Rabu, 17 Juli 2013



FIQIH PUASA
Syarat Wajib dan Rukun Puasa Ramadhan

Sarat Wajib adalah syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebelum melaksanakan suatu ibadah. Seseorang yang tidak memenuhi syarat wajib, maka gugurlah tuntutan kewajiban kepadanya. Sedangkan rukun adalah hal-hal yang harus dilakukan dalam sebuah ibadah.
Adapun Syarat pertama seseorang itu diwajibkan menjalankan ibadah puasa, khususnya puasa Ramadhan, yaitu ia seorang muslim atau muslimah. Karena puasa adalah ibadah yang menjadi keharusan atau rukun keislamannya, sebagaimana termaktub dalam hadits yang diriwayat kan oleh Imam Turmudzi dan Imam Muslim:

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ

Dari Abi Abdurrahman, yaitu Abdullah Ibn Umar Ibn Khattab r.a, berkata: saya mendengar Rasulullah s.a.w, bersabda: Islam didirikan dengan lima hal, yaitu persaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, didirikannya shalat, dikeluarkannya zakat, dikerjakannya hajji di Baitullah (Ka’bah), dan dikerjakannya puasa di bulan Ramadhan. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 7 dan Muslim: 19)

Syarat yang kedua seseorang itu berkewajiban menjalankan ibadah puasa ramadhan, yaitu ia sudah baligh, dengan ketentuan ia pernah keluar mani dari kemaluannya baik dalam keadaan tidur atau terjaga, dan khusus bagi perempuan sudah keluar haid. Dan syarat keluar mani dan haid pada batas usia minimal 9 tahun.

Dan bagi yang belum keluar mani dan haid, maka batas minimal ia dikatakan baligh pada usia 15 tahun dari usia kelahirannya. Dengan syarat ketentuan baligh ini, menegaskan bahwa ibadah puasa ramadhan tidak diwajibkan bagi seorang anak yang belum memenuhi cirri-ciri kebalighan yang telah disebutkan di atas.

Syarat yang ketiga bagi seorang muslim dan baligh itu terkena kewjiban menjalankan ibadah puasa, apabila ia memiliki akal yang sempurna atau tidak gila, baik gila karena cacat mental atau gila disebabkan mabuk.

Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar karena mabuk atau cacat mental, maka tidak terkena hukum kewajiban menjalankan ibadah puasa, terkecuali orang yang mabuk dengan sengaja, maka ia diwajibkan menjalankan ibadah puasa dikemudian hari (mengganti di hari selain bulan ramadhan).

رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظُ وَعَنِ اْلمَجْنُوْنِ حَتّى يُفِيْقَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَبْلُغَ
Tiga golongan yang tidak terkena hukum syar’i: orang yang tidur sapai ia terbagngun, orang yang gila sampai ia sembuh, dan anak-anak sampai ia baligh. (Hadits Shahih, riwayat Abu Daud: 3822, dan Ahmad: 910. Teks hadits riwayat al-Nasa’i)
Syarat keempat adalah kuat menjalankan ibadah puasa. Selain islam, baligh, dan berakal,  seseorang harus  mampu dan kuat untuk menjalankan ibadah puasa. Dan apabila tidak mampu maka diwajibkan mengganti di bulan berikutnya atau membayar fidyah. Untuk keterangan lebih detailnya akan dijelaskan pada fasal selanjutnya yang insyaallah akan diterangkan pada pasal permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan ibadah puasa.

Syarat kelima Mengetahui Awal Bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan diwajibkan bagi muslim yang memenuhi persyaratan yang telah diuraikan di atas, apabila ada salah satu orang terpercaya (adil) yang mengetahui awal bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal secara langsung dengan mata biasa tanpa peralatan alat-alat bantu. Dan persaksian orang tersebut dapat dipercaya dengan terlebih dahulu diambil sumpah, maka muslim yang ada dalam satu wilayah dengannya berkewajiban menjalankan ibadah puasa. Dan apabila hilal tidak dapat dilihat karena tebalnya awan, maka untuk menentukan awal bulan Ramadlon dengan menyempurnakan hitungan tanggal bulan sya’ban menjadi 30 hari.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad s.a.w, yang diriwayatkan oleh Imam Buchori, r.a:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُواعِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ 

Berpuasa dan berbukalah karena melihat hilal, dan apabila hilal tertutup awan maka sempurnakanlah hitungannya bulan menjadi 30 hari (H.R. Imam Buchori)

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ اَعْرَبِيُّ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اِنِّي رَاَيْتُ اْلهِلَالَ فَقَالَ: اَتَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلّاَ اللهَ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اَتَشْهَدُ اَنْ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: يَا بِلَالُ اَذِّنْ فِى النَّاسِ فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا 
Dari ‘ikrimah, ia dapatkan dari Ibnu Abbas, berkata: datanglah orang Arab Badui menghadap Nabi s.a.w, ia berkata: sesungguhnya aku telah melihat hilal. Nabi menjawab: apakah kamu akan bersaksi (bersumpah) “sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah”, orang Arab Badui tadi menjawab; “ia”. Lalu Nabi bertanya lagi: apakah kamu akan bersaksi (bersumpah) “ sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah”, dan Orang Arab Badui menjawab “ia”. Lalu Nabi bersabda; “wahai Bilal perdengarkanlah adzan ditengah-tengah kerumunan manusia, dan perintahkanlah mereka untuk mengerjakan puasa pada esok hari” (Hadits Shahih diriwayatkan oleh lima Imam, kecuali Ahmad)

Adapun Rukun puasa hanya dua, pertama Niat. Niat puasa Ramadhan merupakan pekerjaan ibadah yang diucapkan dalam hati dengan persyaratan dilakukan pada malam hari dan wajib menjelaskan kefarduannya didalam niat tersebut, contoh; saya berniat untuk melakukan puasa fardlu bulan Ramadhan, atau lengkapnya dalam bahsa Arab, sebagai berikut:

نـَوَيْتُ صَوْمَ غـَدٍ عَـنْ ا َدَاءِ فـَرْضِ شـَهْرِ رَمـَضَانِ هـَذِهِ السَّـنـَةِ لِلـّهِ تـَعَالىَ
Saya niat mengerjakan ibadah puasa untuk menunaikan keajiban bulan Ramadhan pada tahun ini, karena Allah s.w.t, semata.
Sedangkan dalil yang menjelaskan niat puasa Ramadhan dilakukan pada malam hari adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w, sebagai berikut:

 مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ 

Siapa yang tidak membulatkan niat mengerjakan puasa sebelum waktu hajar, maka ia tidak berpuasa. (Hadits Shahih riwayat Abu Daud: 2098, al-Tirmidz: 662, dan al-Nasa’i:2293).

Adapun dalil yang menjelaskan waktu mengucapkan niat untuk puasa sunnah, bisa dilakukan setelah terbit fajar, yaitu:


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : دَخَلَ عَلَّيَّ رَسُولُ اللهِ صَلِّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ شَيْءٍ ؟ فَقُلْنَا لَا فَقَالَ: فَاِنِّي اِذًنْ صَائِمٌ. ثُمَّ اَتَانَا يَوْمًا اَخَرَ، فَقُلْنَا: يَارَسُوْلَ اللهِ اُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ: اَرِيْنِيْهِ فَلَقَدْ اَصْبَحْتُ صَائِمًا فَاَكَلَ 
Dari Aisyah r.a, ia menuturkan, suatu hari Nabi s.a.w, dating kepadaku dan bertanya, “apakah kamu punya sesuatu untuk dimakan?”. Aku menjawab, “Tidak”. Maka Belaiu bersabda, “hari ini aku puasa”. Kemudian pada hari yang lain Beliau dating lagi kepadaku, lalu aku katakana kepadanya, “wahai Rasulullah, kami diberi hadiah makanan (haisun)”. Maka dijawab Rasulullah, “tunjukkan makanan itu padaku, sesungguhnya sejak pagi aku sudah berpuasa” lalu Beliau memekannya. (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 1952, Abu Daud: 2099, al-Tirmidzi; 666, al-Nasa’i:2283, dan Ahmad:24549)

Dan rukun kedua adalah Menahan Diri Dari Segala Sesuatu Yang Membatalkan Puasa. Untuk detailnya apa-apa yang membatalkan puasa akan dijelaskan pada pasal sesuatu yang membatalkan puasa.

...فَاْلئَنَ باَشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلاَسْوَدِ مِنَ اْلفَجْرِ ثُمَّ اَتِّمُوْا الصِّيَامَ اِلَى اللَّيْلِ...
“…maka sekarang campurilah, dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu, serta makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan antara benang putih dan hitam. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai waktu malam tiba...(QS. al-Baqarah, 2: 187) 
(Penulis: KH.Syaifullah Amin/Red: Ulil H)

Sunan Ampel Surabaya


Sunan Ampel (Surabaya Jatim)

Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Sayyid Muhammad ‘Ali Rahmatullah, setelah pindah ke Jawa Timur
dipanggil oleh masyarakat dengan panggilan Sunan Ampel atau Raden Rahmat. lahir pada tahun 1401 Masehi
di “Ch...ampa”
TEMPAT KELAHIRAN
Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa
Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di “Kamboja”. Pendapat lain, “Raffles” menyatakan bahwa
Champa terletak di “Aceh” yang kini bernama “Jeumpa”.
Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel
Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya ( kota Wonokromo sekarang).
NASAB SUNAN AMPEL
Sunan Ampel bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin
Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin
Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An-Naqiib bin Ali Al-Uraidhi
bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra
binti Nabi Muhammad Rasulullah
ISTERI DAN ANAK SUNAN AMPEL
Sunan Ampel menikah dengan:
I. Isteri Pertama, yaitu: Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo Al-Abbasyi, berputera:
1. Maulana Mahdum Ibrahim/Raden Mahdum Ibrahim/ Sunan Bonang
2. Syarifuddin/Raden Qasim/ Sunan Derajat
3. Siti Syari’ah/ Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng Manyuran
4. Siti Muthmainnah
5. Siti Hafsah
II. Isteri Kedua adalah Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera:
1. Dewi Murtasiyah/ Istri Sunan Giri
2. Dewi Murtasimah/ Asyiqah/ Istri Raden Fattah
3. Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)
4. Raden Zainal Abidin (Sunan Demak)
5. Pangeran Tumapel
6. Raden Faqih (Sunan Ampel 2)
DAKWAH SUNAN AMPEL
Ulama adalah pewaris para nabi. Sebuah pengakuan sekaligus penegasan resmi Rasulullah saw. tentang penerus
perjuangan Islam untuk memimpin umat dan membimbing mereka kepada jalan agama Allah swt serta
mengarahkan mereka menuju kebaikan.
Raden Rahmatullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel adalah satu dari sekian banyak
waratsatul anbiya’ yang dipercaya oleh Allah swt. untuk meneruskan estafet perjuangan Rasulullah Saw. Beliau
adalah sosok ulama teladan sekaligus waliyyun min auliyaillah’.
Tipe pemimpin ideal ada di sini: muballigh ulung, cendekiawan sejati, dan penuh perhitungan dalam setiap
langkah menapaki terjalnya jalan dakwah dan menghadapi tantangan masyarakat yang sebelumnya telah
mempunyai keyakinan yang membumi akan faham budhisme, hinduisme dan kepercayaan “isme-isme” yang lain,
jauh sebelum sunan Ampel datang menebarkan ajaran rahmatan lil alamin.
Sebuah langkah tepat beliau lakukan sebagai strategi awal dalam metodologi dakwahnya, yaitu pembauran
dengan masyarakat akar rumput yang merupakan titik sentral dari sasaran dakwahnya. Saat itulah kecendekiaan
dan intlektualitasnya benar-benar teruji. Tidak mudah tentunya. Di tempat yang sangat asing, jumud dan kolot,
seorang pendatang dari negeri Campa berusaha untuk beradaptasi dengan kultur-sosial yang tidak pernah
dikenal sebelumnya.
Dengan diplomasinya yang gemilang, Kanjeng Sunan Ampel berhasil mensejajarkan kaum Muslimin kala itu
dengan kalangan “elite” dalam kasta-kasta mesyarakat dan pemerintahan Majapahit. Pemerintahan Majapahit
pun sangat menghormati dan menghargai hak-hak dan kewajiban orang Islam, bahkan tidak sedikit dari
punggawa kerajaan yang akhirnya memeluk agama Islam sebagai way of life-nya.
Kalau metodologi dakwah Sunan Ampel dengan masyarakat akar rumput dilakukan dengan cara pembauran dan
pendekatan, beda halnya dengan metode yang ditempuh ketika menghadapi orang-orang cerdik-cendikia.
Pendekatan intelektual dengan memberikan pemahaman logis adalah alternatif yang beliau tempuh. Hal ini
sebagaimana tercermin dalam dialognya dengan seorang biksu Budha.
Suatu ketika, seorang biksu datang menemui Sunan Ampel. Kemudian terjadilah percakapan seputar akidah
berikut:
Biksu: Setiap hari Tuan sembahyang menghadap ke arah kiblat. Apakah Tuhan Tuan ada di sana?”
Sunan Ampel: Setiap hari Anda memasukkan makanan ke dalam perut agar Anda bisa bertahan hidup. Apakah
hidup Anda ada di dalam perut?”
Biksu itu diam tidak menjawab. Tapi dia bertanya lagi, “Apa maksud tuan berkata begitu?”
“Saya sembahyang menghadap kiblat, tidak berarti Tuhan berada di sana. Saya tidak tahu Tuhan berada di
mana. Sebab, kalau manusia dapat mengetahui keberadaan tuhannya, lantas apa bedanya manusia dengan
Tuhan? Kalau demikian buat apa saya sembahyang?!”
Cerita berakhir. Dan si biksu kemudian masuk Islam karena ia gamang akan otentisitas ajaran agamanya. Satu
ending yang sangat memuaskan. Tidak hanya bagi si pelaku cerita, tapi juga untuk kita: sebuah pelajaran
tentang metedologi dakwah di hadapan orang yang tidak bertuhankan Tuhan.
Sunan Ampel.: etos dakwah di tanah Jawa di samping icon Sunan Kalijaga, di sisi yang lain. Beliau adalah satu
dari sekian banyak wali Allah yang menghabiskan hidupnya hanya untuk berdakwah di jalan-Nya. Metodologi
dakwahnya memang tidak sama dengan metodologi ala Sunan Kalijaga atau Sunan Muria, yang menggunakan
pendekatan seni-budaya Jawa sebagai media dakwahnya. Sunan Ampel lebih menggunakan pendekatan
intelektual—dengan memberikan pemahaman tentang Islam melalui wacana intelektual dan diskusi yang cerdas
dan kritis serta dapat dinalar oleh akal. Cerita di atas adalah bukti sejarahnya.
Dialog Sunan Ampel-biksu telah mengingatkan kita kepada jawaban Nabi Ibrahim as. dilontarkan kepada raja
Namrudz ketika beliau dituduh menghancurkan tuhan-tuhan mereka, “Bahkan, Tuhan yang paling besar inilah
yang melakukannya”. Bedanya, Namrudz tidak pernah mau menerima kebenaran itu meski dia mengetahuinya.
Kemudian kita bertanya, mungkinkah orang sekelas biksu dapat ditaklukkan hanya dengan melalui pendekatan
budaya? Bisa jadi, tapi mungkin sulit.
Urgensitas budaya sebagai media dakwah alternatif memang tak bisa dibantah. Sejarah juga membuktikan
bahwa pendekatan kultur-budaya yang dimainkan oleh Sunan Kalijaga berhasil dengan sangat gemilang. Tapi,
sejatinya, pendekatan kultur-budaya hanya relevan untuk komunitas masyarakat kelas menengah ke bawah.
Sedang untuk obyek intelektual kelas atas mungkin sangat pas bila menggunakan jalur seperti yang ditempuh
Sunan Ampel.
Dus, dengan dua metodologi yang dipakainya, beliau telah berhasil menciptakan harmoni antara ulama dan
umara, antara akar rumput dan kalangan pemerintahan, walaupun masih berada dalam sekat tertentu, karena
beliau–sebagai sosok da’i yang mempertaruhkan hidupnya untuk berdakwah dan mengayomi umat–tetap
indipenden dan konsisten dengan posisinya sebagai ulama. Beliau tidak pernah dan memang tidak sudi
menggunakan alat kekuasaan sebagai kendaraan dakwahnya.
Maka tidak berlebihan jika beliau mendapat prototype sebagai wali sejati, wali dalam pengertian “kekasih Allah”
di dunia, bukan wali dengan arti penguasa setempat sebagaimana mispersepsi sebagian pemerhati sejarah
(yang mungkin juga tidak mengakui adanya wali Allah yang lain). Karena kalau kita merunut sejarah, maka akan
menghasilkan sebuah hipotesa sebagaimana di atas. Terbukti, beliau, sekali lagi, tidak mau menggunakan
kendaraan kekuasaan sebagai piranti memuluskan dakwahnya.
Ala kulli hal, metode dakwah Sunan Ampel melengkapi strategi dakwah walisongo secara umum, untuk menjadi
satu kesatuan yang nyaris sempurna guna memuluskan misi mulia yang mereka emban: menyebarkan risalah
Islam di tanah jawa. Dan, karena jasa-jasa mulianya inilah, ribuan atau bahkan jutaan doa senantiasa mengalir,
setiap saat, di setiap denyut doa umat Islam, hingga dunia enggan meneruskan sejarahnya.
MAKAM SUNAN AMPEL
Sunan Ampel Wafat di Surabaya, tahun 1425 M. Makamnya terletak di daerah Ampel Denta, Kota Surabaya,
Jawa Timur, Indonesia.

Asal usul SUNAN AMPEL
Tahukah anda dengan daerah Bukhara? Bukhara terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal
sebagai daerah Islam yang melahirkan ulama-ulama besar seperti Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris
hadist shahih.
Disamarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah
bermazhab syafi’I, beliau mempunyai seorang putera bernama Ibrahim, dan karena berasal dari samarqand maka
Ibrahim kemudian mendapatkan tambahan nama Samarqandi. Orang jawa sukar menyebutkan Samarqandi maka
mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berdakwah
ke negara-negara Asia. Perintah inilah yang dilaksanakan dan kemudian beliau diambil menantu oleh Raja Cempa,
dijodohkan dengan puteri Raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan.
Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinan dengan Dewi Candrawulan
maka Syekh Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putera yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali
Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya
Majapahit. Dengan demikian keduanya adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putera bangsawan atau
pangeran kerajaan. Para pangeran atau bangsawan kerajaan pada waktu itu mendapat gelar Rahadian yang
artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat dengan Raden.
Raja Majapahit sangat senang mendapat isteri dari negeri Cempa yang wajahnya dan kepribadiannya sangat
memikat hati. Sehingga isteri-osteri yang lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang
tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah isteri yang bernama Dewi Kian, seorang puteri Cina yang
diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.
Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damar
menggauli puteri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir kedunia. Bayi yang lahir dari Dewi Kian itulah yang
nantunya bernama Raden Hasan atau lebih dikenal dengan nama “ Raden Patah “, salah satu seorang daru murid
Sunan Ampel yang menjadi Raja di Demak Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran
Drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara. Dan para adipati banyak yang tidak loyal
dengan keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabumi.
Pajak dan upeti kerajaan tidak ada yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu
sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum
bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pra dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya
sadar betul bila kebiasaan semacam ini diteruskan negara/kerjaan akan menjadi lemah dan jika kerajaan sudah
kehilangan kekuasaan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu isteri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri dia
mengajukan pendapat kepada suaminya. Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal
mengatasi kemerosotan budi pekerti, kata Ratu Dwarawati.
Betulkah? Tanya sang Prabu . Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putera dari kanda Dewi Candrawulan di
negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali
Rahmatullah ke Majapahit ini.
Tentu saja aku merasa senang bila Rama Prabu di Cempa Berkenan mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ini kata
Prabu Brawijaya.
2. Ketanah Jawa
Maka pada suatu ketika diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali
Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan tersebut disambut gembira oleh Raja Cempa, dan Raja
Cempa bersedia mengirim cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan Sayyid Ali Rahmatullah ke tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya.
Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sayyid Ali Rahmatullah adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan
kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga tidak langsung ke Majapahit, melainkan terlebih dahulu ke Tuban.
Di Tuban tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggak dunia,
beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling daerah Nusa Tenggara, Madura dan
sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat
sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik, Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke
Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal layar yang ditumpanginya mendarat dipelabuhan Canggu. Kedatangannya disambut dengan suka cita oleh
Prabu Brawijaya. Ratu Dwarawati bibinya sendiri memeluknya erat-erat seolah-olah sedang memeluk kakak
perempuannya yang di negeri Cempa. Karena wajah Sayyid Ali Rahmatullah memang sangat mirip dengan kakak
perempuannya.
Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat
Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia!! Tanya sang Prabu kepada Sayyid Ali Rahmatullah setelah
beristirahat melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid Ali Rahmatullah
menjawab. Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan
saya mendidik mereka.
Bagus! Sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di
Surabaya. Disanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu”, Jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan dalam literatur bahwa
selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu
puteri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmtullah
adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu Raja Majapahit.
Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau adalah anggota keluarga kerajaan
Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dahulu ditandai dengan nama depan
Rahadian atau Raden yang berati Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.
3. Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di
Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan beliau
juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik.
Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman rotan.
Kipas-kipas ini dibagikan kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya
dengan kalimah syahadat.
Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan
sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena
penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat.
Pada saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Cara itu terus dilakukan sehingga rombongan memasuki desa kembang kuning. Pada saat itu kawasan desa
kembang kuning belum seluas sekarang ini. Disana sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa.
Dengan karomahnya Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat sembahyang
sederhana atau langgar. Tempat sembahyang itu sekarang dirubah menjadi mesjid yang cukup besar dan bagus
dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Mesjid Rahmat Kembang Kuning.
Ditempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan
Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden
Rahmat.
Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk mengadakan
pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat
kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberikan pengertian sedikit demi sedikit
tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan
Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepecayaan lama yang bertentangan
dengan ajaran Islam.
Setelah sampai ditempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun mesjid sebagai pusat
kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW saat pertama kali sampai di Madinah.
Dan karena menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal
sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata Susuhunan yang artinya yang dijunjung tinggi atau panutan
masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau
orang yang berilmu tinggi.
Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa
saja yang mau datang berguru kepada beliau.
4. Ajarannya yang terkenal
Hasil didikan mereka yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu :
1. Moh Main atau tidak mau berjudi
2. Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau tidak mau mencuri
4. Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja dan lain-lain.
5. Moh Madon atau tidak mau berzinah/main perempuan yang bukan isterinya.
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah
ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama
Islam maka Prabu Brawijaya tidak marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau.
Ia ingin menjadi raja Budha yang terakhir di Majapahit.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh wilayah Majapahit,
dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada
paksaan dalam beragama.
5. Sesepuh Wali Songo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai
Mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putera Sunan Ampel sendiri menjadi
anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria,
Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.
Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Wali Songo menggantikan kedudukan salah
seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain
tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan pihak
Majapahit.
Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tetapi
Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan
besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam, tak usah diserang oleh Demak Bintoro sebenarnya Majapahit
akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel terlalu lamban dalam memberikan
nasehat kepada Raden Patah.
“Mengapa Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah yang juga adalah menantunya sendiri. “Krena aku
tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putera Raja Majapahit Prabu
Kertabumi telah berlaku durhaka, yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”. Jawab Sunan Ampel dengan
tenang.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?”
“Kau harus sabar menunggu sembari menyusun kekuatan”, ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit akan
runtuh dari dalam, diserang Adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku putera Prabu
Kertabumi”.
“Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkwajiban membelanya?”
“Inilah ketentuan Tuhan”,sahut Sunan Ampel. Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu
persis kapankah persitiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu.
Sunan Ampel adalah penasehat Politik Demak Bintoro sekaligus merangkap Pemimpin Wali Songo atau Mufti
Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwa nya dipatuhi semua orang.
Kekhawatiran Sunan Ampel pun terbukti. Dikemudian hari ternyata orang-orang pembenci Islam memutar balikkan
fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang rajanya
adalah putera raja Majaphit sendiri. Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai anak durhaka. Ini dapat
anda lihat didalam serat darmo gandul maupun sejarah yang ditulis sarjana kristen pembenci Islam.
Raden Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan
Ampel Wafat pada tahun 1478 M. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak, Sunan Giri
diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali dan pemimpn agama se-Tanah
Jawa.setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia mneyetujui
aliran tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
Mengapa Sunan Giri bersikap demikian?
Karena pada tahun 1478 kerjaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari
kadipaten kediri atau keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri meneyetujui penyerangan Demak
atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit
yang terakhir.
Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan. Prabu Wijaya keburu
tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498.
Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya karena melihat kedudukan
Demak yang didukung Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu udara kuatir jika terjadi peperangan akan
menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan Portugis di Malaka. Padahal putera
mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun1511 telah menyerang Protugis.
Sejarah telah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untu menemui Alfinso d’Albuquerque
untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta (ggamelan), sepotong kain panjang bernama “Beirami” tenunan
kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun 1517
Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta majapahit secara sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit
ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentunya bangsa Portugis akan menjajah
Tanah Jawa jauh lebih cepat daripada Bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke
Demak Bintoro. Termasuk mahkota rajanya. Raden Patah diangkat sebagai raja Demak yang pertama.
Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Mesjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah
satu diantara empat tiang utama mesjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang
membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Beliau pula yang pertama kali menciptakan huruf pegon atau tulisan arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf
pegin ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada para muridnya. Hingga sekarang huruf pegon
tetap diapaki sebagai bahan pelajaran agama Islam dikalangan pesantren.
6. Penyelamat Aqidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung pleh Sunan Giri dan Sunan
Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di mesjid Agung Demak. Pada waktu itu
Sunan Kalijaga Mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan
dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel. “Apakah tidak
mengkhawatirkan dikemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang
berasal dari agama Islam, jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan pendapat Sunan
Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada ajaran Tauhid kita akan memberinya warna
Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama
sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera
masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa dibelakang
hari akan ada orang yang menyempurnakannya.
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan
Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang jawa, dan hal ini
terbukti, dikarekan dua wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolerir Islam maka
penduduk jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen
juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati menjalankan
syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar,
dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincir kelembah kemusyrikan.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah Barat Mesjid Ampel.
7. Murid-murid Sunan Ampel
Sebagaimana disebutkan dimuka murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan
para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Wali Songo adalah
murid-murid beliau sendiri.
Kali ini kita tampilkan kisah dua orang murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel
dimakamkan yaitu :
Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau
keistimewaan luar biasa.
Adalah sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur hingga sembilan kali. Ini bukan
cerita buatan melainkan ada buktinya. Disebelah timur mesjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu
bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan satu orang yaitu murid Sunan Ampel yang bernama Mbah
Soleh.
Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah seorang tukang sapu mesjid Ampel dimasa hidupnya Sunan Ampel.
Apabila menyapu lantai sangatlah bersih sekali sehingga orang yang sujud di mesjid tanpa sajadah tidak merasa
ada debunya.
Ketika Mbah Soleh wafat beliau dikubur didepan mesjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan
pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai mesjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh mesjid
itu lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel, bila Mbah Soleh masih hidup tentulah
mesjid ini menjadi bersih.
Mendadak Mbah Soleh ada dipengimaman mesjid sedang menyapu lantai. Seluruh lantaipun sekarang menjadi
bersih lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi.
Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya yang dulu. Mesjid menjadi
kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung
beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel
meninggalkan dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia sehingga kuburan Mbah Soleh ada
sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung sebelah timur.
Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan.
Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah luar biasa.
Kisahnya demikian, pada waktu pembangunan mesjid Agung Ampel Mbah Sonhaji lah yang ditugasi mengatur
tata letak pengimamannya. Mbah Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan sampai letak
pengimaman mesjid tidak menghadap arah kiblat. Tapi setelah pembangunan pengimaman itu jadi banyak orang
yang meragukan keakuratannya.
Apa betul letak pengimaman mesjid ini sudah menghadap ke kiblat? Demikian tanya orang meragukan pekerjaan
Mbah Sonhaji.
Mbah Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata, lihatlah
kedalam lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?.
Orang-orang itu segera melihat kedalam lubang yang dibuat oleh Mbah Sonhaji. Ternyata didalam lubang itu
mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah. Orang-orang ada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak
berani meremehkan Mbah Sonhaji lagi. Dan sejak itu mereka bersikap hormat kepada Mbah Sonhaji dan mereka
memberinya julukan Mbah Bolong.