotivasi anak untuk terus belajar. Pada gilirannya nanti ia
akan menemukan sendiri pola-pola struktur kalimat yang benar, sejalan dengan
perkembangan kognisinya, yaitu tatkala ia mampu membuat konseptualisasi
hubungan antara Agent – Action – Object atau Location. Pada dasarnya, belajar
bahasa lebih dikendalikan oleh pembelajarnya sendiri daripada rewards
dari lingkungan. Bila orang tua membetulkan ucapan anak (pada waktu anak masih
sangat muda) mereka lebih banyak membetulkan isi pembicaraan daripada bentuk
ucapan si anak.
Harapan
akan Keberhasilan
Semua
orangtua mengharapkan anaknya akan mampu berbicara dengan baik pada waktu
mereka sudah besar. Mereka tidak terlalu menghawatirkan bila mendapatkan
anaknya yang masih balita masih berbicara cadel atau kalimatnya tidak sempurna.
Mereka percaya bahwa hambatan-hambatan ini hanya bersifat sementara, tidak
menetap dan hanya merupakan bagian dari proses belajar bahasa. Dari hari ke
hari bahasa akan bertambah baik; bentuk-bentuk yang tidak semestinya akan
hilang dan diganti dengan bentuk-bentuk yang matang, sesuai dengan
kaidah-kaidah bahasa yang berlaku di lingkungannya.
Sifat
Holistik dalam Belajar Bahasa
Bahasa
mempunyai struktur, fungsi dan proses. Struktur bahasa menyangkut suatu system
dimana unsur-unsur bahasa diatur dan dihubungkan satu dengan yang lain (Bloom
& Lahey, 1978). Dalam menghubungkan unsur-unsur tersebut dikenakan
peraturan tertentu yaitu tatabahasa. Unsur-unsur yang dihubungkan itu terdiri
atas isi bahasa dan bentuk bahasa.
Isi
bahasa
Isi
bahasa adalah apa yang menjadi bahan pembicaraan orang, dan apa yang kita
tangkap dari pembicaraan tersebut pada umumnya mengenai objek-objek dan
kejadian-kejadian. Dengan kata lain mengenai konsep tentang objek dan hubungan
antara konsep-konsep yang sering juga disebut sebagai kategori non-linguistik.
Bentuk
bahasa
Sedangkan
bentuk bahasa disebut kategori linguistic, dimana unit-unit linguistic seperti
kata-kata dan kalimat dapat berfungsi dalam penggunaan bahasa.
Fungsi
bahasa menyangkut alas an-alasan mengapa seseorang berbicara. Fungsi bahasa
pada umumnya mengkomunikasikan apa yang ingin disampaikan seseorang. Ada dua
macam fungsi bahasa, yakni yang bersifat intrapersonal (mathetik), yaitu
penggunaan bahasa untuk memecahkan persoalan (problem solving),
mengambil keputusan, berfikir, mengingat, dan sebagainya. Sedangkan yang
bersifat interpersonal (pragmatic), yaitu yang menunjukkan adanya suatu
pesan penutur.
Proses
bahasa, menyangkut suatu deskripsi tentang alat-alat, materi dan prosedur yang
ada dalam mental kita yang dipergunakan manusia untuk memproduksi dan mengerti
bahasa. Jadi berkaitan dengan persepsi manusia terhadap bahasa dan produksi
bahasa. Persepsi bahasa berkaitan dengan kemampuan manusia untuk menganalisis
bunyi ujaran, mengidentifikasikannya sebagai suatu kata atau kalimat, menangkap
ide-ide yang terkandung dalam kalimat tersebut. Mengenai proses mental yang
terjadi ketika kita berbicara atau ketika menangkap suatu pembicaraan,
merupakan suatu kejadian yang rumit (Clark & Clark, 1977).
Ketiga
aspek tersebut harus dipelajari oleh anak yang sedang belajar bahasa. Dalam
kenyataannya anak belajar bahasa, fungsi bahasa, dan bagaimana menggunakan
bahasa dalam interaksi social pada saat yang bersamaan (Halliday, dalm Jo Ann
Brewer, 1992). Para orang tua tidak mengajarkan setiap aspek satu per satu,
melainkan mengajar dengan cara mengajaknya bercakap-cakap (conversation)
dalam konteks yang bermakna, dan dalam situasi social. Jadi bahasa tersebut
ditampilkan sebagai suatu keseluruhan, dalam suatu konteks dan dalam situasi
social sekaligus.
Bercirikan
Kreativitas
Menurut
Goodman et al. (dalam Jo Ann Brewer, 1992), seorang anak belajar bahasa selalu
menggunakan kemampuan kreatifnya, mereka menciptakan kata-kata atau frasa-frasa
baru, akan tetapi pada saat yang sama mereka akan kembali ke aturan-aturan
social yang sudah baku, terutama bila mereka menyadari bahwa kata-kata atau
frasa-frasa yang diciptakan gagal mengkomunikasikan apa yang mereka maksud atau
inginkan.
Menghargai
Keberhasilan
Kemajuan
anak dalam belajar bahasa sangat cepat, biasanya mereka telah menguasai bahasa
pertamanya sebelum mereka masuk sekolah Taman Kanak-Kanak. Mereka telah mampu
membuat kalimat sederhana yang lengkap yang berarti telah menguasai struktur
sintaksinya dalam bahasa pertamanya. Sejak masih sangat muda telah mampu
mengadaptasikan bahasanya terhadap lawan bicaranya.
Sebagai
kesimpulan, orang tua berhasil mengajarkan bahasa kepada anaknya apabila mereka
menggunakan bahasa itu dalam situasi kehidupan yang riel tanpa suatu niat
khusus untuk “mengajar” bahasa dan menerima ketidaksempurnaan dan menghargai
keberhasilan anak serta memberikan kesempatan kepada anak untuk berkreasi
dengan kata-kata. Dalam proses belajar tersebut selalu dikaitkan dengan
interaksinya dengan orang lain, dan menekankan makna ujaran daripada bentuk
ujarannya (Jo Ann Brewer, 1992).
DAFTAR
PUSTAKA
Badudu,
J.S., Bahasa Indonesia : Dalam Pembinaan di TVRI. Bandung : CV Pustaka Prima,
1976.
Bloom,
L. & M. Lahey, Language Development and Language Disorders. New York
: John Wiley &
Sons,
1978.
Brewer,
Jo Ann., Introduction to Early Childhood Education. Boston : Allyn and
Bacon, 1992.
Clark,
H.H. & E.V. Clark, Psychology and Language : An Introduction to
Psycholinguistics, New
York
: Harcourt Brace Jovanovich, Inc. 1997.
Dale,
P.S., Language Development : Structure and Function. New York :
Holt, Rinehart, and
Winston,
1976.
Kempen,
G.A.M., Memory for word and sentence meanings : a Setfeature model,
disertasi
Katholieke
University Nijmegen. Nijmegen : Drukkerij Schipper,
1970.
Kempen
G.A.M., De Taalgebruiker in de mens : een uitzicth over de
taalpsychologie, Groningen :
H.D.
Tjeenk Wilink B.V., 1976.
Kempen,
G.A.M., Onder Woordenbrengen : Psychologische aspecten van expressief
taalgebrink,
Groningen
: Wolters Noodhoof, 1977 (Inaugurale Rede).
Keraf,
G., Tatabahasa Indonesia : Untuk Sekolah Lanjutan Atas,
Ende-Flores : Penerbit Nusa
Indah,
1982.
Laughlin,
B. MC., Second-Language Acquisition in Childhood, New Jersey : Lawrence
Erlbaum
Associates,
Publishers, 1978.
Miller,
G.A., Language and Speech. San Francisco : W.H. Freeman and Company,
1981.
Samsuniwiyati
Marat, Psikolinguistik, Diktat Mata Kuliah, Fakultas Psikologi
Universitas
Padjajaran,
Bandung, 1983.