Minggu, 16 Maret 2014

WORKSHOP JURNALISTIK UNTUK GURU-GURU SMP JAWA TIMUR






WORKSHOP JURNALISTIK
UNTUK GURU-GURU SMP JAWA TIMUR





MATERI V

BAHASA (INDONESIA) JURNALISTIK












Bahasa (Indonesia) Jurnalistik

Bahasa (Indonesia) jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa (Indonesia). Goenawan Mohammad, jurnalis senior yang dikenal masyarakat sebagai esais dan penyair mengatakan bahasa jurnalistik seyogianya didasarkan pada kesadaran akan terbatasnya ruang dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi yang serba cepat dalam ruang dan waktu yang relatif terbatas.
Meskipun  pers nasional berbahasa Indonesia sudah cukup lama usianya, yakni sejak sebelum tahun 1928, yang dikenal sebagai Tahun Sumpah Pemuda, komunitas pers masih merasa perlu menuju suatu bahasa (Indonesia) jurnalistik yang lebih efisien. Goenawan memaksudkan bahasa Indonesia yang efisien sebagai bahasa yang lebih hemat dan lebih jelas. Asas hemat dan jelas ini penting bagi setiap reporter, dan lebih penting lagi bagi editor.
Hemat
Penghematan diarahkan ke penghematan ruang dan waktu. Kalangan wartawan lazim menyebut dengan istilah ekonomi kata. Hal ini bisa dilakukan pada dua lapisan: unsur kata dan unsur kalimat.
Jelas
Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat:
1.      Si penulis harus memahami betul pokok pembicaraan yang hendak ditulis; bukan pura-pura (sok?) paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
2.      Si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca.
Memahami betul hal-hal yang akan ditulis berarti harus menguasai bahan dan penulisan secara sistematis. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik bahan yang merupakan hasil pengamatan, wawancara, pembacaan, pemikiran) sehingga tulisannya bersifat mengambang. Ada orang yang terlalu banyak bahan, namun tak bisa membatasi diri lalu menulis terlalu panjang. Dalam penulisan jurnalistik, kedua jenis tulisan seperti itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus disertai informasi faktual atau detil pengalaman dalam mengamati, mewawancarai, dan membaca sumber yang akurat. Penulis juga harus menuangkannya dalam ruang dan waktu yang tersedia sekaligus memiliki kesadaran tentang (siapakah) pembaca (yang dihadapinya).
Sebelum menulis, seorang penulis harus memiliki bayangan (sedikitnya perkiraan) tentang pembacanya: seberapa tinggi tingkat informasinya dan seberapakah hasil tulisan terpahami. Satu hal yang penting diingat ialah tulisan di media massa tak hanya akan dibaca oleh seseorang atau sekelompok pembaca tertentu, melainkan oleh publik yang bervariasi tingkat melek informasinya. Bisa saja sebagian besar pembaca harian atau majalah ialah mahasiswa, namun belum tentu semua tahu apa dan siapa W.S. Rendra. Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas ialah buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang belum tahu, tapi tidak membosankan bagi orang yang sudah tahu.
Sebuah tulisan harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi:
1.   Tanda baca yang tertib,
2.   Ejaan yang tidak menyimpang dari ketentuan atau kelaziman --dalam hal ini pergunakanlah ejaan yang disempurnakan,
3.   Pembagian tulisan secara sistematis ke dalam alinea. Karena bukan tempatnya untuk berbicara tentang komposisi, kiranya cukup ditekankan perlunya disiplin berpikir dan menuangkan pikiran dalam menulis sehingga sistematika penulisan  tidak kacau-balau; kalimat-kalimatnya tidak beraturan dan melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak menyimpang dari hal-hal yang relevan.
Kalimat dalam karya jurnalistik sebaiknya terdiri antara 15 hingga 20 kata saja. Sebab lebih dari itu bisa mengaburkan hal yang pokok. Itulah sebabnya, penulisan lead (awal) berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari itu, pembaca bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat terlalu banyak data yang dijejalkan.

Catatan:
Naskah ini dicuplik dari Panduan TOT Jurnalistik untuk Guru-guru SMP karya Willy Pramudya  dan Slamet Nur Acmad Effendy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar