Selasa, 07 Oktober 2014
SYAIR-SYAIR KEHIDUPAN
SYAIR-SYAIR KEHIDUPAN
Dahulu jiwa tercipta tidak ada yang percaya
Bahwa jiwa akan berbuat Aniaya terhadap sesama
Atas kasih sayang jiwa menjadi mulia
Semesta sujud berikan penghormatan
Jiwa turun kedunia karena wanita
Karena wanita jiwa mengerti arti bahagia
Wanita dicipta untuk jiwa agar memahami arti cinta
Dgn cinta jiwa mengerti bahwa jiwa adalah seorang hamba
Cinta bukan memiliki akan tetapi hanya ingin dimiliki
Biarlah cinta yang membawa jiwa kepada pemiliknya
Hanya Tulus dan Ikhlas yang membuat cinta itu bermakna
Karena Cinta telah cukup untuk cinta
Yang Maha Esa Mencipta alam semesta
Yang Maha Esa Mencipta manusia bukan dengan sia-sia
Tetapi hanya ingin menunjukkan apa itu bahagia
Agar manusia mengerti bahwa ia adalah seorang hamba yang memiliki Raja
Manusia turun kebumi untuk diuji
Untuk menjadi manusia sejati
Muliakan hati untuk mendapatkan derajat tertinggi
Menjadi kekasih yang dikasihi dan diberkati
Apakah Dunia tak seindah rupanya
Menipu dan memperdaya selama hidupnya?
Dunia ini telah menenggelamkan manusia, begitu kejamkah dunia ?
Sesungguhnya dunia dicipta untuk melayani dan dilayani, akan tetapi manusia sendiri yang tak tau diri,Egois bahwa manusia paling sempurna.
Bencana alam terjadi bukan karena usia dunia yang sudah tua
Tetapi manusia yang berbuat semena - mena terhadapnya
hanya ingin dilayani tetapi tidak ingin melayani
bencana tercipta karena manusia lupa hingga Yang Maha Murka
Hanya jiwa yang mengerti jiwanya
Hanya Jiwa yang sadar dapat mengerti jiwanya
Bahwa jiwa tidak selamanya didunia
Bahwa usia telah berkurang dalam dunianya
Jiwa tercipta untuk menjadi bahagia dan merdeka
Jiwa merdeka, hanya ikhlas yang ada
Saat Yang Maha berkata Inilah saatnya engkau kembali
Jiwa Pasrah dan rela hanya terucap kata
"LAILLAHA ILLAALLAAHU WALAQUWWATA ILLA BILLAH"
Amin.........................
Assalamualaikum ucap jiwa dalam hati
Jiwa Panjatkan doa sekedar berharap kepada ilahi
Mengetuk pintu sebagai tamu
Berharap diterima sebagai tamu yang diharapkan.
Oh, Pantaskah aku bertamu dengan ini?
Tanpa busana kebanggaan yang melekat pada diri
Akankah jiwa dihormati dan tidak dipandang setengah hati
Kukatakan padamu bahwa tuanku seorang pemurah hati.
Kemewahan tidak membuat jiwa mulia
Tanpa busana pun manusia bisa menjadi mulia
Bukankah jiwa datang tanpa harta?
Dan tahukah kamu harta apa yang paling mulia?
Sang Maha mewariskan Surga dan neraka
Bagi Hamba Yang bertaqwa dan durhaka
Puja dan Puji Bagi sang Maha
Engkau adalah Keadilan ilahi
Engkau cipta sang kaya dan kaum papa
Agar mereka bisa memberi dan menerima
Perbedaan yang berarti sama
Bahwa mereka sebenarnya tiada memiliki apa-apa
Benakku bertanya? Kenapa jiwa harus tercipta?
Kenapa jiwa tercipta kalau hanya untuk tiada?
Yang Maha berkata tidaklah kucipta semua ini dengan sia-sia
Apa maksud ini semua?
Semua jiwa pasti bertanya, siapakah aku yang sebenarnya?
Kenapa aku berada, dan kenapa aku harus tiada?
Tidakkah jiwa berpikir kenapa jiwa datang kedunia?
Pernahkah jiwa mendengar Yang Maha berkata
"KUCIPTAKAN JIN DAN MANUSIA HANYA UNTUK MENYEMBAH KEPADAKU"
Ku katakan kebenaran sejati, Ku katakan tujuan hidup sejati
Bahwa manusia hanya dicipta untuk menyembah kepada Sang Maha
Dahulu jiwa tercipta tidak ada yang percaya
Bahwa jiwa akan berbuat Aniaya terhadap sesama
Atas kasih sayang jiwa menjadi mulia
Semesta sujud berikan penghormatan
Jiwa turun kedunia karena wanita
Karena wanita jiwa mengerti arti bahagia
Wanita dicipta untuk jiwa agar memahami arti cinta
Dgn cinta jiwa mengerti bahwa jiwa adalah seorang hamba
Cinta bukan memiliki akan tetapi hanya ingin dimiliki
Biarlah cinta yang membawa jiwa kepada pemiliknya
Hanya Tulus dan Ikhlas yang membuat cinta itu bermakna
Karena Cinta telah cukup untuk cinta
Yang Maha Esa Mencipta alam semesta
Yang Maha Esa Mencipta manusia bukan dengan sia-sia
Tetapi hanya ingin menunjukkan apa itu bahagia
Agar manusia mengerti bahwa ia adalah seorang hamba yang memiliki Raja
Manusia turun kebumi untuk diuji
Untuk menjadi manusia sejati
Muliakan hati untuk mendapatkan derajat tertinggi
Menjadi kekasih yang dikasihi dan diberkati
Apakah Dunia tak seindah rupanya
Menipu dan memperdaya selama hidupnya?
Dunia ini telah menenggelamkan manusia, begitu kejamkah dunia ?
Sesungguhnya dunia dicipta untuk melayani dan dilayani, akan tetapi manusia sendiri yang tak tau diri,Egois bahwa manusia paling sempurna.
Bencana alam terjadi bukan karena usia dunia yang sudah tua
Tetapi manusia yang berbuat semena - mena terhadapnya
hanya ingin dilayani tetapi tidak ingin melayani
bencana tercipta karena manusia lupa hingga Yang Maha Murka
Hanya jiwa yang mengerti jiwanya
Hanya Jiwa yang sadar dapat mengerti jiwanya
Bahwa jiwa tidak selamanya didunia
Bahwa usia telah berkurang dalam dunianya
Jiwa tercipta untuk menjadi bahagia dan merdeka
Jiwa merdeka, hanya ikhlas yang ada
Saat Yang Maha berkata Inilah saatnya engkau kembali
Jiwa Pasrah dan rela hanya terucap kata
"LAILLAHA ILLAALLAAHU WALAQUWWATA ILLA BILLAH"
Amin.........................
Assalamualaikum ucap jiwa dalam hati
Jiwa Panjatkan doa sekedar berharap kepada ilahi
Mengetuk pintu sebagai tamu
Berharap diterima sebagai tamu yang diharapkan.
Oh, Pantaskah aku bertamu dengan ini?
Tanpa busana kebanggaan yang melekat pada diri
Akankah jiwa dihormati dan tidak dipandang setengah hati
Kukatakan padamu bahwa tuanku seorang pemurah hati.
Kemewahan tidak membuat jiwa mulia
Tanpa busana pun manusia bisa menjadi mulia
Bukankah jiwa datang tanpa harta?
Dan tahukah kamu harta apa yang paling mulia?
Sang Maha mewariskan Surga dan neraka
Bagi Hamba Yang bertaqwa dan durhaka
Puja dan Puji Bagi sang Maha
Engkau adalah Keadilan ilahi
Engkau cipta sang kaya dan kaum papa
Agar mereka bisa memberi dan menerima
Perbedaan yang berarti sama
Bahwa mereka sebenarnya tiada memiliki apa-apa
Benakku bertanya? Kenapa jiwa harus tercipta?
Kenapa jiwa tercipta kalau hanya untuk tiada?
Yang Maha berkata tidaklah kucipta semua ini dengan sia-sia
Apa maksud ini semua?
Semua jiwa pasti bertanya, siapakah aku yang sebenarnya?
Kenapa aku berada, dan kenapa aku harus tiada?
Tidakkah jiwa berpikir kenapa jiwa datang kedunia?
Pernahkah jiwa mendengar Yang Maha berkata
"KUCIPTAKAN JIN DAN MANUSIA HANYA UNTUK MENYEMBAH KEPADAKU"
Ku katakan kebenaran sejati, Ku katakan tujuan hidup sejati
Bahwa manusia hanya dicipta untuk menyembah kepada Sang Maha
Selasa, 30 September 2014
Membangun Semangat Kebersamaan dalam Kehidupan Berbangsa
Sudah menjadi mafhum bagi masyarakat
kita bahwa carut marut kondisi bangsa ini bersifat kompleks. Meski demikian
(tanpa bermaksud menyederhanakan masalah) jika dirunut maka akan bermuara pada
menipisnya rasa kebersmaaan. Satu rasa satu bangsa seiman dan se-Tuhan.
Dalam konsep fiqih rasa kebersamaan
ini dituangkan dalam teori maslahah ammah. Artinya bahwa kepentingan
bersama dan kebutuhan khalayak harus diutamakan di atas segala macam
kepentingan baik individu maupun golongan. Sehingga terciptalah tatanan
kehidupan yang kondusif. Jika demikian adanya, maka syari’at akan menemukan
makna haqiqinya sebagai sebuah jalan ‘syara’a’ yang menuntun kehidupan
ummat. Sebagaimana termaktub dalam surat al-Anbiya’ bahwasannya perwujudan
syariah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw merupakan rahmat bagi alam
semesta.
وما
أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Kami
mengutus Anda hanya bertujuan memberi rahmat bagi alam semesta”. (QS.
Al-Anbiya’: 107)
Sebagai sebuah bangsa yang bernegara
lengkap dengan pemerintahan sudah selayaknya jika kepentingan bersama menjadi
dasar dan pijakan pengambilan keputusan para elit negeri. Baik keputusan yang
berifat aksi maupun reaksi.
Namun seringkali kebersamaan ini
hanya menjadi stempel belaka yang tidak merujuk sama sekali pada kenyataan,
bahkan lebih dekat pada kepentingan hawa nafsu dan kesewenang-wenangan. Dalam
suasana pembangunan yang dinamis dewasa ini, selalu ditemukan istilah
kepentingan umum. Walaupun seringkali batasan ‘kepentingan umum’ ini menjadi
tidak jelas dan tidak sesuai dengan pengertian yang sesungguhnya. Kepentingan
umum akhirnya berkembang dalam perspektif yang beragam; ada kepentingan umum
menurut versi pengambil keputusan (umara), atau kepentingan umum menurut
“selera” sebagian kecil kelompok masyarakat, dan kepentingan umum yang dipersepsi
oleh masyarakat. Inilah yang dilarang oleh al-Qur’an, sebagaimana himabuannya
dalam surat as-Shad ayat 26
فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ
يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ
الْحِسَابِ
“Maka tegakkanlah hukum di antara
manusia secara benar dan janganlah Anda mengikuti hawa nafsu, yang akan
menjerumuskan Anda pada kesesatan, jauh dari jalan Allah.” (QS. Shad: 26)
Jika sudah demikian keberadaannya,
maka berbagai kerusakan akan menjadi penunggu setia bangsa ini. Bangsa yang
senang memutuskan segala macam kebijakan berdasar pada kepentingan hawa nafsu,
pribadi dan atau kelompok.
وَلَوِ
اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن
فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
“Andaikan kebenaran mengikuti
keinginan mereka, niscaya langit, bumi dan segala isinya akan binasa/rusak/hancur.” (QS. al-Mu’minun: 71)
Meski demikian tidak lantas segala
macam ‘kepentingan bersama’ dapat dijalankan. Ada rambu-rambu yang harus
ditaati demi menghindari kemudharatan. Diantaranya kepentingan bersama haruslah
selaras dengan tujuan syariat, yaitu terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar
manusia (al-ushul al-khamsah), yang meliputi: keselamatan keyakinan
agama, keselamatan jiwa (dan kehormatan), keselamatan akal, keselamatan
keluarga dan keturunan, dan keselamatan hak milik. Maka jikalau kepentingan
bersama itu telah melabrak lima dasar syariah itu, hendaklah segera ditinjau
kembali.
Rambu selanjutnya adalah bahwa
‘kepentingan bersama’ itu harus benar-benar mnecakup semua golongan yang
berbeda-beda apalagi di Indonesia yang sangat beragam baik agama, ras, suku
maupun adatnya. Maka dalam hal ini prinsip syura, berembug atau
musyawarah menjadi sangat strategis.
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى
بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Artinya: “... dan
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan mereka dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di internal mereka
sendiri.” (QS. Al-Syura: 38)
Senin, 29 September 2014
Gresik: Sebuah Catatan Perjalanan Sejarah Islam
Gresik:
Sebuah Catatan Perjalanan Sejarah Islam
Danang
Wahju Utomo
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur
Pada masa Majapahit (1293-1519),
daerah Gresik merupakan salah satu wilayah yang berada di pesisir utara Jawa
yang memiliki peran penting. Pada waktu itu Gresik merupakan salah satu pintu
masuk ke kotaraja Majapahit yang berada di pedalaman. Bahkan dalam sejarah,
Gresik dinilai memiliki peranan yang menonjol sebagai salah satu pelabuhan
utama dan tempat perdagangan antar bangsa dan negara. Banyak pedagang-pedagang
asing yang singgah di Gresik dengan tujuan berdagang sekaligus berdakwah,
khususnya para pedagang muslim. Kondisi tersebut masih berlangsung cukup
intensif setidaknya hingga abad XVIII. Bahkan ketika di Gresik terdapat dua
kabupaten yaitu Gresik (1660-1744) dan Sidayu (1675- ), Gresik masih cukup
ramai disinggahi kapal-kapal asing. Hal ini juga akibat dari keberadaan
VOC-Belanda (1603) yang berhasil mendirikan loji di Gresik sehingga aktifitas
perdagangan masih tetap ramai. Namun demikian hingga pertengahan abad XIV, nama
Gresik masih belum muncul dalam sumber-sumber tertulis.
Ada beberapa versi berkaitan dengan
toponim Gresik. Dikatakan berasal dari kata Qorrosyaik (Arab) atau Giri-gisik
(Jawa). Sementara itu dalam berita Cina disebutkan sebagai T’se-T’sun
(=Kersih), sedangkan orang Eropa (Belanda) menyebut dengan Girische dan karena
terjadi perubahan pengucapan sehingga berubah menjadi Grissee. Penyebutan
Girische oleh orang Belanda tersebut dimaksudkan untuk menyebut penduduk Gresik
sebagai orang Giri atau Negara Giri. Penyebutan Grissee ini masih berlangsung
hingga tahun 1916.
Adapun tafsiran lain diduga berasal
dari kata giri (bhs. Jawa: bukit) yang sangat sesuai dengan lokasi pusat Giri
berada di puncak bukit. Giri sebagai pusat pemerintahan didirikan oleh Sunan
Giri (Raden Paku bergelar Prabu Satmata) pada tahun 1487 sebagai Kerajaan Giri
Kedaton (1487-1506). Namun demikian tafsiran inipun belum sepenuhnya dapat
dijadikan acuan mengenai asal muasal nama Gresik. Bahkan beberapa penulis asing
menyebut Gresik dengan berbagai istilah yaitu Grisee, Gesih, Geresih, atau
Gerwarase. Penulis Portugis menyebut dengan Agazi yang diucapkan Agacime,
sedangkan penulis Cina menyebutnya dengan Klisik. Hingga tahun 1970 nama
Gerawasi masih digunakan.
Dari sumber tertulis nama Gresik
sebenarnya sudah muncul dengan sebutan grasik yang tercantum dalam Prasasti
Karang Bogem berangka tahun 1309 Saka (1387), yaitu pada baris 4 : ”…hanata
kawulaningang saking grasik…” (Pegeaud, 1960 :173). Tentunya yang dimaksud
Grasik disini masih merupakan permukiman kecil dan belum memiliki sebuah struktur
birokrasi yang kompleks seperti kota.
Namun demikian tidak dapat
dipungkiri bahwa Gresik yang berada di pantai utara Jawa Timur merupakan jalur
lalu lintas laut di Laut Jawa dan Selat Madura yang sangat ramai pada saat itu.
Bahkan jauh sebelum muncul nama Gresik, diperkirakan di daerah ini sudah muncul
komunitas-komunitas kecil sejak jaman Majapahit hingga keruntuhannya, yaitu
dari masa pemerintahan Raden Wijaya (1293-1309) sebagai raja pertama hingga
pemerintahan Rana Wijaya (1447-1519) yang tercatat sebagai raja terakhir, atau
bahkan lebih tua lagi.
Bukti eksisnya Gresik sebagai salah
satu tujuan perdagangan tentunya dapat dilihat dari aksessibilitasnya yang
dapat dicapai dari arah laut (dari luar) maupun dari sungai (dari pedalaman).
Wilayahnya yang langsung berhadapan dengan laut terbuka dengan topografi pantai
yang tidak curam sangat memungkinkan kapal-kapal berukuran besar merapat ke
pantainya. Selain itu untuk menuju ke pedalaman, terdapat beberapa sungai utama
yang melewati wilayah Gresik dan merupakan jalur transportasi air menuju ke
pedalaman. Sungai tersebut antara lain Sungai Manyar dan Bengawan Solo, bahkan
di sebelah selatan juga terdapat sungai Brantas yang juga berperan penting
dalam menyokong keberadaan Gresik sebagai salah satu pelabuhan utama pada masa
itu. Tidak mengherankan apabila di sepanjang sungai-sungai tersebut banyak
ditemukan jejak sejarah masa lalu yang merupakan bukti otentik dari keberadaan
sejarah kuna Gresik di masa lalu.
Beberapa Sumber Tertulis Tua: Bukti Sejarah Kuna Gresik
Belum dapat dipastikan adanya bukti-bukti tertua kehidupan manusia di Gresik, karena hingga saat ini belum pernah ditemukan kerangka manusia purba di Gresik. Batasan yang dimaksud dengan Gresik merupakan wilayah Kabupaten Gresik saat ini, sehingga jika kita berbicara mengenai sejarah kuna Gresik tidak terlepas dari adanya bukti-bukti sejarah tertua di wilayah Kabupaten Gresik secara keseluruhan.
Dari beberapa penelitian arkeologi
yang dilakukan di Gresik telah ditemukan bukti sejarah tertua baik berupa
prasasti maupun inskripsi. Adanya bukti tertulis tersebut merupakan pijakan
dalam menentukan periodesasi perkembangan sejarah suatu kota. Bukti tertulis
ini sangat penting karena merupakan sumber primer dalam penyusunan sejarah
sebuah kota. Dari beberapa sumber tertulis yang telah ditemukan memberikan
gambaran mengenai kehidupan manusia pendukungnya, yaitu: (1) inskripsi pada
batu nisan di kompleks makam Leran; (2) Prasasti Leran; (3) Prasasti Gosari;
dan (4) Prasasti Karang Bogem.
1. Inskripsi pada kompleks makam
Islam kuna di Leran
Inskripsi ini merupakan sumber tertulis tertua yang ditemukan di Gresik. Hasil pembacaan dari inskripsi tersebut menyebutkan nama seorang wanita yaitu Fatimah Binti Maimun Bin Hibatallah, meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H (25 Nopember 1082) (Moquette, 1921:397). Informasi tersebut merupakan bukti kuat yang memberikan petunjuk bahwa pada masa itu telah ada permukiman di Leran (tepi Sungai Manyar, Gresik) dan diduga telah memiliki peran yang cukup penting. Namun setelah Prasasti Leran ini tidak ditemukan lagi kesinambungan sejarah yang dapat menjadi benang merah pada masa-masa kemudian.
Inskripsi ini merupakan sumber tertulis tertua yang ditemukan di Gresik. Hasil pembacaan dari inskripsi tersebut menyebutkan nama seorang wanita yaitu Fatimah Binti Maimun Bin Hibatallah, meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H (25 Nopember 1082) (Moquette, 1921:397). Informasi tersebut merupakan bukti kuat yang memberikan petunjuk bahwa pada masa itu telah ada permukiman di Leran (tepi Sungai Manyar, Gresik) dan diduga telah memiliki peran yang cukup penting. Namun setelah Prasasti Leran ini tidak ditemukan lagi kesinambungan sejarah yang dapat menjadi benang merah pada masa-masa kemudian.
2. Prasasti Leran
Sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan Leran adalah sebuah prasasti perunggu (saat ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta) yang dikenal dengan Prasasti Leran. Huruf dan bahasa yang digunakan adalah Jawa Kuna, tidak berangka tahun tetapi diperkirakan berasal dari abad XIII M. Isi prasasti menyebutkan sebuah daerah perdikan (sima) yang bernama Leran yang memiliki bangunan suci Hindu tempat Rahyangta Kutik.
Sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan Leran adalah sebuah prasasti perunggu (saat ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta) yang dikenal dengan Prasasti Leran. Huruf dan bahasa yang digunakan adalah Jawa Kuna, tidak berangka tahun tetapi diperkirakan berasal dari abad XIII M. Isi prasasti menyebutkan sebuah daerah perdikan (sima) yang bernama Leran yang memiliki bangunan suci Hindu tempat Rahyangta Kutik.
3. Prasasti Gosari
Salah satu temuan yang cukup menarik lainnya adalah Prasasti Gosari yang berada di Desa Gosari, Kecamatan Ujungpangkah. Prasasti Gosari beraksara dan berbahasa Jawa Kuna dipahatkan pada dinding karst (batu kapur) yang merupakan rangkaian bukit kapur di Desa Gosari. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (2010), diperoleh angka tahun 1298 Saka (1376). Bunyi dari Prasasti Gosari sebagai berikuti:
Ë1298Ë• di[1]wa[2]sa ni ngambal
• duk wi[3]nahon
• denirasanramasamadayamakadi
• sira[4]buyutajrah[5]tali[6]kursi
• rakaduraha[7]no-[8]
yang terjemahannya sebagai berikut:
Salah satu temuan yang cukup menarik lainnya adalah Prasasti Gosari yang berada di Desa Gosari, Kecamatan Ujungpangkah. Prasasti Gosari beraksara dan berbahasa Jawa Kuna dipahatkan pada dinding karst (batu kapur) yang merupakan rangkaian bukit kapur di Desa Gosari. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (2010), diperoleh angka tahun 1298 Saka (1376). Bunyi dari Prasasti Gosari sebagai berikuti:
Ë1298Ë• di[1]wa[2]sa ni ngambal
• duk wi[3]nahon
• denirasanramasamadayamakadi
• sira[4]buyutajrah[5]tali[6]kursi
• rakaduraha[7]no-[8]
yang terjemahannya sebagai berikut:
“tahun 1298 Saka di Ambal waktu itu
(tempat ini) didiami oleh beliau san rama samadaya terutama beliau buyut ajarh
talikur, beliau (yang) tersingkirkan”.
Keberadaan Prasasti Gosari tersebut
juga didukung dengan adanya temuan lain berupa fragmen gerabah beserta tungku
pembakarannya (kiln) yang mengindikasikan sebagai tempat industri gerabah
tradisional. Kualitas gerabah yang sangat bagus (tipis dan halus) menunjukkan
satu perkembangan teknologi pengerjaan gerabah yang sudah sangat maju.
Diperkirakan gerabah Gosari ini didistribusikan ke pusat kerajaan Majapahit
karena di Trowulan sebagai situs Kerajaan Majapahit banyak ditemukan fragmen
gerabah dengan karakteristik yang sama dengan fragmen gerabah dari Gosari
tetapi di Trowulan tidak ditemukan tungku pembakarannya. Hal ini menunjukkan
telah adanya satu hubungan perdagangan antara wilayah produksi yang berada di
daerah pesisir dengan wilayah konsumen yang berada di pedalaman.
4. Prasasti Karang Bogem
Prasasti ini berasal dari tahun 1309 Saka (1387), yang isinya antara lain menyebutkan nama tempat grasik yang mungkin dapat diidentifikasi sebagai Gresik. Toponim grasik ini tercantum dalam kalimat “……hanata kawulaningang saking grasik warigaluh ahutang saketi rong laksa…..” yaitu menceritakan bahwa seorang (nelayan) dari Gresik mempunyai hutang sebesar sekati dua laksa. Diceritakan pula bahwa di Karang Bogem ada seorang Patih Tambak yang bertugas mengurus tambak dan pengumpulan iuran dari sesama nelayan dan petambak lainnya, seperti tercantum dalam kalimat “…..uruhane yen ingong amage haken karange patih tamba karang bogem…..” Prasasti ini berhuruf dan berbahasa Jawa Kuna. Penyebutan tempat yang bernama Karang Bogem tersebut diperkirakan berada di Tanjung Widoro, Mengare (Bungah) yaitu berada di muara Bengawan Solo.
Prasasti ini berasal dari tahun 1309 Saka (1387), yang isinya antara lain menyebutkan nama tempat grasik yang mungkin dapat diidentifikasi sebagai Gresik. Toponim grasik ini tercantum dalam kalimat “……hanata kawulaningang saking grasik warigaluh ahutang saketi rong laksa…..” yaitu menceritakan bahwa seorang (nelayan) dari Gresik mempunyai hutang sebesar sekati dua laksa. Diceritakan pula bahwa di Karang Bogem ada seorang Patih Tambak yang bertugas mengurus tambak dan pengumpulan iuran dari sesama nelayan dan petambak lainnya, seperti tercantum dalam kalimat “…..uruhane yen ingong amage haken karange patih tamba karang bogem…..” Prasasti ini berhuruf dan berbahasa Jawa Kuna. Penyebutan tempat yang bernama Karang Bogem tersebut diperkirakan berada di Tanjung Widoro, Mengare (Bungah) yaitu berada di muara Bengawan Solo.
Dari batu nisan di Leran, Prasasti
Leran, dan Prasasti Gosari tersebut tidak ditemukan adanya penyebutan tentang
Gresik. Adapun penyebutan nama tempat, seperti di Prasasi Leran yang
menyebutkan toponim leran sebagai tanah perdikan (sima) dan Prasasti Gosari
yang menyebutkan toponim ambal belum memperlihatkan kedudukan Gresik dalam
sejarah. Nama Gresik baru disebut dalam Prasasti Karang Bogem sebagai grasik,
namun demikian belum dapat dipastikan kedudukannya sebagai kota. Berdasarkan
bukti tertulis tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu telah ada komunitas
manusia yang bermukim di wilayah Kabupaten Gresik meskipun masih dalam bentuk
desa atau perkampungan.
Jejak Awal Peradaban Islam di Gresik
1. Makam Fatimah Binti Maimun Bin Hibatallah
Data arkeologis menunjukkan bahwa Islam sudah ada di Jawa pada akhir abad ke XI. Data tersebut berupa inskripsi pada bangunan makam (nisan) yang terdapat di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Kompleks makam Islam kuna tersebut menempati lahan seluas 2.280m², terletak di tepi Sungai Manyar yang merupakan salah satu jalur transportasi air dari daerah pesisir menuju ke pedalaman.
Dalam kompleks pemakaman ini
terdapat salah satu makam dengan bangunan cungkup dari batu putih yang memiliki
inskripsi Arab pada batu nisannya. Hasil pembacaan dari inskripsi tersebut
menyebutkan nama seorang wanita yaitu Fatimah Binti Maimun Bin Hibatallah,
meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Nopember
1082 (Moquette, 1921:397). Huruf yang digunakan untuk menulis pada nisan
tersebut menggunakan huruf Kuffi (Arab). Bukti tersebut menunjukkan bahwa pada
sekitar abad XI sudah ada suatu komunitas Islam di sekitar Gresik. Belum
diketahui secara pasti ketokohan dari Fatimah Binti Maimun Bin Hibatallah serta
peranannya dalam sejarah Gresik sendiri.
Jadi pada akhir abad XI tersebut merupakan
suatu masa di antara pemerintahan raja Airlangga (Jawa Timur) yang turun tahta
pada tahun 1042 dengan masa pemerintahan raja-raja Kadiri yang mulai berkuasa
pada tahun 1222. Agaknya di tengah masa antara dua mata rantai sejarah ini
telah terjadi hubungan antara penduduk yang bermukim di pesisir utara pulau
Jawa dengan para pendatang dari luar yang menyebarkan ajaran Islam di Gresik.
Dapat dipastikan bahwa hubungan daganglah yang memungkinkan terjadinya
pertemuan antara para pendatang yang membawa ajaran Islam di belahan barat
dengan orang dari timur yang dahulunya banyak menganut agama Hindu dan Budha.
Dalam sejarah, Fatimah binti Maimun
atau dikenal dengan Putri Retno Suwari adalah putri Raja Kamboja, Sultan
Machmud Syah Alam. Kedatangannya ke tanah Jawa adalah untuk misi penyebaran
agama Islam, dimana pada waktu itu hampir seluruh penduduk Jawa masih menganut
ajaran Hindu – Budha. Belum diketahui pasti strategi politik yang digunakan,
mengapa untuk penyebaran Islam di tanah Jawa tersebut harus mengirim seorang
wanita untuk menyebarkan ajaran Islam.
Kemudian selama kurang lebih 300
tahun tidak ada bukti-bukti material tentang keberadaan Islam di Jawa. Baru
pada abad XIV muncul bukti-bukti material tentang keberadaan Islam di Jawa.
Bahkan pada masa Majapahit (1294-1478), gelombang kedatangan agama Islam ke
Pulau Jawa ini semakin besar dan mencapai puncaknya pada akhir abad XIV. Pada
masa inilah di Majapahit banyak dijumpai orang–orang Islam yang bermukim di
kotaraja Majapahit. Penganut Islam di Majapahit mendapat tempat tersendiri
dalam dinamika kehidupan masyarakat di Kerajaan Majapahit. Hal ini dibuktikan
dengan adanya satu kompleks situs pemakaman Islam dari masa Majapahit yang
berada di Troloyo, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto,
Jawa Timur. Sementara itu di wilayah Aceh tepatnya di daerah Samudera Pasai
pada abad XIII sudah berdiri suatu kerajaan yang bercorak Islam. Hal ini dapat
dilihat dari batu nisan kepala suatu makam yang ditemukan di Blang Me. Nisan
yang bertuliskan huruf Arab tersebut memuat nama As-Sultan Al-Malik Al-Saleh
yang meninggal pada tahun 696 H (1297) (Moquetta,1914:10-11).
Keberadaan makam Fatimah Binti
Maimun Bin Hibatallah di Gresik merupakan bukti tertua tinggalan bercorak Islam
di Indonesia. Hal ini mempertegas peranan Gresik di masa lalu yang sudah eksis
sejak lama dan menjadi salah satu tujuan utama perdagangan dari daerah lain.
Namun sampai sekarang pengetahuan tentang keberadaan Situs Leran ini masih
terbatas, tidak lebih dari apa yang tertulis pada nisan tertua tersebut.
Seolah-olah data tentang makam ini berdiri sendiri, belum dicari hubungannya
dengan sejarah atau data pendukung lainnya. Berdasarkan data tertulis dan
arkeologis, tampak bahwa daerah Leran merupakan salah satu wilayah yang berhubungan
dengan proses Islamisasi tertua di pantai utara pulau Jawa, sekaligus sebagai
daerah kegiatan ekonomi, terutama di Asia Tenggara
2. Makam Maulana Malik Ibrahim
Berbicara tentang Maulana Malik Ibrahim tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah kota Gresik, karena makamnya ada di kota itu. Gresik adalah salah satu kota pelabuhan kuno di kawasan pantai utara Pulau Jawa. Pada awal abad XV Gresik telah menjadi pelabuhan dagang yang kaya. Banyak pedagang asing dan bumiputera yang berdatangan ke Gresik, diantaranya para pedagang Islam. Di sela-sela kegiatan berdagang inilah para pedagang Islam juga menyebarkan ajaran Islam kepada orang Gresik.
Berbicara tentang Maulana Malik Ibrahim tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah kota Gresik, karena makamnya ada di kota itu. Gresik adalah salah satu kota pelabuhan kuno di kawasan pantai utara Pulau Jawa. Pada awal abad XV Gresik telah menjadi pelabuhan dagang yang kaya. Banyak pedagang asing dan bumiputera yang berdatangan ke Gresik, diantaranya para pedagang Islam. Di sela-sela kegiatan berdagang inilah para pedagang Islam juga menyebarkan ajaran Islam kepada orang Gresik.
Salah seorang tokoh penyebar ajaran
Islam di Gresik adalah Syeh Maulana Malik Ibrahim. Belum diketahui pasti
mengenai asal usul orang tuanya. Ada pendapat bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir
di Kasyan (Persia) tetapi tahun kelahirannya tidak diketahui. Menurut Thomas
Stamford Raffles (Letnan Gubernur Inggris di Pulau Jawa pada tahun 1811-1816)
dalam kitab History Of Java (1817), Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan dari
Zainul Abidin bin Hasan bin Ali (Syaidina Ali adalah menantu dari Nabi Muhammad
SAW). Kemudian dalam perjalanannya, sempat bermukim di Gujarat (India) lalu
menjadi seorang pedagang dan penyiar agama Islam. Belum diketahui pasti kapan
masuk dan menyebarkan Islam di Jawa.
Syeh Maulana Malik Ibrahim dikenal
pula dengan nama Syeikh Maghribi atau Gribig, lengkapnya Sunan Gribig. Beliau
sempat berkelana ke Malaka tetapi akhirnya menetap di Surabaya. Dalam usahanya menyebarkan
agama Islam di Surabaya dan sekitarnya, beliau mengajarkan akhlaqul karimah
yang baik dan mendirikan pesantren di Ampel Denta. Pesantren ini menjadi besar
dan sempat menjadi salah satu pusat syiar Islam yang dapat mengisi dan
menentramkan masyarakat yang berada dalam kancah perebutan kekuasaan di
Majapahit serta krisis kepercayaan.
Syeh Maulana Malik Ibrahim wafat
pada tahun 882 H atau 1419, dan dimakamkan di kota Gresik, sekitar 20 km di
sebelah Barat kota Surabaya. Makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik merupakan
sebuah kompleks pemakaman Islam. Dalam kompleks pemakaman tersebut juga
dimakamkan istri dan anaknya. Inskripsi yang ada di makam Malik Ibrahim tidak
hanya terdapat pada nisannya, tetapi juga pada badan makam bagian atas. Namun
karena terjadi vandalisme maka tulisan tersebut menjadi aus dan sulit untuk
dibaca. Bagian yang masih dapat dikenali ialah surat Al-Ikhlas dengan tulisan
Kuffi kaku yang dirangkai menjadi satu. Nama Malik dan waktu wafatnya tertulis
pada batu nisan secara lengkap.
Kolom tulisan terdiri dari dua buah,
yaitu 2 kolom melengkung di bagian atas dan 10 kolom tersusun di bagian bawah.
Kedua kolom melengkung di bagian atas terdapat dua ayat. Kedua ayat ini
mempunyai latar keimanan kepada Allah SWT bagi umat Islam. Kolom pertama
menyatakan kekuasaan Allah SWT yang tidak pernah dikenai sifat kurang,
disambung dengan ayat ke 256 yang menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam
memeluk agama Islam. Kolom kedua terkait dengan kekuasaan Allah SWT yang Maha
Pengatur termasuk di dalamnya tentang kematian manusia. Sedangkan 10 kolom
dibagian bawah dapat diartikan, bahwa Malik Ibahim sebagai ulama yang berasal
dari masayarakat elit, juga sebagai penguasa, adil dan memperhatikan fakir
miskin. Oleh karena itu, sampai sekarang makamnya banyak dikunjungi para
peziarah.
Apabila pertanggalan pada nisan
Fatimah Binti Maimun dibandingkan dengan nisan Malik Ibrahim maka terdapat
perbedaan 200 tahun, makam Fatimah binti Maimun lebih tua daripada makam Malik
Ibrahim. Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa kedatangan pengaruh Islam
ditandai dengan batu nisan Fatimah binti Maimun, sedangkan pertanggalan di batu
nisan Malik Ibrahim merupakan kelanjutan perkembangannya.
3. Awal penyebaran Islam melalui
aktifitas perdagangan di Gresik berdasarkan sumber berita asing
Berdasarkan berita Cina dari Dinasti Yuan dan Ming sekitar abad XIII–XVI, menyebutkan keadaan kota-kota di pesisir utara Jawa Timur yang juga berfungsi sebagai pelabuhan seperti Tuban (Tu-Phing-Shuh), Gresik (Ts’et-‘un), dan Surabaya (Patsich). Semua pelabuhan tersebut sering dikunjungi oleh kapal-kapal dan saudagar asing seperti dari Arab, Persia dan Portugis (Grouneveldt, 1960:22). Salah satu pelabuhan yang cukup ramai pada abad 13 adalah Tuban, yang merupakan pelabuhan utama Kerajaan Majapahit. Sekitar abad XV, menjelang keruntuhan Majapahit, pelabuhan Tuban mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan banyaknya peristiwa perompakan sehingga banyak saudagar dan pedagang mengalihkan perhatiannya ke pelabuhan-pelabuhan di wilayah Gresik yang dianggap relatif lebih aman.
Berdasarkan berita Cina dari Dinasti Yuan dan Ming sekitar abad XIII–XVI, menyebutkan keadaan kota-kota di pesisir utara Jawa Timur yang juga berfungsi sebagai pelabuhan seperti Tuban (Tu-Phing-Shuh), Gresik (Ts’et-‘un), dan Surabaya (Patsich). Semua pelabuhan tersebut sering dikunjungi oleh kapal-kapal dan saudagar asing seperti dari Arab, Persia dan Portugis (Grouneveldt, 1960:22). Salah satu pelabuhan yang cukup ramai pada abad 13 adalah Tuban, yang merupakan pelabuhan utama Kerajaan Majapahit. Sekitar abad XV, menjelang keruntuhan Majapahit, pelabuhan Tuban mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan banyaknya peristiwa perompakan sehingga banyak saudagar dan pedagang mengalihkan perhatiannya ke pelabuhan-pelabuhan di wilayah Gresik yang dianggap relatif lebih aman.
Pada tahun 1416, Ma-Huan mencatat
bahwa penduduk di Gresik telah banyak yang menganut Islam. Seperti kita
ketahui, bahwa pada masa 1500-1800, di pesisir utara Jawa Timur merupakan pusat
aktivitas perdagangan yang ramai. Dengan munculnya Demak sebagai penguasa baru
masa Islam, maka pelayaran antara Selat Malaka melalui pesisir utara (Tuban dan
Gresik) hingga Maluku menjadi sangat ramai. Berbagai komoditas perdagangan dari
berbagai daerah diperdagangkan baik berupa hasil bumi, rempah-rempah maupun
barang produksi lainnya. Perdagangan tersebut didominasi para saudagar muslim.
Dari sumber Cina tersebut juga diketahui, bahwa pada abad XV, Tuban masih
dikunjungi oleh saudagar asing (Grouneveildt 1960 : 32). Secara umum, baik
berita Cina, Portugis, Italia dan Belanda yang menyebutkan tentang Gresik pada
abad XIV hingga XVII memberi kesan bahwa posisi Gresik sebagai kota pelabuhan
dagang tidak penah lepas dari sejarah penyebaran agama Islam (B. Schrike,
1960:18-27).
Sejarah Gresik hampir tidak dapat
dipisahkan dengan sejarah perkembangan Islam di Jawa Timur dan Indonesia.
Pemberitaan dari para pedagang asing yang pernah singgah di Gresik sudah sangat
jelas menceritakan kondisi Gresik dan perkembangannya dari masa ke masa. Selain
itu berdasarkan berbagai inskripsi pada makam Islam kuna di Gresik diketahui
perkembangan penyebaran Islam di Gresik. Bahkan kita dapat mengetahui peran dan
perkembangan penyebaran Islam dari berbagai sumber babad yang dikaji oleh D. L.
Monier pada pertengahan pertama abad XIX. Kajian-kajian itu terus berkembang
hingga saat ini meskipun hanya melihat Gresik sebagai objek bagi pengkajian
tentang penyebaran Islam. Dari berbagai kajian itu terdapat pendapat yang
bersifat umum bahwa penyebaran Islam di Jawa dimulai pada abad XIV
(Soedjatmoko, et.al., 1975:43 ).
Sunan Giri (1487-1506): Giri Kedhaton (1487-1743) sebagai Awal Pemerintahan di Gresik
Setiap tanggal 9 Maret kota Gresik memperingati hari jadinya. Penetapan hari jadi kota Gresik ini atas pertimbangan kajian sejarah masa silam, yaitu didasarkan pada peristiwa penting yang terjadi pada tanggal 9 Maret 1487 atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awal 897 H. Pada saat itu, Sunan Giri dinobatkan sebagai raja Giri Kedaton dengan gelar Prabu Satmata. Peristiwa bersejarah tersebut kemudian dicatat oleh sejarawan bernama Dr. H.J. de Graaf dalam bukunya Geschieden Van Indonesie menulis: “…..is het ogenblik voor Praboe Satmata gekomen om zich aan de weereld tee openbaren. Hij vestig zich op de berg (Sanskriet: Giri) bij Grisse en wordt de eeste der befamde Soenans Van Giri…..” (“…..tibalah saatnya Prabu Satmata memproklamirkan dirinya kepada dunia. Beliau berkedudukan di atas bukit dekat Gresik dan menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan yang ada…..”)
Penobatan Sunan Giri sebagai raja
tersebut bisa diartikan sebagai tonggak sejarah lahirnya dinasti pemerintahan
baru di Kerajaan Giri Kedaton. Perlu diketahui sebelum Kerajaan Giri Kedaton
berdiri Gresik merupakan bagian wilayah “hegemoni” Kerajaan Majaphit. Bukti tentang
itu bisa dilihat dari Prasasti Karang Bogem berangka tahun 1387 yang isinya
antara lain menetapkan seorang penguasa lokal bernama Patih Tambak yang
tugasnya mengurusi pajak hasil tambak yang harus disetor ke Majapahit. Lokasi
Karang Bogem sendiri diperkirakan berada di Tanjung Widoro Mengare, Bungah
(berada di muara Bengawan Solo).
Semenjak Sunan Giri membangun
imperium pemerintahan kerajaan di Giri Kedaton praktis hubungan Gresik dengan
Majapahit mengalami gangguan. Majapahit menempatkan Giri Kedaton sebagai rival
dan Sunan Giri sebagai musuh bebuyutan. Berbagai percobaan pembunuhan terhadap
Sunan Giri sering dilakukan namun selalu gagal. Pada masa pemerintahan Sunan
Giri, Kerajaan Giri Kedaton terus berkembang pesat. Ibu kota kerajaan dibangun
istana lengkap dengan taman sarinya, masjid, tempat pengajaran agama, dan
asrama untuk santri. Khusus untuk aktivitas dakwah dalam rangka syiar agama
Islam ini, Dr. H. J. de Graaf menuliskan dalam bukunya “Geschiedenis Van
Indonesie”, sebagai berikut: “……..Murid-murid berdatangan dari segala penjuru,
bahkan Maluku, beberapa daerah di sebelah timur Gresik telah menyatakan bahwa
dari Girilah tersebarnya Islam seperti : Madura, Lombok, Makasar, Hittoe dan
Ternate……”. Hal ini menunjukkan bahwa Giri tidak hanya sebagai pusat
pemerintahan tetapi juga sebagai pusat syiar ajaran Islam yang menyebar hingga
ke seluruh pelosok nusantara. Bersamaan runtuhnya Majapahit maka Kerajaan Giri
Kedaton semakin menunjukkan kebesarannya. Sunan Giri dengan Giri Kedatonnya
begitu kesohor dan oleh karenanya sering dijadikan pusat rujukan
kerajaan-kerajaan Islam lain. Bahkan istana Giri Kedaton juga pernah dijadikan
sebagai tempat pelantikan beberapa pembesar kerajaan lain.
Sebagaimana sebuah “imperium
kekuasaan” Kerajaan Giri Kedaton pun beralih dari satu dinasti ke dinasti yang
lain. Berdasakan sumber Babad Gresik diawali pemerintahan Sunan Giri
(1487-1506), Sunan Dalem (1506-1545), Sunan Sedomargi (1545-1548), dan Sunan
Prapen (1548-1625). Ada perbedaan angka tahun periodesasi pemerintahan di Giri
Kedaton berdasarkan Babad Gresik dengan yang disusun J.A.B. Wisselius (dalam
Historisch Onderzoek, Naar de Geestelijke en Wereldlijke: Suprematie van Grisse
op Midden en Oost Java). Menurutnya periodesasi pemerintahan di Giri Kedaton
adalah sebagai berikut: Sunan Giri (1487-1511), Sunan Dalem (1511-1551), Sunan
Sedomargi (1551-1553), Sunan Prapen (1553-1587), Sunan Kawis Guwo (1587-1601),
Panembahan Kawis Guwo (1601-1614), Panembahan Agung (1614-1638), Panembahan Mas
Witana (1638-1660), Pangeran Puspa Ita (1660-1680), Pangeran Wirayadi ( -1703),
Pangeran Singonegoro ( -1725), dan dinasti Giri Kedaton yang terakhir adalah
Pangeran Singosari ( -1743) adalah rangkaian imperium yang telah berjasa
membangun tonggak pemerintahan kerajaan di Giri Kedaton. Segala kebesaran yang
pernah diraih dinasti-dinasti tersebut pantaslah kita kenang. Pada saat
Pangeran Puspa Ita berkuasa di Giri Kedaton, wilayah Gresik sendiri sebenarnya
telah mengalami era baru pemerintahan yaitu ketika berubah menjadi Kabupaten Gresik
(1660-1744) disebut Kanoman dan Kabupaten Sidayu (1675-1910) disebut Kasepuhan.
Jadi diduga ketika para pangeran masih berkuasa, Giri Kedaton sudah tidak
memiliki pengaruh secara politis dan digantikan peranannya dengan pemerintahan
kabupaten (Gresik dan Sidayu).
Menurut Serat Centhini, Raja
(Brawijaya) Majapahit menganggap Giri Kedhaton sebagai saingan beratnya. Oleh
karena itu, raja Majapahit ini melakukan dua kali penaklukan terhadap Kewalian
Giri. Pertama pada masa Kanjeng Sunan Giri I dan kedua pada masa Kanjeng Sunan
Giri Prapen. Kewalian Giri dianggap telah menjadi kekuatan tandingan yang
hendak menyaingi wibawa dan kekuasaan istana Majapahit. Serangan pertama ini
gagal total karena kuatnya pertahanan Giri Kedaton. Atas keberhasilan
mempertahankan salah satu pusat syiar Islam di Jawa, maka Sunan Kalijaga
mengusulkan untuk memberikan gelar Prabu Satmata.
Di kalangan Wali Sanga, Sunan Giri
juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun
peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan
politiknyapun dijadikan rujukan. Ketika Raden Fatah melepaskan diri dari
Majapahit, Sunan Giri dipercaya untuk meletakkan dasar-dasar kerajaan masa
perintisan atau ahlal-halli wa al-‘aqd di Bintoro.
Menurut Graaf, sebagaimana dikutip
oleh Ricklefs (1974) lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang,
dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya melintas sampai
ke luar Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah
sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri. Pengaruh Sunan Giri tercatat
dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan
Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri
disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau Khalifah bagi umat Islam.
Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat sebagai tokoh penting dalan
penyebaran ajaran Islam di Jawa.
Perjuangan dan pemerintahan Sunan
Giri ini semakin kokoh karena dalam menjalankan pemerintahannya menggunakan
jalur agama, ekonomi, politik, budaya dan pendidikan. Diriwayatkan dalam Babad
Gresik, pada malam Jum’at, 24 Rabi’ul Awwal 913 H (1428 Saka atau 1506) Sunan
Giri wafat pada usia 63 tahun. Giri Kedhaton bertahan hingga 200 tahun. Salah
seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih
menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada abad XVIII. Menurut Babad Hing
Gresik, Sunan Giri wafat pada tahun 1428 Saka atau 1506 dan dimakamkan di Giri
(gunung) Gajah.
Gresik (1660-1744) sebagai Kabupaten: Periode Giri dan Gresik
Menurut Wiselius, ketika Giri Kedaton mengalami kemunduran gelar Panembahan diubah menjadi Pangeran yang bermakna sebagai lambang kekuasaan duniawi, bukan spiritual. Namun demikian pemerintahan di Giri Kedaton masih mendapat pengakuan. Sementara itu di Gresik sendiri terbentuk pemerintahan kabupaten yang merupakan bagian dari Mataram (1660), yang dipimpin oleh bupati sebagai berikut: Bupati Gresik Nala Dika (1660-1680), Bupati K.T. Pusponegoro I (1695-1730), Bupati K.T. Astra Negara (tidak diketahui periodesasinya), dan Bupati K.T. Pusponegoro II ( -1744). Pada masa ini Bupati Gresik bersama-sama memimpin dengan para pangeran di Giri Kedaton, sehingga pada masa ini disebut dengan periodesasi Giri dan Gresik.
Pada periodesasi Giri dan Gresik
inilah terjadi peristiwa bersejarah yaitu pecahnya perang Trunojoyo yang
melawan Raja Mataram Amangkurat I dan Amangkurat II terjadi pada tahun
1675-1679. Peristiwa lainnya adalah terjadinya konspirasi antara Bupati
(Kanoman) Gresik Pusponegoro II dengan penguasa Giri Pangeran Singosari yang
akan merebut kekuasaan Bupati (Kasepuhan) Sidayu Jayanegara. Konspirasi
tersebut berhasil diredam dengan bantuan kompeni (Belanda), sehingga Pangeran
Singosari berhasil diusir dari Giri melarikan diri ke Japan (Bojonegoro) dan
meninggal di Desa Bekukul, sedangkan Pusponegoro II diberhentikan sebagai
bupati Gresik dan dibuang ke Betawi (Jakarta).
Kabupaten Sidayu (1675-1910): Gresik Pasca Giri Kedaton
Kalau kita melintas di jalur Pantura (Jalan Pos Daendels) tepat dipertigaan Sidayu kita akan melihat alun-alun kota yang jarang kita temui di kota sekelas Kecamatan. Alun-alun Sidayu yang luasnya tiga kali lipat alun-alun kota Gresik ini, tampak sangat berwibawa karena dikelilingi bangunan tua yang memberi kesan Sidayu bukanlah kota kemarin sore, bahkan pernah menjadi kabupaten yang wilayahnya meliputi kota Gresik sekarang.
Pemerintahan Kabupaten Sidayu mulai
didirikan tahun 1675 dengan Bupati pertamanya bernama Raden Keromo Wijaya. Dari
tahun 1675 hingga Kabupaten Sidayu dirubah statusnya oleh pemerintah Kolonial
Belanda menjadi Countelir (Perwakilan) tahun 1910, telah dilantik 10 orang
Bupati. Dari 10 Bupati yang pernah memerintah di Sidayu tentunya masing-masing
membawa cerita yang turut mewarnai perkembangan Sidayu berikutnya.
Berbicara masalah Sidayu tidak bisa
terlepas dari peran Kanjeng Sepuh, salah satu Bupati yang terkenal pada
masanya. Berdasarkan keterangan sejarah yang dihimpun oleh almarhum KH. Ridwan
Ahmad dan putranya KH. Suhail Ridwan bahwa Kanjeng Sepuh sebenarnya adalah
Bupati Sidayu VIII (ke delapan). Dia menjabat antara tahun 1817 hingga
meninggal tanggal 9 Maret 1856. Nama aslinya adalah Raden Adipati
Soeryodiningrat. Bupati Kanjeng Sepuh (Adipati Soeryo Adiningrat) khususnya
bagi masyarakat Sidayu dan Lamongan merupakan bupati yang paling terkenal
karena telah banyak jasa yang ditorehkan. Dia dikenal sebagai sosok pemimpin
yang mempunyai dua kelebihan, yaitu ilmu lahir dan ilmu batin.
Kanjeng Sepuh merupakan darah biru
keturunan raja dari Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo. Berdasarkan
silsilah yang ada Kanjeng Sepuh adalah putra selir Pakubuwono III Senopati ing
Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin (Sayid Abdulrachman) Panatagama Khalifatullah.
Dalam istilah masyarakat Kanjeng Sepuh merupakan keturunan Sinuwun Solo.
Sidayu sendiri berdasarkan
keterangan buku “Kerajaan Islam Pertama di Jawa” karangan sejarawan Belanda Dr.
H. J. de Graaf dan Th. Pegeaud disebutkan “babat alasnya” pertamakali dirintis
seorang pande besi bernama Empu Supa. Sidayu (daerah antara Tuban dan Gresik)
merupakan hadiah Raja Majapahit atas keberhasilan Empu Supa mengembalikan keris
kerajaan bernama Sumelang Gandring yang dicuri Raja Blambangan.
Daftar Pustaka
Anonim, 1995. Kompleks makam Sunan Prapen-Gresik, Mojokerto: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur,
———-, 1991. Kota Gresik sebuah
Perspektif Sejarah dan Hari Jadi. Gresik: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat
II Gresik.
———-, 1995. “Penelitian Arkeologi
Kota di Gresik, Jawa Timur”, Jurnal Penelitian Arkeologi, No. 2. Yogyakarta:
Balai Arkeologi.
———-, 2003. Warta Kediri, Media
Informasi Pemerintah Kabupaten Gresik No. 42 (Pebruari).
Djajusman, 1975. Laporan Hasil
Pemugaran Cungkup Makam Panembahan Kawisguwo, Kompleks Makam Sunan
Prapen-Gresik. Mojokerto: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.
Graaf, H. J. de dan Th. G. Th.
Pigeaud, 1989. Kerajaa-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Kajian Sejarah Politik
Abad ke-15 dan ke-16. Cetakan ketiga. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti
(Grafitipers).
Harkatiningsih, Naniek, dkk.,
1997/1998. Laporan Penelitian Situs Pasucinan, Kecamatan Manyar, Kabupaten
Gresik, Provinsi Jawa Timur, No. 48. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi
Jakarta.
Hasyim, Umar, 1976. Sunan Giri.
Kudus
Hatmadji, Tri, t.t. Jejak Para Wali
dan Ziarah Spritual. Klaten: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa
Tengah.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan
Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN. Balai
Pustaka.
Soekadri, Heru, 1977. Dari
Hujunggaluh ke Çūrabhaya (Menggali Tanggal Lahirnya Surabaya). Surabaya:
Jurusan Sejarah FKIS – IKIP Surabaya.
Suhadi, Machi, dkk., 1994/1995.
Makam-Makam Wali Sanga di Jawa. Jakarta: Departemen Pandidikan dan Kebudayaan
Suprapto, Untung, 1989. Mengenal
Kepurbakalaan Islam di Pesisir Utara Jawa Timur.
Umiati, N.S., 2003. Peninggalan
Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, Surabaya: Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur.
Wisselius, J.A.B., 1878. “Historisch
Onderzoek, naar de Geestelijke en Wereldlijke: Suprematie van Grissee op Midden
en Oost Java”, TBG. XXIII.
Zainuddin, Oemar, 2010. Kota Gresik
1896-1916 Sejarah Sosial Budaya dan Ekonomi. Jakarta: Ruas.
Langganan:
Postingan (Atom)