Minggu, 29 November 2015
Contoh Surat Pembaca
Saya pernah mewawancarai cukup lama sosok wanita pendiam yang tak punya latar belakang jurnalistik, tetapi perkasa membesarkan majalah Intisari dan turut membidani kelahiran Kompas 45 tahun lalu. Namanya Zus Wat atau Ibu Irawati Suwandhi. Beliau adalah satu dari “rasulnya Pak Ojong” yang membesarkan Kompas, selain Pak Jakob Oetama, Pak Khoe Woen Sioe dan Pak Adisubrata. Pak P.K. Ojong adalah pendiri harian Kompas bersama Pak Jakob Oetama.
Selama berbincang dengan wanita asal Kudus ini, saya banyak menangkap pesan. Suaranya yang lembut nyaris tak terdengar, Zus Fat menceritakan bagaimana berdarah-darahnya saat awal majalah Intisari berdiri taun 1963 hingga membidani kelahiran harian Kompas tahun 1965.
Dari cerita Zus Fat, saya jadi tahu bagaimana sederhananya Pak Ojong dengan idealisme maha tinggi untuk membangun sebuah harian yang kelak menjadi harian terbesar di Indonesia. Zus Fat dan Pak Ojong masih ada pertalian hubungan keluarga.
Kekerasan hati Zus Fat yang tak punya latar belakang jurnalitik itu, bagi saya adalah simbol, bahwa idealisme untuk menyajikan berita dengan baik, tidak bisa dikalahkan oleh apapun. Meskipun orang itu tak punya modal keahlian teknis.
“Yang kau tulis ini bukan bahasa Indonesia, tapi bahasa Belanda”, kata Pak Jakob yang waktu itu mengerjakan bagian editing, ketika mengoreksi setiap tulisan Zus Fat untuk Intisari di awal berdirinya. Zus Fat banyak menguasai bahasa asing terkadang terbawa dalam tulisannya, yang selalu memakai kalimat aktif. “Seharus kalimat pasif yang kau gunakan”, kenang Zus Fat pada perkataan Pak Jakob kepadanya.
Memang kalau kita bertemu dengan orang-orang Kompas, terutama yang dulu, terasa mereka begitu lemah lembut. Entah orang-orang yang sekarang saya tak tahu. Ini karena sudah didisain cetakannya oleh Pak Ojong, sehingga semua orang Kompas terkesan ramah yang terbawa ketika mereka mengelola Kompas. Kalau saya mengantarkan istri menghadiri misa di Gereja Santa, Kebayoran Baru, sering duduk berdekatan dengan Pak Jakob Oetama yang kadang menyebar senyum kepada siapa saja dengan rambutnya yang makin memutih.
Dan lucunya juga, waktu itu, saya banyak menemukan kenyatan bahwa wartawan Kompas berasal dari etnis Jawa Tengah atau Nusa Tenggara Timur yang memiliki latar belakang pemahaman Katolik. Mereka umumnya kalau bertutur sangat sopan dan ramah. Meski ada seorang wartawan Kompas seperti Pak Azkarmin Zaini menulis buku super lucu tentang orang Jawa naik haji.
Dari pengalaman itu, saya sadar mengapa berita Kompas tidak pernah meledak-ledak. Ya, bagaimana mau meledak, yang mengelola dan menulis berita hampir semua karakternya sama. Yaitu mengedepankan rasa hati, bukan amarah. Walaupun protes mereka menulisnya dengan cara mereka sendiri yang menyentuh hati nurani.
Saya masih ingat, kalau tak salah tahun 1976, Kompas menuliskan sebuah features sangat menarik yang sulit saya lupakan. Artikel itu di halaman depan bagian kanan bawah tentang tukang cukur Presiden Soeharto lengkap dengan fotonya. Entah bagaimana Kompas bisa menembus sumber beritanya. Sampai saat ini kita tidak tahu dimana dan siapa yang mencukur rambut kepala Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid dan Susilo Yudhoyono.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar