Sudah menjadi mafhum bagi masyarakat
kita bahwa carut marut kondisi bangsa ini bersifat kompleks. Meski demikian
(tanpa bermaksud menyederhanakan masalah) jika dirunut maka akan bermuara pada
menipisnya rasa kebersmaaan. Satu rasa satu bangsa seiman dan se-Tuhan.
Dalam konsep fiqih rasa kebersamaan
ini dituangkan dalam teori maslahah ammah. Artinya bahwa kepentingan
bersama dan kebutuhan khalayak harus diutamakan di atas segala macam
kepentingan baik individu maupun golongan. Sehingga terciptalah tatanan
kehidupan yang kondusif. Jika demikian adanya, maka syari’at akan menemukan
makna haqiqinya sebagai sebuah jalan ‘syara’a’ yang menuntun kehidupan
ummat. Sebagaimana termaktub dalam surat al-Anbiya’ bahwasannya perwujudan
syariah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw merupakan rahmat bagi alam
semesta.
وما
أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Kami
mengutus Anda hanya bertujuan memberi rahmat bagi alam semesta”. (QS.
Al-Anbiya’: 107)
Sebagai sebuah bangsa yang bernegara
lengkap dengan pemerintahan sudah selayaknya jika kepentingan bersama menjadi
dasar dan pijakan pengambilan keputusan para elit negeri. Baik keputusan yang
berifat aksi maupun reaksi.
Namun seringkali kebersamaan ini
hanya menjadi stempel belaka yang tidak merujuk sama sekali pada kenyataan,
bahkan lebih dekat pada kepentingan hawa nafsu dan kesewenang-wenangan. Dalam
suasana pembangunan yang dinamis dewasa ini, selalu ditemukan istilah
kepentingan umum. Walaupun seringkali batasan ‘kepentingan umum’ ini menjadi
tidak jelas dan tidak sesuai dengan pengertian yang sesungguhnya. Kepentingan
umum akhirnya berkembang dalam perspektif yang beragam; ada kepentingan umum
menurut versi pengambil keputusan (umara), atau kepentingan umum menurut
“selera” sebagian kecil kelompok masyarakat, dan kepentingan umum yang dipersepsi
oleh masyarakat. Inilah yang dilarang oleh al-Qur’an, sebagaimana himabuannya
dalam surat as-Shad ayat 26
فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ
يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ
الْحِسَابِ
“Maka tegakkanlah hukum di antara
manusia secara benar dan janganlah Anda mengikuti hawa nafsu, yang akan
menjerumuskan Anda pada kesesatan, jauh dari jalan Allah.” (QS. Shad: 26)
Jika sudah demikian keberadaannya,
maka berbagai kerusakan akan menjadi penunggu setia bangsa ini. Bangsa yang
senang memutuskan segala macam kebijakan berdasar pada kepentingan hawa nafsu,
pribadi dan atau kelompok.
وَلَوِ
اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن
فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
“Andaikan kebenaran mengikuti
keinginan mereka, niscaya langit, bumi dan segala isinya akan binasa/rusak/hancur.” (QS. al-Mu’minun: 71)
Meski demikian tidak lantas segala
macam ‘kepentingan bersama’ dapat dijalankan. Ada rambu-rambu yang harus
ditaati demi menghindari kemudharatan. Diantaranya kepentingan bersama haruslah
selaras dengan tujuan syariat, yaitu terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar
manusia (al-ushul al-khamsah), yang meliputi: keselamatan keyakinan
agama, keselamatan jiwa (dan kehormatan), keselamatan akal, keselamatan
keluarga dan keturunan, dan keselamatan hak milik. Maka jikalau kepentingan
bersama itu telah melabrak lima dasar syariah itu, hendaklah segera ditinjau
kembali.
Rambu selanjutnya adalah bahwa
‘kepentingan bersama’ itu harus benar-benar mnecakup semua golongan yang
berbeda-beda apalagi di Indonesia yang sangat beragam baik agama, ras, suku
maupun adatnya. Maka dalam hal ini prinsip syura, berembug atau
musyawarah menjadi sangat strategis.
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى
بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Artinya: “... dan
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan mereka dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di internal mereka
sendiri.” (QS. Al-Syura: 38)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar