Sultan
Auliya’ – Syaikh Abdul Qadir al Jailani
Yang istimewa dari manaqib ini
adalah diambil dari karya Imam Ibn Hajar Asqalani, seorang ulama hadits yang
terkenal kehati-hatiannya. Beliau jarang membahas tentang tasawuf (sufi),
sehingga karya yang diambil dari kitab kecil ini perlu mendapat perhatian.
Karya tidak diambil semuanya, hanya dicuplik sebagian kecil saja. Jika ingin
menelaah seluruhnya, silakan baca kitabnya. Banyak beredar di toko buku.
.
Syaikh Abdul Qadir al Jailani (470 –
562H)
Beliau adalah syekh Abdul Qadir Ibn
Abu shalih Musa “Janki Dost” ibn Abu Abd Allah Ibn Yahya al-Zahidi Ibn Muhammad
Ibn Dawud, Muhyi al-Din (Penegak Agama), Abu Muhammad al-Jili, al-Jilani (orang
Jilan), al-Baghdadi (orang Baghdad), seorang Arif bi Allah (mencapai makrifat
Allah), al-shufi (seorang sufi), al-Hanbali (pengikut mazhab Hanbali). Beliau
lahir pada tahun 470 Hijriah.
Datang ke Baghdad untuk belajar
hadis, beliau belajar fikih kepada Abu Sa’id al-Makhzumi al-Hanbali. Syekh Abu
Sa’id membangun sebuah madrasah, lalu memberikannya kepada Syekh Abdul Qadir.
Di madrasah itulah syekh Abdul Qadir berdakwah kepada manusia, memberi wejangan
kepada mereka semua, dan manusia memperoleh banyak manfaat karena kehadiran
beliau. Beliau memiliki wajah yang sejuk, juga sangat pendiam, kecuali jika
sudah menyangkut amar makruf nahi munkar-maka beliau sangat tegas dan keras. Di
dalam diri beliau bersemayam sikap zuhud yang tak berbanding, dan beliau
memiliki ahwal (kondisi ruhaniah) yang baik, serta peIbuagai ketersingkapan
spiritual. Bagi para pengikut dan sahabat-sahabat, beliau mewariskan peIbuagai
ajaran. Beliau wafat pada malam Sabtu tanggal 8 Rabi, al-Awwal tahun 562
Hijriah, dan usia 90 tahun, dimakamkan di [areal] madrasahnya.
Syekh Abdul Qadir memiliki beberapa
karya, antara lain:
(1) Tuhfah al-Muttaqin wa Sa bil al-’Arifin;
(2) Hizb al-Ra ja’wa al-lntiha ‘;
(3) Risa la h al-Gha utsiyya h;
(4)) Al-Ghunya h fi alTasha wwuf;
(5) Futuh al-Ghaib;
(6) al-Fuyudlat at-Rabbaniyyah fi al-Aurad al-Qadiriyyah;
(7) Al-Kibrit al-Ahmar fi Shala t ‘ala at-Nabiyy Saw;
(8) Mara tib al-Wujud;
(9) Mftaj Lathif al-Ma’a ni;
(10) Yawaqit al-Hikam, dll.
(1) Tuhfah al-Muttaqin wa Sa bil al-’Arifin;
(2) Hizb al-Ra ja’wa al-lntiha ‘;
(3) Risa la h al-Gha utsiyya h;
(4)) Al-Ghunya h fi alTasha wwuf;
(5) Futuh al-Ghaib;
(6) al-Fuyudlat at-Rabbaniyyah fi al-Aurad al-Qadiriyyah;
(7) Al-Kibrit al-Ahmar fi Shala t ‘ala at-Nabiyy Saw;
(8) Mara tib al-Wujud;
(9) Mftaj Lathif al-Ma’a ni;
(10) Yawaqit al-Hikam, dll.
Berkaitan dengan tarjamah (biografi,
sejarah hidup) beliau, Anda bisa melihat dalam kitab-kitab berikut ini:
(1) Kasyf al-Zhunun, 5/596;
(2) Al-A’lam karya al-Zarkali, 4/47;
(3) Al-Nujum al-Zahirah, 5/371.;
(4) Syadzarat al-Dza hab, 4/198;
(5) Al-Thabaqat aLKubra karya al-Sya’rani, 1/108;
(6) At-Ka wakib al-Durriyyah, 1/676;
(7) Fawat al-Wafayat, 2/2;
(8) Mu’jam al-Mu’a llifin, 5/307;
(9) Hadiyyah al-Arifin, 1/596;
(10) Al-Bidayah wa al-Nihayah, 12/276, dll.
(1) Kasyf al-Zhunun, 5/596;
(2) Al-A’lam karya al-Zarkali, 4/47;
(3) Al-Nujum al-Zahirah, 5/371.;
(4) Syadzarat al-Dza hab, 4/198;
(5) Al-Thabaqat aLKubra karya al-Sya’rani, 1/108;
(6) At-Ka wakib al-Durriyyah, 1/676;
(7) Fawat al-Wafayat, 2/2;
(8) Mu’jam al-Mu’a llifin, 5/307;
(9) Hadiyyah al-Arifin, 1/596;
(10) Al-Bidayah wa al-Nihayah, 12/276, dll.
Telah ada sebuah riwayat yang sering
disebut tentang hari kelahiran Syekh, kata Ibnu al-Najjar: Syekh dilahirkan
pada tahun 471. Yang lain dari kalangan ahli sejarah mengkabari kami, bahwa
Syekh lahir sekitar tahun 470, atau sesudahnya. Ketika Syekh Abdul Qadir
ditanya tentang kelahirannya, beliau berkata: ‘Aku tidak tahu persis, akan
tetapi yang jelas aku memasuki Baghdad ketika berumur delapan belas tahun
bertepatan dengan tahun wafatnya Syekh al-Namimi. ” Syekh al-Namimi adalah
seorang Syekh mazhab Hanbali yang bernama Rizq Allah bin Abd al-Wahhab-dan wafatnya
pada bulan Jumadil Awwal, tahun 488 Hijriah.
Ibu Syekh bernama Fathimah, dengan
nama alias Ummul Jabbar, dan sering dijuluki Ummul Khair. Al-Yunaiti berkata:
“Beliau dinamakan demikian karena memiliki anugerah yang banyak dan agung,
yakni berupa kebajikan dan kesalehan.” Abu Sa’id al-Hasyimi berkata: “Dalam hal
ini, beliau memang pantas [dijuluki demikian], karena beliau merupakan putri
dari seorang syekh ahli zuhud Abu Abdullah al-Shum’i, dan apalagi beliau
[Fathimah] memiliki sifat-sifat kebajikan dan kesalehan.”
Al-Syanthufi meriwayatkan darijalur
Nashr bin Abd al-Razzaq: Aku mendengar dari para syekh terkemuka negeri-negeri
Ajam, serta ulamaulama mereka, yang meriwayatkan dari nenek-moyang mereka,
bahwa [ketika masih bayi] Syekh Abdul Qadir tidak menyusu puting bundanya pada
bulan Ramadhan. Ada tambahan riwayat darijaluryang lain: Bahwa suatu waktu
Imenjelang Ramadhan] tanggaltertutup awan, maka orang-orang bertanya kepada
Ibnda Abdul Qadir, dan dijawabnya bahwa Abdul Qadir hari itu tidak menyusu, dan
kemudian orang-orang diyakinkan bahwa pada hari itu adalah [memang] awal
Ramadhan. Al-Syanthufi menambahkan, katanya: “Kemudian tersebarlah berita ke
seluruh negeri, bahwa Abdul Qadir adalah bocah mulia, karena ia tidak menyusu
di siang hari Ramadhan, dan dia mempunyai seorang bibi bernama Aisyah, seorang
yang salehah.”
ClRI-CIRI SYEKH
Syekh al-Muwaffiq berkata: “Beliau
berbadan langsing, posturnya tinggi sedang, dan dadanya lebar. Beliau memiliki
jenggot yang lebat, kedua alis mata beliau bewarna coklat dan bertemu satu sama
lain. Beliau memiliki suara yang keras terdengar.” Syekh Iburahim bin Sa’id
al-Dari berkata: “Beliau memakai pakaian ulama, memakai thailosan (sorban khas
ulama, semacam toga di zaman sekarang,-pent.), dan mengendarai bagal [jika bepergian].”
MASA DEWASA, MENCARI ILMU, DAN MASUK
DUNIA TAREKAT
Ibnu al-Najjar berkata, melaluijalur
periwayatan yang sudah sangat dikenal: Abu Muhammad Abduilah bin Abu ar-Husain
al-Hayani menulis untukku, dan aku menyarinnya dari tulisannya itu, katanya,
syekh al-Jilani berkata, bahwa suatu kali Ibndanya berkata kepadanya: “Pergilah
ke Baghdad dan carilah imu di sana.” KataSyekh: “Maka aku pun melewati negeri
demi negeri, dan aku waktu itu masih berumur enam belas tahun. Ibnu Tsaman
rnengatakan: sepuluh tahun, dan aku suntuk dalam laku mencari ilmu tersebut.”
Thalhah bin Muzhaffar al-Alani
berkata: Syekh berkisah: “Suatu kali aku tinggal di Baghdad selama 20 hari,
tetapi aku tidak mendapatkan apa pun yang bisa aku makan, juga aku tidak
mendapatkan pekerjaan. Maka aku pergi ke Serambi Agung lwan Kisra, mencari
pekerjaan. Di sana aku berjumpa dengan tujuh puluh orang saleh, yang kesemuanya
punya maksud yang sama denganku. Aku berkata sendiri: “Rasanya seperti tidak
memiliki watak muru’oh [wibawa] jika aku harus bersaing dengan rnereka.” Maka
aku kernudian kembali ke Baghdad, dan kemudian aku bertemu dengan seorang yang
mengenaliku kenal, karena dia [ternyata] adalah penduduk satu kampung denganku.
Dia memberiku beberapa uang logam, sembari berkata: “Ini ibumu yang mengirimkan
untukmu melalui aku.” Aku istirahat sejenak setelah menerima uang tadi, lalu
aku mengambil sebagian untukku, sedangkan sisanya aku bawa ke kawasan miskin di
sekitar Serambi Agung, dan di sana aku membagi-bagikannya kepada tujuhpuluh
orang saleh itu. ?pa ini?” tanya mereka. Aku menjawab: “Ini pemberian dari
bundaku di Jilan untukku. Aku merasa tidak sreg untuk menghabiskannya sendiri
tanpa berbagi dengan kalian”. Kemudian aku kembali lagi ke Baghdad, dan
menggunakan uang yang tersisa untuk beli makanan yang cukup banyak. Aku
mengajak orang-orang miskin bergabung denganku, dan kemudian kami pesta
bersama. Tidak ada sisa lagi sedikit pun dari uang-uang logam tadi. Habis.”
Thalhah berkata, kata syekh lagi:
“Dalam hatiku tebersit keinginan untuk keluar [saja] dari Baghdad, karena waktu
itu kurasa banyak sekali fitnah (bencana) terjadi di sana. Maka aku mengambil
mushaf al-Qur’an dan menggantungnya di pundakku. Aku laiu berjalan menuju
gerbang al-Khaliqah, agar aku bisa keluar menuju gurun pasir [saja]. Akan
tetapi, tiba-tiba aku mendengarsebuah suara berkata kepadaku: “Kamu hendak ke
mana?” Suara itu [seperti] mendorong fisikku dengan sangat kuat, sehingga aku
terhempas ke tanah. serasa suara itu berdiri di belakangku ketika dia berkata:
“Kembalilah, karena manusia akan memperoleh rnanfaat dari keberadaanmu di
sini.” Aku menjawab: “Apa urusanku dengan orang lain! Kepentinganku adalah
bagaimana menyelamatkan agamaku.” Dia menjawab: “Pokoknya kembali saja, maka
keselamatan agamamu akan dijamin!” Hingga sekarang aku tak pernah melihat wujud
fisikal suara tersebut.” “Tidak lama setelah itu, pada suatu malam aku
mengalami penghampiran aneka keadaan ruhani (ahwol). Aku merasa sangat sulit
memahami makna-makna di balik ke semua ihwal tersebut. Aku pun berdoa kepada
Allah, kiranya Dia sudi rnempertemukan aku dengan seseorang yang akan
menyingkapkan makna-makna itu untukku. Esoknya, aku berjalan melewati sebuah
tempat bernama Al-Muzhaffariyyah. Di sana aku berpapasan dengan seorang yang
membuka pintu rumahnya. Dia berkata kepadaku: “Hai Abdul Qadir, kesinilah!” Aku
mendatangi rumahnya dan berdiri di hadapannya, dan dia bertanya: ‘Apa yang kamu
minta tadi malam atau kemarin?” Aku terdiam, seperti kehilangan kata-kata.
Sikapku itu rupanya membuat dia
jengkel. Dia membanting daun pintu keras-keras di depanku, sampai debu-debu
ujung pintu itu mengepul menerpa wajahku.” “Kemudian, ketika aku berlalu
sebentar, aku baru teringat tentang apa yang aku mohonkan kepada Allah, dan aku
langsung berpikiran bahwa orang itu tadi adalah seorang dari kalangan saleh
(wali). Maka aku coba melangkah balik, mencari rumah itu lagi. Sayangnya, aku
tidak bisa menemukannya, sampai akhirnya dadaku terasa sesak. Di kemudian hari
aku tahu bahwa orang tersebut adalah Syekh Hammad al-Dabbas. Aku menjadi
muridnya, dan dia berkenan menyingkapkan makna dari ihwal yang sulit aku pahami
itu.” “[Biasanya, selama menjadi muridnya,ljika aku tidak hadir di hadapan
Syekh Dabbas karena sedang belajar ilmu fikih, disaat aku kembali menghadapnya
dia [akan] berkata: “Apa urusanmu datang kemari? Kamu kan seorang ahli fikih.
Enyah saja dari sini, dan bergabunglah dengan para fukaha!” Aku hanya diam
saja. Ketika tiba hari Jumat, di keluar dari Baghdad bersama beberapa
sahabatnya untuk menunaikan salat Jumat. Aku juga ikut bergabung. Salatnya di
masjid jamik Rushafah. Dia tampak sangat kedinginan, karena waktu itu memang
sedang musimnya. Ketika melintasi sebuah sungai, dan sampai di jembatannya, dia
mendorongku sehingga aku tercebur dan hanyut. Telanjur basah, aku niatkan saja
sekalian mandiJumat. “Bismillah, aku mandiJumat,” kataku. padahal waktu itu aku
memakai jubah wul, dan di [saku] lenganku ada upah [hasil kerjaku], maka aku
angkat kedua tanganku [untuk minta tolong]. Tetapi mereka membiarkanku begitu
saja, dan mereka pergi. Akhirnya dengan susah payah aku berhasil mentas dari
sungai. Aku peras jubahku yang kuyup dan mengikuti mereka ke masjid, dan aku
waktu merasa sangat sakit karena kedinginan.”Di kali yang lain, jika aku tidak
datang ke hadiratnya, [lagi-tagi] karena sedang belajar fikih, dan kemudian
datang ragi kepadanya, dia biasanya berkata: “Hari ini kita menerima kiriman
roti berlapis madu yang sangat banyak. Kami makan semuanya, dan tidak
menyisakan sedikit pun buat kamu.” sahabat-sahabat syekh Dabbas juga tidak
jarang-jarang berlaku kasar kepadaku, mungkin karena mereka juga kerap kali
melihat syekh Dabbas menyakitiku, terutama melalui kata-katanya yang pedas.
Jika aku datang, mereka biasanya akan berkata-kata mencibir seperti ini: “Kamu
kan ahli fikih, jadi untuk apa kamu ke sini?” atau, “Apa yang membawamu ke
sini?” Tetapi, jika Syekh Hammad tahu mereka menyakitiku, serta merta dia
membelaku dengan berkata kepada mereka: “Wahai anjing-anjing, kenapa kalian
sakiti dia! Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang [derajat
spiritualnya] setara dengan dia. Aku menyakiti dia semata-mata demi menguji
dia, supaya dia kelak menjadi gunung yang tak bisa tergoncangkan.
KELUASAN PENGETAHUAN SYEKH
Ibnu al-Jauzi berkata dalam
kitabnya, Mir’oh al-Zoman, bahwa: “suatu kali beberapa fatwa dari negeri
seperti lrak dan sekitarnya disampaikan kepada Syekh Abdul Qadir. Tetapi, tidak
pernah sekali pun suatu fatwa singgah pada syekh, kecuari beriau rangsung
menuriskan tanggapan setelah membacanya tanpa berpikir sama sekali. syekh
berfatwa menurut mazhab syaf i dan mazhab Ahmad bin Hanbal (Hanbali), dan
beliau memberikan jawabannya kepada para ulama, sehingga mereka merasa takjub
karena begitu cepat beliau memberikan tanggapan. siapa pun yang menguasai suatu
bidang keilmuan, pasti syekh juga menguasai ilmu tersebut, sehingga beliau bisa
mengatasi lawan-debatnya, dan membuat mereka jadi butuh terhadap syekh. Dan
sebagairnana dinukil dari beberapa ulama terkemuka, bahwa syekh menguasai tiga
belas macam iimu pengetahuan” Di madrasahnya, beliau mulai dengan mengajar ilmu
tafsir, kemudian ilmu hadis, lalu fikih, lalu tentang khiiafiah, dan [khusus]
bakda dhuhur, para santri membaca al-eur,an dengan aneka macam qira’ah, lengkap
dengan jalur riwayatnya.”
Diceritakan dari syekh Ali:’Aku
berziarah ke makam lmam Ahmad Ibn al- Hanbali Ra, [maka] aku lihat [secara
ruhaniah] lmam Ahmad keluar dari kuburnya dan mendekap Syekh sampai menempel ke
dadanya dan memakaikan kepadanya sebuah pakaian [jubah, khil'ah], sembari
berkata: “Mereka telah berhajat kepadamu dalam ilmu syariat dan ilmu hakikat.”
Syekh ‘Umar berkata: “Pada suatu
malam, ketika aku memanggil bangsa jin karena suatu.urusan [dengan mereka],
mereka datang terlambat. Ketika akhirnya datang, mereka berkata: “Jangan lagi
kamu panggil kami pada hari ketika kami sedang berada di majelis Syekh Abdul
Qadir.” Aku bertanya: “Hei, apakah kalian juga menghadiri majelis Syekh Abdul
Qadir Ra?” Mereka menjawab: “Ya, dan demi Allah, sebagian dari kami ada yang
masuk Islam melalui tangannya, sementara sebagian yang lain sekarat dan mati
[karena mendengar ceramahnya].”
Al-Syanthufi dari jalur Abu Abdillah
bin Abu al-Fatah mengisahkan: ‘Aku berkhidmat pada Syekh Abdul Qadir selama
empat puluh tahun. Selama itu pula aku melihat bahwa Syekh selalu salat subuh
dengan wudhu salat isya; beliau memasuki ruang khalwatnya sehabis salat isya
dan tidak keluar kecuali saat terbit fajar.” Kata Syanthufi lagi: ‘Aku pernah
bermalam di rumah Syekh, aku melihat beliau salat di awal malam dengan cara
yang ringan (berdurasi pendek), kemudian beliau berzikir hinggal sepertiga
malam yang pertama dan beliau melayang ke udara sehingga lepas dari
pandanganku. Kemudian beliau salat [sunat] sembari berdiri dan memanjangkan
sujudnya, lalu duduk dengan mantap dan sedemikian suntuk (tenang), dan kulihat
seberkas cahaya meliputi beliau sehingga pandanganku hampir lenyap.” Syekh
pernah berkata: ‘Aku telah menelisik segala bentuk amal [kesunatan].
Kesimpulanku, tak ada amal yang lebih utama dari memberi makan sesama. Jika ada
sedikit saja harta duniawi di tanganku, maka tak aku sisakan sedikit pun,
karena semuanya aku berikan kepada orang-orang yang kelaparan.” Syekh, jika
malam hari tiba, selalu menyuruh pelayannya bernama Muzhaffar untuk mengambil
senampan roti, sehingga beliau bisa memberi makan kepada siapa pun yang ingin
bermalam di rumah beliau. Beliau pernah berkata: ‘Aku membayangkan diriku
berada di gurun dan padang pasir, seperti yang pernah aku alami dahulu, di mana
aku tidak melihat manusia, dan tak ada manusia pun yang tahu tentang aku, namun
dengan cara seperti itu kemudian Allah menjadikanku bermanfaat bagi manusia.
Sungguh, lebih dari lima ratus orang yahudi dan Nasrani telah bertaubat melalui
tanganku, dan lebih dariseratus ribu kaum gelandangan dan penjahat bertaubat
lewat aku. Ini semua merupakan kebaikan yang mahabesar.” Adalah Syekh, jika
beliau memiliki anak yang baru saja terlahir, beliau membawanya kepada
orang-orang dengan kedua tangannya dan berkata: “Ini adalah mayat,” maka
ingatan kepada sang anak sejak itu lenyap dari hati beliau. Maka jika sekali
waktu salah seorang anaknya meninggal, [peristiwa] kematian itu tidak
memperngaruhi beliau sedikit pun. Karenanya, ketika sekali waktu seorang
anaknya meninggal, sementara beliau sedang berada di majelis pengajian, beliau
hanya menywuh orang-orang untuk mengurus jenazah anaknya tetapi beliau sendiri
tidak menghentikan ceramahnya di majelis pengajian tersebut. Biasa saja
terjadi, ketika sang pemandi jenazah sedang memandikan jenazah anaknya, di sisi
lain beliau sedang berceramah kepada orang-orang. Jika pengajian telah selesai,
orang-orang pun langsung menghadapkan jenazah kepada beliau, dan beliau pun
turun dari kursinya, kemudian beliau salat jenazah, mengantarkannya ke kuburan,
dan setelah itu beliau kembali ke aktivitas semula.”
Umar al-Kuhmani berkata: “Majelis
Syekh tidak pernah sepi dari orang-orang yang masuk Islam, baik dari kalangan
Yahudi maupun Nasrani’ Tidak juga sepi dari orang-orangyang bertaubat, baik
dari kalangan penyamun, pembunuh, dan selain itu.” Katanya lagi: “Suatu kali
seorang rahib datang dan masuk Islam melaluitangan Syekh, dan sang rahib
kemudian berkata kepada orang-orang (jemaah): “Namaku Sinan, aku orang Yaman,
dan Islam telah lama tumbuh di dalam diriku. Ada keinginan kuat
dalam diriku, bahwa aku tidak akan masuk Islam kecuali melalui tangan manusia terbaik di Yaman menurut pandanganku. Aku suatu kali duduk sembari berpikir, tiba-tiba aku tertidur, dan aku bermimpi Sayyid Isa Ibn Maryam AS menemuiku dan berkata kepadaku: “Wahai Sinan, pergilah ke Baghdad dan masuk Islamlah melalui tangan Syekh Abdul Qadir Jailani, karena sesungguhnya dia adalah manusia terbaik di muka bumi untuk saat ini.”
dalam diriku, bahwa aku tidak akan masuk Islam kecuali melalui tangan manusia terbaik di Yaman menurut pandanganku. Aku suatu kali duduk sembari berpikir, tiba-tiba aku tertidur, dan aku bermimpi Sayyid Isa Ibn Maryam AS menemuiku dan berkata kepadaku: “Wahai Sinan, pergilah ke Baghdad dan masuk Islamlah melalui tangan Syekh Abdul Qadir Jailani, karena sesungguhnya dia adalah manusia terbaik di muka bumi untuk saat ini.”
Masih kata al-Kuhmaniy: “Datang pula
tiga belas orang Nasrani ke majelis pengajian Syekh, dan mereka masuk Islam
melalui tangan beliau. Mereka berkata: “Kami adalah Nasrani Arab, kami ingin
masuk Islam, namun kami bingung tentang siapa yang melalui tangannya kami akan
mengucapkan syahadat. Tiba-tiba, ketika kami sedang berkumpul, ada suara yang
mengarah kepada kami, tetapi kami tidak melihat wujuud fisiknya, dan kami
dengar kata-katanya: “Wahai para pencari yang tengah beruntung, datanglah ke
Baghdad dan masuk Islamlah melalui tangan syekh Abdul Qadir. Dia akan
meletakkan formula keimanan di dalam hati kalian dengan keberkahan yang dia
miliki; keimanan yang formulanya tidak dimiliki oleh seorang pun selain dirinya
dari sekalian manusia untuk saat ini.”
Manshur Ibn al-Mubarak al-Wasithi,
yang lebih terkenal dengan sebutan ‘Al-Juradah” [Buah Pohon Palm], berkata:
“Suatu kali, ketika aku masih muda, aku menemui syekh AbdulQadir, dan aku
membawa sebuah kitab tentang fiIsafat abstrak (faIsafoh) dan pengetahuan
ruhaniah spekulatif (at-ruhaniyyah). Beliau serta merta berkata kepadaku,
padahal beliau belum pernah melihat isi buku tersebut: “Hai Manshul kitab yang
ada padamu itu adalah teman yang buruk. Pergilah dan mandikan ia sebersih
mungkin.” Menanggapi perintah Syekh,aku putuskan meninggalkan kitab itu di
rumah saja, dan tak akan pernah membawanya lagi setelah itu. Hatiku tidak
merasa sreg jika mencucinya, karena hatiku telah terikat dengan sebagian isi
kitab tersebut. Aku hampir beranjak dan pergi, untuk mewujudkan rencanaku,
tetapi syekh mengawasiku. Entah kenapa, aku seperti tidak bisa beranjak.
Rasanya seperti terjebak. Syekh kemudian berkata kepadaku: “serahkan kitab itu
kepadaku.” Aku membukanya [terlebih dahulu], dan alangkah teikejut daku, karena
aku lihat kitab tersebut hanya berisi halaman-halaman kosong. Tak ada satu cuil
pun tulisan tertulis di dalamnya. Aku pun memberikannya kepada Syekh, dan
beliau kemudian membuka-buka lembaran-lemba ra n kita tersebut, lalu berkata:
“Ini adalah kitab Fadilah al-Qur’an, (Fadlail al-Qur’an), karya Ibn al-Daris
Muhammad.” Ketika aku menerimanya, kulihat bahwa kitab itu benar-benar [kitab]
Fadla’il al-Qur’an, yang ditulis dengan khat yang sangat indah. Syekh kemudian
berkata kepadaku: “Bertaubatlah dari berkata-kata melalui mulutmu hal-hal yang
tidak berasal dari hatimu.” Sejenak kemudian aku tiba-tiba mampu bangun. Tetapi
aku sudah lupa semua hal yang aku dapatkan dari buku [fiIsafat dan pengetahuan
ruhaniah spekulatifj tadi."
Dinukil dari sang Qutub, yakni
al-Yutaini, dalam kitab Mukhtashar al- Mir'ah, dari Syekh Abu Sa'id al-Qilawi,
katanya: 'Aku melihat para nabi di majelis syekh tidak hanya sekali, karena
arwah nabi-nabi berlalu lalang antara langit dan bumi bersama angin di setiap
ufuk." Katanya lagi: “Aku lihat juga kaum rijal al-ghaib (kalangan gaib)
saling berlomba untuk hadir di majelisnya, aku lihat juga Khidlir sering sekali
datang ke majelis. Aku bertanya kepada Khidlir, kenapa dia sering hadir, maka
Khidlir menjawab:
"Siapa yang menginginkan keberuntungan, maka hendaklah ia tidak pernah berpisah dengannya (Syekh)."
"Siapa yang menginginkan keberuntungan, maka hendaklah ia tidak pernah berpisah dengannya (Syekh)."
Ibn Abu al-Fath al-Harawi berkata:
"Suatu hari aku menghadiri majelis Syekh, beliau berceramah hingga
sepuas-puasnya. Kemudian beliau berkata: "Jika Allah berkehendak
mendatangkan seekor burung hijau, yang bagus rupanya dan ikut mendengar
kata-kataku, pasti Dia akan melakukannya..." Belum selesai beliau berkata,
tidak lama kemudian muncul burung hijau dan hinggap kopiahnya. Di hariyang lain
beliau sedang berceramah, kefika suatu kali sebagian jemaah pengajian [baru]
masuk ke majelis, dan beliau kemudian berkata: “seandainya Allah menghendaki
untuk mengirimkan burung-burung hijau, pastilah setiap orang yang hadir akan
melihatnya.”
GURU-GURU BELIAU
Syekh mendengar hadis dan
meriwayatkan dari Abu Ghalib Muhammad Ibn al-Hasan al-Baqillani, Abu Bakar
Ahmad Ibn al-Muzhaffar, Abu ar-easim Ali Ibn Ahmad Ibn Bayan, Abu Muhammad
Ja’far Ibn Ahmad al-Sarraj, Abu Sad Muhammad Ibn Abd al-Malik Ibn Hasyisy,
al-Hafizh Abu al-Ghana,im Muhammad Ibn Ali al-Tursi, yang bergelar’Abu Thalib”,
Abd al-eadir Ibn Muhammad Ibn Abu Yusul Abu utsman lsma’il Ibn Millahlan Abu al-Barakat
Hibat Allah ibn Muhammad, Abu al-Huasin Abd al-Haqq Ibn Abd al-Khaliq ibn
yusuf, Abu al-‘Izz Muhammad Ibn Abu Bakar.
Syekh belajar fikih dari Al Qadli
Abu sa’id al-Mubarak Ibn Ali al-Makhzumi, ‘Ali Abu al Khaththab al Kalwazani,
Abu al-Wafa Ali Ibn ‘Uqail, serta Abu al-Hasan Ibn al Fara’. Ilmu adab (etika
spiritual) diperoleh Syekh dari syekh Abu Zakariyya al Tabrizi, Syekh Ahmad
al-Dabbas al-Zahid dan dibimbing suluk olehnya, juga [belajar adab] dari Syekh
Yusuf Ibn Ayyub al-Zahid ketika masuk Baghdad di masa-masa akhir hayatnya, juga
dari Taj al- ‘Arifin Abu al-Wafa. Dari beliau, anak-anaknya meriwayatkan hadir.
Mereka di antaranya Abd al-Wahhab, Abd al Razzaq, dan Musa, juga para hafizh
seperti Abu Sa’id al-Sam’ani, Umar Ibn Ali al-Qarasyi, Abd al-Ghani Ibn Abd
al-wahid Ibn Ali Ibn Surur, syekh Muwaffiq Abd Allah ibn Ahmad Ibn Qudamah,
syekh Ali Ibn ldris al-Ya’qubi, Abu Hurairah Ibn al-Wasthani, Akmal Ibn Mas’ud,
Yahya Ibn sa’d Allah al-Takrimi, Ahmad Ibn Muthi’ al-Bahirani, dan masih banyak
lagi. Yang terakhir mendengar dari Syekh adalah Abd al-Lathif Ibn Muhammad Ibn
Ali al-Qubaithi, dan yang menerima ijazah beliau adalah al-Farj Ibn Maslamah
al-Dimsyaqi.
SANJUNGAN MANUSIA KEPADA SYEKH
Al-Hafizh Abu Sa’id al-Sam’ani
berkata di dalam lampiran kitab Tarikh Baghdad: “Syekh adalah seorang yang
saleh, banyak berzikir, tekun dalam laku tafakur, serta gampang melelehkan air
matanya.”
Syekh Abu al-Muwaffiq Ibn Qudamah
berkata: ‘Aku tidak pernah mendengar seorang pun yang keramat-keramatnya
diceritakan melebihi keramat yang diceritakan tentang Syekh Abdul eadir, dan
aku tidak melihat seorang pun yang dihormati oleh manusia, atas nama
kepentingan agama, melebihi Syekh.”
Al-Syanthufi mengutip dari Syekh
al-’lmad Muhammad ibn Ibrahim al- Muaddi, bahwa dia mendengar syekh al-Muwaffiq
mengatakan: “Syekh Abdul Qadir adalah satu di antara manusia yang telah
mencapai tingkat tinggi kepemimpinannya baik dalam hal ilmu, amal, hal, serta
kewibawaan. Bagi seorang pencari ilmu apa pun, beliau adalah seorang guru yang
mencukupi segalanya. Dalam diri beliau berkumpul segala
macam pengetahuan, dan beliau adalah seorang yang sabar dalam memberikan bimbingan [kepada muridnya]. Beliau tetap berkelanjutan (kontinu, istiqamah) dalam beramal. Allah telah mengumpulkan di
dalam diri beliau sifat-sifat yang indah, serta keadaan ruhaniah (ahwat) yang agung. Sepeninggal beliau, aku tidak pernah melihat seorang pun yang sebanding dengan beliau.”
macam pengetahuan, dan beliau adalah seorang yang sabar dalam memberikan bimbingan [kepada muridnya]. Beliau tetap berkelanjutan (kontinu, istiqamah) dalam beramal. Allah telah mengumpulkan di
dalam diri beliau sifat-sifat yang indah, serta keadaan ruhaniah (ahwat) yang agung. Sepeninggal beliau, aku tidak pernah melihat seorang pun yang sebanding dengan beliau.”
Abu Hurairah mengabari kami, bahwa
al-Hafizh syarns al-Din al-Dzahabi berkata: “Kami tidak hanya sekali diberi
ijazah periwayatan dari ayahnya, katanya, aku mendengar al-Hafizh Syaraf al-Din
al-yunif, katanya, aku mendengar Syekh ‘lzz al-Din Ibn Abd al-Salam berkata:
“Tidak pernah dinukil kepada kami riwayat tentang keramat-keramat secara mutawatir,
kecuali kerarnat-keramat tentang Syekh Abdul eadir.” Ada yang berkomentar:
“Orang yang mengatakan tentang kebenaran Syekh Abdul Qadir ini memiliki adab
yang buruk, tidak lebih dari itu, dan tidak meragukan lagi bahwa dia
‘Jahannami’ (penduduk Jahannam).” Syekh ‘Izz al-Din tidak memberikan sedikit
jawaban pun atas komentar ini, karena keyakinan yang dia miliki. Dia hanya
berkata: “pandangan (mazhab)yang melazimkan dirinya sendiri (menyalahkan yang
lain), tidak layak disebut sebagai pandangan.”
Al-Hafizh Muhibb al-Din Ibn
al-Najjar, dalam lampiran Tarikh Baghdad mengatakan: “Abdul Qadir Ibn Shalih
Ibn ‘Jangi Dost’ (persia: sang petarung, -pent.l al-Zahid adalah salah satu
imam Islam yang selalu menga malka n pengetahuan nya, serta e m pu kera
mat-keramat yang nyata…”, dan seterusnya, sampai pada perakatan: “… kemudian
beliau juga selalu istiqamah, tekun dalam laku khalwat, riyadhah, mengembara,
mujahadah yang berat, melawan kecenderungan diri, selalu dalam keadaan terjaga
(tidak tidur) sampai akhirnya Allah memunculkan beliau kepada seluruh makhluk,
serta menganugerahkan penerimaan yang besar baik dari umat awam maupun khusus.
Allah juga memperlihatkan kearifan-kearifan hatinya melalui lisan beliau.
Kewalian beliau pun tampak, juga tanda-tanda kedekatan beliau kepada Allah Swt.
Cukup sedemikian saja tentang beliau.”
Abu al-Muzhaffar Yunif Sabath Ibn
al-Jauzi, dalam kitab tarikhnya, Mir’at mengarahkan mereka pada kasyaf
(ketersingkapan ruhani). Jika Syekh berdiri, maka mereka {jemaah} pun
berdiridemi menghormat pada beliau. Jika Syekh berkata kepada mereka, “Diamlah
kalian semua!” maka tidak terdengar desis atau suara apa pun kecuali nafas
mereka sendiri. Ada sebuah riwayat mengisahkan, bahwa ada seorang jemaah
majelis yang meletakkan/menempelkan tangannya [secara acak ke sembarang
arah/tempat], dan ia seperti menyentuh tubuh seseorang yang tidak kasat mata,
dan kadang-kadang para jemaah mendengar suara gemuruh yang hebat dari udara
yang mendarat ke areal majelis.”
Al-Hafizh Muhammad al-Dzahabi
berkata dalam kitabnya, Tarikh al-Islam, tentang sosok Abdul Qadir lengkap
dengan detailgaris nasabnya, hingga dikatakan olehnya, “… beliau seorang Jili
(penduduk Jailan), bermazhab Hanbali, empu peIbuagai keramat dan maqarn
spiritual, serta pembesar kaum Hanabilah {penganut mazhab Hanbali)… dan
seterusnya…,” hingga pada perkataan, “…tidak ada yang sebanding dengan beliau,
tidak pernah berkata-kata dengan suara keras, serta bersungguh-sungguh baik
dalam ilmu maupun amal.”
Al-Hafizh Zain al-Din Ibn Rajab,
dalam lampiran kitab Thabaqat, berkata: “Syekh Abdul Qadir adalah penghulu kaum
Hanbali, syekh di zarnan nya, serta pemimpin (sultan) para masyayikh, penghulu
ahli tarekat di zamannya. Beliau adalah empu peIbuagai maqam spiritual… dan
seterusnya,” hingga sampai pada perkataan, ’1.. beliau memperoleh penerimaan
yang sempurna dari umat, dan umat meyakini kesalehannya serta keberagamaannya.
Mereka beroleh banyak manfaat dari ceramah dan dakwah beliau. Kaum Ahlus Sunnah
mendapat pertolongan dengan kehadirannya. Ahwal dan keramat-keramat beliau
termasyhur di mana mana, dan di zamannya beliau sangat dihormati oleh para
syekh, ulama, dan ahli zuhud pada waktu itu. Di majelisnya, banyak rnanusia
dari pelbagai latar belakang yang bertaubat melalui tangannya.”
Ahmad Ibn Muthi’ al-Bajrami
bercerita: “Aku mendatangi Syekh AbdulQadir suatu kali, beliau menolakku dan
berkata: “Duduk saja di situ.” Merasa tidak disambut, aku pun berniat pergi,
namun tiba-tiba seperti ada seseorang yang menyusulku dari sisi beliau. Maka
aku pun kembali. Beliau berkata: “Maaf, tadi ketika kamu datang, tiba-tiba aku
merasa bosan. Maka aku tertidur, dan aku bermimpi Nabi Saw. menemuiku dan
berkata kepadaku: “Engkau adalah pengajar [amal] kebaikan, maka janganlah
pernah bosan. Beliau (Nabi Saw.) mengulang kata-kata itu tiga kali.” Kemudian
beliau membacakan pelajaran-pelajaran yang aku inginkan.”
Al Dzahabi, dalam Tarikh al-Islam,
berkata: Abu Bakar Ibn Thurkhan rnemberi kabar kepada kami, bahwa Syekh
al-Muwaffiq mengabari mereka: “Kami mengaiami kehidupan bersama beliau yakni
Syekh Abdul Qadir-ketika masa-masa akhir hayat beriau. Kami tinggal di madrasah
demi menjaga beriau. Tidak jarang beriau mengutus puteranya, Yahya, [hanya]
demi memberi penerangan kepada kami dengan lampu-lampu’ Terkadang beriau
mengirimkan makanan kepada kami langsung dari rumah beriau. Beriau seraru sarat
fardhu bersama kami, berjamaah, dan beliau menjadi imamnya. pada pagi hari,
beliau menyimak aku membacakan pelajaran-pelajaran yang kuhapalkan dari beliau.
Beliau juga menyimak bacaan ar-Hafizh Abd ar-Ghani atas kitab al Hidayah. Tak
ada seorang pun yang membaca perajaran atau hafalan di hadapan beliau waktu itu
kecuari kami [berdua]. Kami tinggar bersama beliau selama satu buran sembiran
hari, kemudian beriau wafat, dan kami mensalati beliau dr madrasahnya. Aku tak
pernah mendengar se,rang pun yang keramat-keramatnya begitu banyak diceritakan
kecuali beliau. Aku juga tak pernah rnenjumpai seorang pun yang sedemikian
dimuliakan oleh manusia, atas nama agama, melebihi beliau. Sanad kisah ini sampai
kepada Syekh al-Mufawwiq secara mautsuq (kuat).”
Al-Syanthufi berkisah bahwa dia
pernah mendengar Syekh aN-’lmad dan Abu Bakar Muhammad Ibn Iburahinr, yakni
anak saudaraku al-Hafizh Abd al-Ghani, katanya: “Syekh mulai membuka majelis
pengajian pada tahun 521″ Hijriah, dan memulai berfatwa, mengajar
[rnurid-murid] serta pengajian umum di madrasah ketika mengin.iak tahun 528
Hijriah. Beliau setelah itu menyampaikan wasiat-wasiat spiritual, menerirna
kunjungan-kunjungan [dari para syekh, raja-raja, dan sejenisnya], serta
menyampaikan hadis dengan peIbuagai riwayat, menulis kitab-kitab tentang
dasar-dasar agama (ushul al-din). Beliau juga sering menyampa!kan
pengetahuan-pengetahuan yang lazim di kalangan ahli hakikat.”
Syekh Juradah berkata: “Suatu hari
aku sedang berada di rumah Syekh Abdul Qadir. Beliau sedang duduk-duduk sambil
melafalkan tasbih, ketika tiba-tiba ada debu yang jatuh berguguran dari atap
rumah sampai tiga kali. Ketika debu itu menjatuhi beliau untuk yang keempat
kalinya, beliau mengangkat kepala, dan melihat di atap rumah ada seekor tikus.
Beliau berkata: “Melayanglah kepalamu!” Maka tubuh sang tiku” ;’rlrrlr menjadi
bangkai di salah satu sudut rumah’ sedangkan kepalanya terpisah, juga jatuh di
salah satu sudut rumah’ Syekh menghentikan bacaan tasbih sambir menangis. Maka
aku bertanya: “wahai tuanku, apa yang membuat engkau menangis?” Beliau
menjawab: ‘Aku khawatir’ ketika hatiku merasa tersakiti oleh seorang Muslim’
maka jangan-jangan azab akan menimpanya sebagaimana dialami oleh tikus ini.”
Syekh Umar Ibn Mas’ud berkata:
“Syekh suatu kali sedang berwudlu di madrasahnya, ketika tiba-tiba seekor
burung kencing di bajunya’ syekh kemudian mengangkat kepalanya’ yang membuat
sang burung pergi terbang. Tetapi kemudian burung itu tiba-tiba jatuh mati’
Setelah Syekh menyempurnakan wudlunya’ beliau membersihkan baju yang dikencingi
burung tadi. Baju itu dilepaskan dan kemudian diserahkan kepadaku’ Beliau
meminta agar baju itu dijual’ dan uangnya nanti disedekahkan saja’ Beliau
berkata: “Nanti harganya begini begini’”
Muhammad ibn Abu ar-Fath berkata:
“suatu hari aku menghadiri majelis pengajian syekh AbdulQadir. Beriau
berceramah hingga akhirnya benar-benar larut dalam ucapan-ucapan beriau. sampai
kemudian beriau berkata: “Jika Allah menghendaki untuk mengutus burung hijau ke
sini untuk ikut mendengar ceramahku, pastirah Dia akan merakukannya sekarang.”
Belum rampung beriau berkata-kata, tiba-tiba datang seekor burung hijau yang
bagus rupanya; burung itu masuk ke rengan bajunya dan tidak keluar lagi.” Kata
syekh Muhammad ragi: “Di hari yang lain beliau sedang berceramah, ketika
sejenak kemudian orang-orang berdesakan masuk ke dalam majelis. Beriau raru
berkata: “seandainya Allah menghendaki untuk mengirim burung-burung hijau ke
sini untuk ikut mendengarkan ceramahku [pasti Dia akan melakukannya sekarang].”
Belum sempat kata-katanya selesai, tiba-tiba majelis sudah dipenuhi oreh
burung-burung hijau.”
Abdal-Rahman Ibn al-Najm al-Hanbali
berkata: “Pamanku, Abu al-Hasan Ibn Naja al-wa’izh pernah bercerita bahwa suatu
hariia berkumpul bersama syekh Abdul Qadir. waktu itu bertepatan dengan hari
raya, kata paman,maka aku mendahului ke tempat salat (lapangan). Tidak lama
kemudian, Syekh datang bersama jemaah yang banyak sekali. Satu demi satu
orang-orang menciumi tangan syekh. Beliau kemudian salat sunnah dua rekaat. Aku
berkata sendiri: “Apa-apaan ini? Sunnah Nabi tidak pernah mengajarkan salat
sunnah sebelum salat id.” setelah salam, syekh berpaling kepadaku dan berkata:
“[Nabi tidak melakukannya] karena suatu sebab.”
KEDALAMAN UCAPAN SYEKH
Ibn al-Najjar berkata: Abd Allah Ibn
Abu al-Hasan al-Juba’i pernah menulis suatu kisah kepadaku, dan aku menukilnya
dari tulisan tersebut, katanya: “Syekh Abdul Qadir suatu kali pernah berkata:
“Makhluk adalah hijabmu dari dirimu, dan dirimu adalah hijabmu dari Tuhanmu.
sepanjang yang jadi fokus penglihatanmu adalah makhluk, maka engkau tak akan
pernah melihat siapa dirimu. Sepanjang yang jadi fokus penglihatanrn’u adalah
dirimu sendiri, maka engkau tak akan pernah melihat Tuhanmu (makrifat).” Kata
al-Juba’i lagi, beliau berkata: “Dunia itu kacau balau, sedangkan neraka
sedemikian menakutkan’ seorang hamba tepat berada di antara keduanya. Tempatnya
yang tetap kelak hanya di antara dua saja: surga atau neraka.” Kata al-Juba’i
lagi: “Aku pernah mendengar Syekh pernah berkata dalam beberapa kali majelis
pengajiannya: “Di hadapan kalian hanya ada makhluk dan Khalik. Jika engkau
memilih Khalik, maka katakanlah sebagaimana yang dikatakan Ibrahim: “…
sesungguhnya mereka semua adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam.” Syekh
kemudian menghentakkan kakinya dan berkata: “Siapa yang dapat mengecapnya
(pengetahuan tentang Tuhan; mengenal Tuhan, -pent.), maka ia telah mencapai
makrifat.” Seseorang tampil dan bertanya: “Tuan, bagaimana seseorang terhimpit
oleh lapar? Bagaimana ia dapat merasakan manisnya kecapan (dzauq)? Syekh
menjawab: “Caranya, ia harus memuntahkan seluruh nafsu-syahwatnya.”
Dalam beberapa majelis pengajiannya
beliau juga sering berkata: “Yang pertama muncul dalam diri Mukmin adalah
bintang kearifan (najm al hikmah), kemudian bulan pengetahuan (qamar al ilm),
dan akhirnya matahari makrifat (syams al ma’rifah). Dengan bintang kearifan ia
akan melihat dunia, dengan bulan pengetahuan dia akan melihat akhirat, dan
dengan matahari makrifat dia akan melihat Sang Maula.”
WAFAT SYEKH
Ibn al-Jauzi berkata: “Syekh wafat
pada malam Sabtu, tanggal 8 Rabi’ al- Awwal tahun 561 Hijriah, dan dimakamkan
pada waktu itu juga di madrasahnya. Usia beliau 90 tahun. Aku pernah mendengar
bahwa menjelang wafat (ketika sakaratul maut) beliau berkata (mungkin ditujukan
kepada para malaikat, -pent.l’. “Bersikaplah ramah kepadaku…!” sembari berdiri
dan kemudian berkata: “Wa’alaikumussalam, [ya] aku datang kepada kalian, aku
datang kepada kalian’”-(ata al-Jauzi lagi: Aku mendengar Yahya pernah bercerita
bahwa Syekh ketika menjelang ajal berkata (mungkin ditujukan kepada para
malaikat, -pent.l: ‘Aku syekh agung, [memangnya] apa yang telah diancamkan
[Allah] kepadaku atas hal ini?”
Ibn al-Najjar, melalui sanadnya
sendiri, menyatakan tentang kisah wafat syekh, hingga ke kata-kata: “… beliau
wafat pada tanggar 10 Rabi al-Akhir tahun 561 Hijriah, dalam usia 90 tahun.”
Kata ibn al-Najjar lagi: “Puteranya, Abd al-Wahhab bersalawat untuk beliau,
demikian seluruh anak-anak beliau. semoga Allah memberikan ridha-Nya kepada
mereka semua. semoga salawat selalu terlimpah atas sayyid kita, Muhammad,
beserta keluarga dan sahabat beliau, juga salam taslim demi mereka semua;
salawat dan saram yang banyak, seramanya hingga hari kiamat kelak. Amien.”
.
Selesai sudah kitab Ghibthah
al-Nazhir fi Tarjamah al-Syaikh Abdul Qadir (Suka Cita sang Pemandang tentang
Biografi Syekh Abdul Qadir) ini, karangan sayyid kita, junjungan kita, Syekh
al-Islam Qadli al-Qudlah Syihab al-Din ibn Hajar al-’Asqalani al-Syafi’i
(pengikut mazhab syafi’i). semoga Allah meliputinya dengan rakhmat-Nya,
menempatkannya dalam surga-Nya yang ruas, bersama-sama dengan Muhammad saw,
keluarga, sahabat, beserta seluruh anak-turunnya. Amien.
.
Sumber: Ghibthah al-Nazhir fi
Tarjamah al-Syaikh Abdul Qadir, karya Ibn Hajar al-’Asqalani al-syafi’i (w
852H), versi terjemah Hikayat Keajaiban Sultan Para Wali oleh Sabrur Rohim
Soenardi, Cable Book, Klaten 2010.