WORKSHOP JURNALISTIK
UNTUK GURU-GURU SMP JAWA TIMUR
MATERI V
BAHASA (INDONESIA) JURNALISTIK
Bahasa (Indonesia) Jurnalistik
Bahasa (Indonesia) jurnalistik adalah salah satu ragam
bahasa (Indonesia). Goenawan Mohammad, jurnalis senior
yang dikenal masyarakat sebagai esais dan penyair mengatakan
bahasa jurnalistik seyogianya didasarkan pada kesadaran
akan terbatasnya ruang dan waktu. Salah satu sifat
dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi yang serba cepat
dalam ruang dan waktu yang relatif terbatas.
Meskipun pers nasional berbahasa
Indonesia sudah cukup lama usianya, yakni sejak sebelum
tahun 1928, yang dikenal sebagai Tahun Sumpah Pemuda, komunitas pers masih
merasa perlu menuju suatu bahasa (Indonesia) jurnalistik yang
lebih efisien. Goenawan memaksudkan bahasa Indonesia yang efisien sebagai
bahasa yang lebih hemat dan lebih jelas. Asas hemat dan jelas ini penting
bagi setiap reporter, dan lebih penting lagi bagi editor.
Hemat
Penghematan diarahkan ke penghematan ruang dan waktu. Kalangan
wartawan lazim menyebut dengan istilah ekonomi kata. Hal ini bisa
dilakukan pada dua lapisan: unsur kata dan unsur
kalimat.
Jelas
Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat:
1. Si penulis
harus memahami betul pokok pembicaraan yang hendak ditulis; bukan
pura-pura (sok?) paham atau belum yakin benar akan
pengetahuannya sendiri.
2. Si
penulis harus punya kesadaran tentang pembaca.
Memahami betul hal-hal
yang akan ditulis berarti harus menguasai bahan dan penulisan
secara sistematis. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik bahan
yang merupakan hasil pengamatan, wawancara, pembacaan,
pemikiran) sehingga tulisannya bersifat mengambang.
Ada orang yang terlalu banyak bahan, namun tak bisa
membatasi diri lalu menulis terlalu panjang. Dalam
penulisan jurnalistik, kedua jenis tulisan seperti itu tak bisa
dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus disertai informasi faktual atau
detil pengalaman dalam mengamati, mewawancarai, dan membaca sumber yang akurat. Penulis
juga harus menuangkannya dalam
ruang dan waktu yang tersedia sekaligus memiliki kesadaran
tentang (siapakah) pembaca (yang
dihadapinya).
Sebelum menulis,
seorang penulis harus memiliki bayangan (sedikitnya
perkiraan) tentang pembacanya: seberapa
tinggi tingkat informasinya dan seberapakah hasil tulisan terpahami. Satu
hal yang penting diingat ialah tulisan di media
massa tak hanya akan dibaca oleh seseorang atau
sekelompok pembaca tertentu, melainkan oleh publik yang bervariasi tingkat melek informasinya. Bisa
saja sebagian besar pembaca harian atau majalah ialah mahasiswa,
namun belum tentu semua tahu apa dan siapa W.S.
Rendra. Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang
jelas ialah buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang belum tahu,
tapi tidak membosankan bagi orang yang sudah tahu.
Sebuah tulisan
harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi:
1. Tanda
baca yang tertib,
2. Ejaan
yang tidak menyimpang dari ketentuan atau kelaziman --dalam hal ini pergunakanlah ejaan
yang disempurnakan,
3. Pembagian
tulisan secara sistematis ke dalam alinea.
Karena bukan tempatnya untuk berbicara tentang komposisi,
kiranya cukup ditekankan perlunya disiplin berpikir
dan menuangkan pikiran dalam menulis sehingga
sistematika penulisan tidak kacau-balau; kalimat-kalimatnya tidak beraturan
dan melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak menyimpang dari hal-hal
yang relevan.
Kalimat dalam
karya jurnalistik sebaiknya terdiri antara 15 hingga 20 kata saja.
Sebab lebih dari itu bisa mengaburkan hal yang pokok. Itulah
sebabnya, penulisan lead (awal)
berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari itu, pembaca
bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat terlalu banyak
data yang dijejalkan.
Catatan:
Naskah ini dicuplik dari Panduan TOT Jurnalistik untuk Guru-guru SMP karya Willy
Pramudya dan Slamet
Nur Acmad Effendy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar