Kamis, 25 April 2013

Kyai Raden Santri


GUNUNG PRING

Gunung Pring, setiap orang, terlebih masyarakat Jawa Tengah dan khususnya orang Magelang pasti sangat mengenalnya. Adalah sebuah desa yang terletak di kec. muntilan dan sejauh 1 Km dari kota Kec Muntilan. Desa ini dinamakan Gunung Pring karena di ditengah-tengah desa ada sebuah bukit yang banyak ditumbuhi pring (pohon bambu) yang sangat rimbun. Gunung Pring memiliki ketinggian 400 m diatas permukaan laut.
Di puncak Gunung Pring terdapat sebuah kompleks makam milik Kraton Yogyakarta. Disini dimakamkan salah seorang wali tanah Jawa, yakni Kyai Raden Santri (Pangeran Singosari Mataram), salah seorang putra Ki Ageng Pemanahan, dan juga merupakan keturunan Prabu Brawijaya V. Di dalam kompleks makam tersebut terdapat sebuah Mushala yang diberi nama Mushala Pangeran Singasari.
Untuk mencapai kompleks pemakaman tersebut para pengunjung harus berjalan kurang lebih sekitar 1 km dengan melalui anak tangga yang sudah ada. Sepanjang perjalanan banyak bertebaran kios-kios yang menjual pakaian maupun makanan serta buah-buahan. Dari atas gunung Pring kita dapat memandang Pegunungan Menoreh yang gagah menjulang.
Selain itu, di kawasan desa Gunung Pring terdapat sebuah Pondok Pesantren salaf yang sudah sangat tua, yakni Pesantren Watu Congol. Saat ini, pondok pesantren ini dipimpin oleh Kyai Ahmad Abdul Haq (Mbah Mad). Mbah Mad adalah ulama yang disegani di kalangan ulama-ulama karena kharismanya.

Wisata Religius : Makam Kyai Raden Santri
Obyek wisata ini berada di Desa Gunung Pring Kec. Muntilan. Disebut Gunungpring karena tempat tersebut berada di bukit dan banyak terdapat pohon bambu (pring). Kyai Raden Santri atau Kanjeng Gusti Paangeran Singosari adalah salah satu putra Kyai Ageng Pemanahan, yang merupakan keturunan Prabu Brawijaya. Saudara sekandungnya adalah Raden Sutowijoyo (Panembahan Senopati, Raja Mataram I Th. 1588 - 1591) dan Pangeran Gagak Bening (Adipati Pajang, Th. 1588 - 1591). Menjelang berdirinya Kerajaan Mataram, Kyai Raden Santri pernah menjadi Senopati perang, untuk menaklukkan Kadipaten-Kadipaten yang mbalelo. Namun setelah berhasil, beliau memilih untuk menyebarkan Agama Islam dan menetap di Dusun Santren. Beliau sering menyepi untuk Mujahadah dan Taqorubban ilallah di bukit gunungpring. Pada saat beliau hendak pulang ke dusun santren, terjadi banjir besar di sungai. Kemudian beliau berkata, "air berhentilah kamu, aku hendak lewat". Maka berhentilah air tersebut dan mengeras menjadi batu cadas yang menonjol. Sehingga akhirnya sampai sekarang disebut Watu Congol (batu yang menonjol).
Fasilitas yang ada disekitar obyek wisata ini antara lain musholla, wartel, tempat parkir, rumah makan dan kios souvenir.

Nikah Sirih


 Nikah Sirih
I. PENDAHULUAN

Adanya kontroversi tentang “Pernikahan Sirri” di kalangan umat baik „umara maupun zuama serta di dunia pesantren dan selebritis akhir-akhir ini tentang kriminalisasi bagi pelaku dan bagi yang terlibat dalam pernikahan tersebut berkenaan akan diundangkannya (RUU) Peradilan Agama (baca: masuk program leglisasi tahun 2010) adalah karena belum adanya kesamaan persepsi dalam mengidentifikasikan dan mengklirkan apa yang dimaksud dengan “nikah sirri” dan “nikah di bawah tangan”. Untuk menyamakan persepsi dari kedua istlah perkawinan tersebut dan sekaligus untuk menghindari kerancuan istilah agar tidak terjadi kesalahfahaman, mengingat di kalangan masyarakat ada yang menganggap kedua istilah tersebut sama artinya. Dan sesuai dengan judul tulisan ini pembahasan difokuskan pada status nikah sirri dan nikah di baah tangan dan implikasinya terhadap anak yang dilahirkannya. Karena itu , sistimatika pembahasan tulisan ini adalah mencakup : pendahuluan, pengertian dan status nikah sirri dan nikah di bawah tangan menurut hukum Islam dan Hukum positif , implikasi terhadap anak yang dilahirkan, kesimpulan serta saran.

II. PENGERTIAN DAN STATUS NIKAH SIRRI

Kata “Sirri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab, yang arti harfiyahnya, “rahasia” (secret marriage). Menurut Terminologi Fiqh Maliki, Nikah sirri, ialah: Nikah atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jama’ahnya, sekalipun keluarga setempat. Madzhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri. Nikahnya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dikenakan hukuman had ( dera atau rajam ), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. Demikian juga Madzhab Syafi’i dan Hanafi tidak membolehkan nikah sirri.
Menurut madzhab Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syari’at islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali, dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh.
1

Nikah siri dalam pandangan agama diperbolehkan sepanjang hal-hal yg menjadi rukun terpenuhi. Namun perbedaannya adalah tak mempunyai bukti otentik bila telah menikah atau dengan kata lain tak mempunyai surat sah sebagai seorang warga negara yang mempunyai kedudukan yang kuat di dalam hukum. Namun perlu dipikirkan dengan sungguh-sungguh dan tak tergesa-gesa bila Anda memang ingin melakukan nikah sirri. Tidak ada salah Anda berjuang dahulu semaksimal mungkin utk memberikan pengertian kepada keluarga agar Anda dapat menikah secara formal.
Walaupun diperbolehkan oleh agama namun banyak kekurangan dan kelemahan menikah siri antara lain bagi pihak wanita akan sulit bila suatu saat mempunyai persoalan dengan sang suami sehingga harus berpisah misal sedangkan anda tak mempunyai kuat secara hukum. Di samping itu bagi anak-anak kita kelak yang nanti memerlukan kartu identitas dan surat-surat keterangan lain akan mengalami kesulitan bila orang tua tak mempunyai surat-surat resminya.
Oleh karena jangan jadikan nikah sirri' hanya sebagai jalan pintas untuk keluar dengan mudah dalam mengatasi persoalan. Tetapi coba dulu untuk berjuang dan melakukan sebagaimana umumnya.
Menurut suatu riwayat, Khalifah Umar bin al-Khatthab pernah mengancam pelaku nikah sirri dengan hukuman had. Menurut terminologi fiqh tersebut adalah tidak sah. Sebab, nikah sirri itu selain bisa mengundang fitnah, tuhmah dan buruk sangka, juga bertentangan dengan hadis-hadis Nabi, antara lain :


1. Artinya:
“Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan kambing”.(HR.Bukahri Muslim dll dari Anas).


2


2. Artinya:
“Umumkanlah nikah ini, dan laksanakanlah di masjid, serta ramaikanlah dengan menabuh terbang.” (HR. al-Tirmidzi dari “Aisyah).

Menurut hukum positif, nikah sirri sebagaimana dirumuskan dalam fiqh madzhab tersebut di atas, juga tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan syariat Islam sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 tentang perkawinan.
Ada perkembangan pengertian dan praktek nikah sirri di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Ada 3 (tiga) tife:
Pertama, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut katentuan syari’at islam ( telah memenuhi rukun dan syaratnya 0 tetapi masih bersifat interen keluarga, belum dilakukan pencatatan oleh PPN, dan belum diadakan upacara menurut islam dan adat (Walimatul ’urusy/resepsi perkawinan dengan segala bunga rampainya). Pada tipe pertama ini, suami istri belum tinggal dan hidup bersama sebagai suami istri, karena si istri belum tinggal dan belum hidup dewasa. Biasanya si suami sementara menunggu kedewasaan si istri, ia belajar di pondok pesantren atau tinggal bersama mertua untuk membantu pekerjaan mertua. Motif nikahnya adalah untuk ketenangan, persiapan dan kehalalan bahkan mungkin juga sebagai”kebanggaan” orang tua si gadis kecil.
Kedua, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi ketentuan syariat Islam, dan juga sudah dilangsungkan di hadapan PPN dan telah pula diberikan salinan akta nikah kepada kedua mempelai karena calon suami isteri sudah memenuhi syarat-syarat sahnya nikah menurut hukum positif, termasuk telah mencapai minimal usia kawin (vide Pasal 7 UU 1/1974). Namun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang sangat terbatas, belum diadakan resepsi pekawinan. Pada tife kedua ini kedua insan yang berlainan jenis kelaminnya itu belum tinggal dan hidup bersama sebagai suami isteri, karena mungkin salah satu atau keduanya masih sedang menyelesaikan studinya atau training kepegawaian atau perusahaan, atau belum mendapatkan pekerjaan tetap sekalipun sudah sarjana.Motif nikahnya itu terutama untuk mendapatkan ketenangan, persiapan dan kehalalan.
3



Ketiga, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam, karena terbentur pada PP Nomor 10/1983 jo PP 45/1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Pada tipe ketiga ini calon suami mengawini calon isteri secara diam-diam dan dirahasiakan hubungannya sebagai suami isteri untuk menghindari hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS (vide: PP No.10/1983 pasal 4 ayat (1) dan (13). Motif nikhanya itu terutama untuk pemenuhan kebutuhan biologis yang halal (terhindar dari perbuatan zina menurut hukum Islam). Diharapkan dapat persetujuan isteri yang terdahulu, atasannya, dan pejabat yang berwenang serta izin Pengadilan Agama.
Menurut penulis, nikah tipe pertama sebenarnya bukan nikah sirri, karena tidak ada unsur ” sirri ”. Yang terjadi adalah kawin anak-anak, yang menurut fiqih sunni tidak dilarang ( sah ) berdasarkan sunnah Nabi SAW yang menikahi ” Aisyah RA yang belum baligh; sedangkan menurut Ibnu Syubrumah al-Dzahiri, nikah anak-anak tidak boleh dan tidak sah5), karena banyak mudlaratnya. Dan berhubung keadaan masyarakat kini telah jauh berubah ketimbang masyarakat di zaman Rasulullah SAW sebagai akibat kemajuan IPTEK, data statistik menunjukkan kawin anak-anak banyak membawa broken home, maka negara-negara Islam termasuk Indonesia melarang kawin anak-anak, dan menetapkan batas minimal usia perkawian (karena alasan maslahah murslah ). Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 UU No.1/1974 tentang perkawinan menetapkan minimal usia kawin untuk pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun. Tetapi pengadilan bisa diminta memberi dispensasi, jika ada alasan yang cukup.
Nikah yipe kedua tampaknya juga tidak tepat jika disebut nikah sirri, karena tidak ada unsur ’sirri” dan motif/niat nikahnya baik. Maka sahlah nikahnya menurut hukum islam dan juga menurut hukum positif, karena nikahnya telah dilangsungkan menurut syariat islam dan juga telah dicatat oleh PPN, sekalipun belum diramaikan dengan walimatul ”urrusy dan tabuhan terbang/gamelan dan sebagainya karena bukan rukun dan bukan syarat nikah melainkan perintah sunnah (recomanded)
Adapun nikah tipe ketiga itulah yang benar-benar bisa disebut “nikah sirri”, yang dilarang oleh Islam, karena niat nikahnya dan prakteknya jelek, sebab bisa merusak rumah tangga orang dan bisa merusak moral suami, serta dapat mendorong suami berbuat kolusi dan korupsi, karena punya isteri simpanan alias WIL yang bermasalah itu. Kecuali mendapat persetujuan isteri yang terdahulu, atasannya, dan pejabat yang berwenang serta izin Pengadilan Agama.
4




III. PENGERTIAN DAN STATUS NIKAH DI BAWAH TANGAN

Istilah “nikah di bawah tangan” muncul setelah UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Nikah di bawah tangan pada dasarnya adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum. Dan nikah menurut hukum adalah yang diatur dalam UU perkawinan. Dengan demikian,dapat dirumuskan, bahwa nikah di bawah tangan, ialah nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Dan nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum. UU perkawinan pasal 2 ayat (1) menegaskan, “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) ini, disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa dalam bidang perkawinan, hukum agama, termasuk hukum Islam telah mendapat kekuatan yuridis dan materiil. Hal tersebut sesuai dengan maksud pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dimana digariskan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dan bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Kemudian pasal 2 ayat (2) menegaskan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dan PP Nomor 9/1975 pasal 2 ayat (1) menerangkan, “pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan nenurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah ,Talak dan Rujuk”. Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dari UU 1/1974 tersebut, hingga kini kalangan teoritisi dan praktisi hukum masih bersilang pendapat tentang pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan. Ada dua pendapat para pakar hukum mengenai masalah ini:
Pertama, bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi pasal 2 ayat (1) UU perkawinan tersebut, yakni perkawinannya telah dilaksanakan menurut ketentuan syariat Islam secara sempurna (memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat nikah yan mumnya dianggap standar oleh dunia Islam. Mengenai pencatatan nikah oleh PPN, tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanyan kewajiban adminstratif saja.
5

Kedua, bahwa sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan UU Perkawinan pasal 2 ayat (1) mengenai tatacara agama dan ayat (2) mengenai pencatatan nikahnya oleh PPN secara simultan. Dengan demikian, ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat kumulatif , bukan alternatif. Karena itu, perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan syariat Islam tanpa pencatatan oleh PPN, belumlah dianggap sebagai perkawinan yang sah. Dan perkawinan inilah yang kemudian setelah berlakunya UU Perkawinan secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 terkenal dengan sebutan “nikah di bawah tangan”. Menurut hemat penulis, pendapat yang lebih kuat dan mendasar dalam masalah ini , baik dari segi hukum Islam maupun dari segi hukum positif, ialah bahwa sahnya suatu akad nikah itu apabila, telah dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam, di hadapan PPN dan dicatat oleh PPN.
Adapun dalil syarinya yang dapat memperkuat pendapat penulis tersebut,ialah :
1. Mentaati perintah agama dan mentatati perintah negara /pemerintah, adalah wajib sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat Al Nisa ayat 58:


Perintah Al-Quran ini sangat positif , karena mendidik manusia untuk menciptakan masyarakat yang sadar dan taat hukum agama dan hukum negara, demi terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat.
2. Akta nikah sebagai bukti otentik sahnya perkawinan seseorang, adalah sangat bermanfaat dan masalahah bagi dirinya dan keluarganya (isteri dan anaknya) untuk menolak kemungkinan di kemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan akibat hukum dari perkawinannya itu (harta bersama dalam perkawinan dan hak kewarisannya), dan juga untuk melindunginya dari firtnah, tuhmah/qadzaf zina (tuduhan zina). Maka jelaslah, pencatatan nikah untuk mendapatkan akta nikah itu sangat penting untuk saddud dariah (preventive action) dan juga maslahah mursalah (good interest)”.

Adapun alasan yuridis dari segi hukum positif yang memperkuat pendapat penulis ialah:
1. Maksud pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan itu telah dirumuskan secara organik oleh pasal 2 ayat (1) PP Nomor 9/1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan. Dan tatacara pencatatan perkawinannya lebih lanjut dijabarkan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 PP tersebut
6
Kemudian disusul dengan tatacara perkawinannya sampai mendapat akta nikah, disebut dalam pasal 10 sampai dengan pasal 13 PP tersebut.
2. Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 /1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 /1991, Pasal 5,6 dan 7 ayat (1) menguatkan bahwa unsur pencatatan nikah oleh PPN menjadi syarat sahnya suatu akad nikah.
3. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Putusan Nomor 1948/K/Pid/1991 tanggal 18 Desember 1991, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Perkawinan” menurut Undang-undang No.1/1974, PP No.9/1975, adalah perkawinan yang dilangsungkan di hadapan KUA oleh petugas KUA yang berwenang serta perkawinan tersebut didaftarkan menurut tatacara perundang-undangan yang berlaku; karena itu perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut dianggap tidak ada perkawinan, sehingga tidak dapat dipidanakan sebagaimana dimaksud Pasal 279 KUHPidana (kurungan penjara 5 tahun).
4. Surat Edaran Kepala BAKN Nomor 48/SE/1990 tentang petunjuk Pelaksanaan PP Nomor 45/1990 tentang perubahan atas PP Nomor 10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil, butir IX menegaskan , bahwa isteri pertama/kedua/ketiga/keempat dari pegawai negeri sipil yang dinikahi sah, yaitu yang dilakukan sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan Nomor 1/1974 diberikan Kartu Isteri.
IV. RUU Nikah Siri Memicu Kontroversi
Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau nikah siri memicu kontroversi.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menilai pemidanaan nikah siri sebagai langkah tidak benar. “Saya kira ini tidak benar.Nikah siri cukup diadministrasikan saja. Harusnya yang lebih dulu dipidanakan itu yang tidak nikah (berhubungan seks di luar nikah).Saya yakin ini ada agenda tersembunyi untuk melegalkan yang melakukan seks bebas (free sex) dan menyalahkan yang
7
nikah,”kata Hasyim  di Gedung PBNU Jakarta kemarin.
Pemerintah sejauh ini bersikukuh memperjuangkan draf RUU yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Patrialis Akbar menegaskan, nikah siri perlu diatur agar ada kepastian hukum dalam pernikahan dan kepastian hukum anak-anak mereka. “Jadi yang bagus kan nikah itu ada suratnya.
Jadi jangan hanya, maaf ya, dalam tanda kutip, lakilaki itu jangan sekadar make aja dong.Tanggung jawabnya di mana dong? Lahir batin dong! Kanitu bagian dari perkawinan, jadi dia harus bertanggung jawab. Kalau punya anak, anaknya jadi tanggung jawabnya,” ujar Patrialis Akbar di sela-sela kunjungan ke LP Anak Kelas II A Tangerang mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin.
Untuk diketahui, draf usulan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menampung pasal tentang nikah siri atau nikah yang tidak tercatat di kantor urusan agama (KUA).Pasal tersebut menyebutkan, jika seseorang melakukan nikah siri atau melakukan kawin kontrak,ia dapat diancam dengan pidana penjara.
Pasal 143 RUU UU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
8
Menurut Patrialias,masyarakat harus diberi kesadaran bahwa nikah itu tidak sekadar nikah atau bohong-bohongan. Menurutnya, banyaknya pria menikah di bawah tangan dan janda-janda muda menjadi stimulasi agar hal tersebut perlu diatur. Ditegaskan, pengaturan pernikahan bukan berarti negara ikut campur dalam masalah agama. “Kalau kehidupan bermasyarakat tidak diatur,masyarakat bisa kacau.
Ya, kalau kehidupan beragama itu misalnya begini, orang mengaji harus mengaji dari jam sekian sampai sekian, itu baru namanya ikut campur,”jelasnya. Di tempat sama, Menteri Agama Suryadharma Ali menuturkan bahwa draf RUU tersebut sudah dibuat sekitar lima tahun lalu atau sebelum dirinya menjabat sebagai Menteri Agama. Karena itu, pembahasan mengenai nikah siri akan kembali dilihat pasal demi pasal oleh fraksi-fraksi yang ada di DPR.
Dari daftar inventarisasi masalah yang telah masuk itu,akan muncul berbagai pandangan mengenai rancangan pasal itu.“Mungkin saja ada yang cocok atau kurang cocok, mungkin nanti bertemu, pemikiran yang lebih sesuai dari apa yang dikonsepkan sekarang,”ujarnya. Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengakui, nikah siri dalam syariah agama disahkan.
Namun dalam peraturan undang-undang hal itu tidak bisa disahkan karena belum tercatat dalam administrasi negara. Untuk itu, Suryadharma meminta para pelaku nikah siri untuk segera mencatatkan perkawinannya ke KUA.“Mereka harus mencatatkan itu (pernikahannya ke KUA), bukan berarti nikahnya nggak sah. Bila tidak sah kan berarti berzina bertahun-tahun,”katanya.
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nasarudin Umar menjelaskan, maksud draf RUU tersebut tiada lain hanya untuk menjadikan kewibawaan perkawinan terjaga karena dalam Islam perkawinan adalah hal yang suci. Selain itu,RUU ini diajukan terkait masalah kemanusiaan.
Dia berharap, adanya UU ini nantinya akan mempermudah anak mendapatkan
9
haknya seperti dapat warisan, hak perwalian, pembuatan KTP, paspor,serta tunjangan kesehatan dan sebagainya. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan dukungannya terhadap draf RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.Dalam pandangannya, nikah siri itu lebih banyak merugikan anak-anak dan kaum perempuan.
”Anak-anak yang lahir dari kawin siri itu tidak diakui hukum dan tidak mendapatkan hak waris,” jelasnya di Gedung MK kemarin. Mahfud menyatakan,perempuan yang dinikahi secara siri tidak diakui oleh hukum sehingga jika seseorang mempunyai dua istri, kemudian istri pertama adalah hasil pernikahan yang tercatat dan istri kedua adalah hasil nikah siri,maka istri pertama sangat kuat di hadapan hukum.
”Jika istri pertama mengatakan saya istri yang sah,maka hal itu tidak bisa dilawan dengan hukum, ”jelasnya.Kendati demikian, dia menggariskan bahwa RUU tersebut perlu didiskusikan. Ketua Umum Fatayat NU Maria Ulfa Anshor juga mendukung langkah pemerintah mengatur kawin siri. Secara tegas dia menyatakan kawin siri dan kawin kontrak sangat berisiko bagi perempuan untuk menjadi korban.
Dia menolak pendapat yang menyebut pengaturan itu melanggar HAM walaupun perkawinan merupakan isu privat. “Penegakan HAM bukan berarti semua hal yang terkait dengan persoalan privat tidak ada aturannya. Negara mengatur dalam rangka memberikan koridor. Nikah siri bisa berdampak timbulnya ketidakadilan bagi perempuan,”katanya.

V. Pidana Nilah Sirri

Inilah pasal-pasal kawin siri yang dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, sebagaimana rancangannya diperoleh wartawan di Jakarta, kemarin. Dalam pertimbangan, bahwa hukum materiil peradilan agama di bidang perkawinan sebagaimana diatur dalam UU
10

Nomor 1 Tahun 1974 tentang UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya belum memadai bagi Badan Peradilan Agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara sehingga perlu menggunakan landasan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
Selain itu pertimbangannya bahwa dengan berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur tentang susunan, kekuasaan dan acara Peradilan Agama perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan UU yang mengatur tentang hukum materiil peradilan agama di bidang perkawinan.
Bab XXI yang mengatur ketentuan pidana dalam RUU tersebut, Pasal 143 berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp6.000.000 atau hukuman kurungan paling lama 6 bulan.
Pasal 144 berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perkawinan mut’ah sebagaimana dimaksud pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 2 tahun, dan perkawinannya batal karena hukum.
Pasal 145, “Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp6.000.000 atau hukuman kurungan paling lama 6 bulan.
Pasal 146 berbunyi, “Setiap orang yang menceraikan istrinya tidak di depan sidang pengadilan sebagaimana dalam pasal 119 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp6.000.000 atau hukuman kurungan paling lama 6 bulan.
Pasal 147 berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang ia menolak mengawininya dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 bulan.
Pasal 148 berbunyi, “Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp12.000.000.
Pasal 149 berbunyi, “Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim
11
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun.
Pasal 150, “Setiap orang yang tidak berhak sebagai wali nikah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, dan dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun. (Primair)

VI. Implikasi Nikah Sirri terhadap Perempuan

KETIKA soal nikah siri dipolemikkan dalam kaitan Rencana Undang-undang Peradilan Agama, wartawan Harian Warta Kota rupanya segera teringat kepada Haji Rhoma Irama. Tak lain karena penyanyi dangdut yang berdakwah lewat lagu itu pernah melakukan pernikahan siri setidaknya satu kali, dengan artis Angel Lelga. Waktu itu sempat ada kehebohan karena sang raja dangdut itu didapati bertamu lewat tengah malam ke ‘apartemen’ Angel. Tapi reda, setelah Rhoma mengumumkan telah menikah siri dengan sang artis. Namun tak berapa lama, pernikahan siri pasangan yang usianya berbeda jauh itu, berakhir dengan perpisahan.
Koran ibukota itu mengutip komentar Rhoma Irama, “Menurut pandangan saya, orang-orang yang membuat aturan-aturan ancaman hukum bagi orang yang menikah atau kawin siri itu adalah orang-orang yang atheis”. Atheis? Orang-orang Kementerian Agama yang ikut menyusun RUU itu, tidak ber-Tuhan dong –sesuai pengertian terminologi atheis itu. Rhoma memperjelas maksudnya dalam menggunakan istilah atheis, “Bukan tidak beragama, tetapi tidak memihak dan tidak memahami agama”.
Pada kutub pendapat yang berbeda, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Nazaruddin Umar, dikutip detikNews (Selasa, 16 Februari), latar belakang pengajuan RUU tentang Hukum Materil Peradilan Agama yang antara lain memuat ketentuan pemidanaan bagi pelaku nikah siri dan nikah kontrak, adalah masalah kemanusiaan. Banyak orang yang memilih memilih menikah siri maupun nikah kontrak dengan dalih lebih baik begitu daripada zina. “Alasan menghindarkan dosa zina justru bisa menimbulkan dosa lainnya seperti penelantaran pasangan dan anak”. Menurut sang
12


Dirjen –yang tentunya sangat memahami agama Islam– kasus meninggalkan pasangan begitu saja setelah pernikahan yang dicatatkan secara resmi sangat jarang dibandingkan nikah siri atau nikah kontrak. Satu banding seribu. Anak-anak hasil pernikahan resmi yang dicatat KUA, lebih mudah mendapatkan hak-haknya seperti warisan, hak perwalian, dalam pembuatan KTP, paspor serta tunjangan kesehatan dan sebagainya.
Ketua Umum PB Nahdatul Ulama, KH Hasyim Muzadi, dengan alasan sedikit berbeda juga menolak pemidanaan pelaku pernikahan siri. Tetapi ia tidak keberatan bila dilakukan sanksi administratif. “Tidak logis pelaku nikah siri dihukum, sebab pada waktu yang sama, perzinaan, free sex, dan kumpul kebo dianggap bagian dari hak azasi manusia karena suka sama suka”. Dalam Islam, pada nikah siri itu sudah ada wali dan dua saksi. “Secara legal syariah sudah sah, tapi belum lengkap. Rasulullah memerintahkan akad nikah tersebut diumumkan dan diresepsikan, walimah, sekalipun perintah itu sunah, bukan wajib”. Apakah sunah Nabi itu tidak sederajat dengan makna pencatatan pada masa sekarang, mengingat bahwa pada masa itu belum ada budaya tulis menulis di tanah Arab? Sedang istilah siri itu sendiri, menurut Prof Dr Syamsul Arifin dari Universitas Muhammadiyah Malang, berasal dari kata Arab yakni sir yang berarti ‘diam-diam’ yang berlawanan hakekat dengan walimah yang diperintahkan Nabi.
Dengan bahasa hukum yang lebih tegas, mantan Hakim Agung, Dr Laica Marzuki SH, yang juga adalah pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, menyatakan sepantasnyalah pelaku nikah siri dipidanakan. Nikah siri selalu berujung pada penderitaan pada pihak perempuan. Nikah siri “mengorbankan anak-anak perempuan kita”. Pemidanaan pelakunya “tidak menyalahi aturan agama”. Meski berbeda pandangan mengenai pemidanaan, Prof Dr Syamsul Arifin (Kompas, 20 Februari), “Hal terpenting yang harus dipahami adalah tujuan keterlibatan negara dalam hukum perkawinan adalah untuk kepastian hukum yang bemanfaat meningkatkan jaminan hak hukum terhadap pasangan nikah dan anak yang dihasilkannya”. Selama ini nikah siri yang dibolehkan oleh agama dimanfaatkan sebagai modus poligami. Nikah siri di masyarakat terkait dengan praktik nikah kontrak atau nikah mu’tah. Nikah jenis yang disebut terakhir ini
13
adalah tindakan seorang lelaki menikahkan diri sendiri. KH MN Iskandar SQ pernah melakukannya atas seorang perempuan janda yang almarhum suaminya adalah salah seorang tokoh dalam Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984. Pernikahan itu menjadi sorotan publik, tapi sejumlah tokoh agama tidak mempersalahkannya.
Silang sengketa mengenai RUU Peradilan Agama yang antara lain menyangkut pemidanaan nikah siri, seakan mengulangi situasi pro kontra di tahun 1973 saat RUU Perkawinan dibahas di DPR-RI.
Bersamaan dengan berbagai gerakan mahasiswa menentang korupsi dan menuntut keadilan sosial, pada bulan September dan Oktober tahun 1973 itu sebenarnya marak juga demonstrasi pemuda-pemudi Islam menentang RUU Perkawinan di berbagai daerah dan terutama sekali di Jakarta sendiri. Bagi sebagian umat Islam muncul anggapan, seperti yang dinyatakan Professor Dr HM Rasyidi dalam Harian Abadi, bahwa RUU itu mengandung tak kurang dari 7 pasal yang merupakan “Kristenisasi dalam selubung”. Dalam bahasa yang lebih terang lagi, anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan Amin Iskandar menyebutkan “RUU Perkawinan yang sekarang ini hanyalah terjemahan dari peraturan yang berlaku untuk perkawinan orang-orang Kristen”. Dikaitkannya retorika Kristenisasi dalam masalah ini juga terpicu oleh isu bahwa RUU ini diluncurkan atas desakan kuat Ibu Negara Siti Suhartinah Soeharto yang menurut isu itu adalah seorang penganut agama bukan Islam. (Beberapa tahun kemudian, Ibu Negara turut serta bersama Presiden Soeharto menunaikan Ibadah Haji).
Tetapi sebenarnya polarisasi Islam versus Kristen dalam soal RUU ini tidak seluruhnya dapat dianggap benar, karena dalam polemik mengenai beberapa pasal, kerap pula terjadi perbedaan di antara sesama umat. Misalnya saja, antara kelompok Islam yang dinilai ‘fundamental’ dengan kelompok Islam yang dianggap menghendaki ‘pembaharuan sosial’ di kalangan umat. Ini terlihat misalnya dalam perbedaan pendapat mengenai Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan wanita hanya boleh mempunyai seorang
14
suami”. Sedang ayat (2) mengatur bahwa bilamana toh ada yang menginginkan beristeri lebih dari satu ia harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari isteri sahnya yang sudah ada. Mereka yang menentang pasal ini mengatakan bahwa Islam memperbolehkan seorang pria Muslim memiliki sampai 4 orang isteri. Dan untuk beristeri lagi seorang laki-laki tidak perlu meminta izin isteri yang ada. Sedang mereka yang ingin pembaharuan sosial di kalangan umat, tidak keberatan dengan pembatasan dalam hal beristeri lebih dari satu. Toh pada hakekatnya tidak melarang, melainkan hanya memperketat persyaratan dengan memasukkan faktor persetujuan isteri yang sudah ada. Selain itu, tak sedikit pula kaum perempuan yang menganut Islam, menyetujui pasal yang menjanjikan kesetaraan dan perlindungan bagi mereka sebagai isteri dari kesewenang-wenangan yang kerap dipraktekkan oleh sementara kaum lelaki atas nama agama. Akan tetapi perempuan yang pasrah, lebih banyak lagi.
Demonstrasi terbesar dan dapat disebutkan sebagai puncak dalam kaitan ini adalah aksi di DPR yang dikenal sebagai Peristiwa Akhir Sya’ban, pada tanggal 27 September 1973. Penamaan Peristiwa Akhir Syaban adalah karena memang peristiwa itu terjadi tepat di hari terakhir bulan Sya’ban tepat satu hari sebelum  memasuki bulan Ramadhan 1393 Hijriah. Demonstrasi yang dilancarkan pemuda-pemudi Islam itu menggemparkan karena sampai saat itu baru pertama kalinya terjadi suatu gerakan ekstra parlementer sedemikian di gedung parlemen. Dalam satu seruan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar” yang bergemuruh, ratusan demonstran berhasil menerobos ke ruang sidang paripurna DPR memenggal jawaban Pemerintah mengenai RUU Perkawinan tepat pada saat Menteri Agama Mukti Ali tiba pada bagian mengenai pertunangan dalam Fasal 13, pada pukul sepuluh lewat 7 menit di hari Kamis 27 September itu. Dan setelah itu hampir selama dua jam ratusan anak muda, termasuk pelajar-pelajar puteri berkebaya panjang dengan kerudung putih, ‘menguasai’ ruang sidang DPR.
Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro menanggapi dengan keras peristiwa ini. “Jangan salah terima kalau dalam situasi bulan puasa pun kita bertindak”, cetusnya.
15

“Mungkin mereka berpikir, ini menghadapi bulan puasa, jadi ABRI akan berpikir-pikir dulu kalau mau bertindak…. Puasa sih puasa. Kita juga memang mikir dua kali. Tapi kalau membahayakan keamanan dan kepentingan negara, kita juga terpaksa bertindak”. Lalu ia berkata lagi, “Yang saya cari, siapa nih yang menggerakkannya”. Soemitro dalam hal ini bertindak sesuai patron penguasa yang lazim waktu itu, yaitu mencari siapa dalang dari suatu peristiwa. Dua tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ishak Moro dan Yusuf Hasyim kontan bereaksi. “Saya yakin mereka bergerak secara spontan”, ujar Yusuf Hasyim. Sedang Moro menggambarkan peristiwa itu adalah letupan dinamika dari sejumlah anak muda yang beragama Islam, yang tidak didalangi.
Ketika demonstrasi anti RUU Perkawinan ini masih berkepanjangan, dan berbarengan dengan itu aksi-aksi mahasiswa mengenai modal asing dan kesenjangan sosial juga mulai terjadi, Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Laut Soedomo angkat bicara. Soedomo memperingatkan bahwa larangan demonstrasi tetap berlaku di Indonesia. Menurut Soedomo, demonstrasi pemuda dan pemudi Islam di DPR 27 September dan “demonstrasi-demonstrasi yang di Bandung” akan diselesaikan secara hukum. Untuk itu di Jakarta telah terjadi penahanan-penahanan, setidaknya ada 13 putera dan 1 orang puteri yang ditahan. Tapi dapat dicatat bahwa di Bandung ada berbagai demonstrasi yang terjadi secara beruntun, baik oleh Angkatan Muda Islam yang menentang RUU Perkawinan maupun oleh para mahasiswa untuk pokok masalah lainnya. Maka saat itu belum terlalu jelas apa dan siapa serta yang mana yang dimaksud Soedomo.
Menghadapi front yang terlalu luas berupa berbagai aksi dengan tema dan sasaran berbeda, Presiden Soeharto kala itu memilih jalan kompromi mengenai RUU Perkawinan. Dalam upaya kompromi antara kalangan kekuasaan dengan kelompok politik Islam, beberapa tokoh HMI menjalankan peranan penengah dengan baik, sehingga kemudian berhasil diperoleh titik temu.  Sementara itu, terhadap Fraksi Karya Pembangunan dan DPP Golkar, dilakukan semacam tekanan oleh Pangkopkamtib Jenderal Soemitro yang disebutkan berdasarkan perintah Presiden Soeharto. Pimpinan-
16
pimpinan Fraksi Karya Pembangunan dipanggil oleh Pangkopkamtib dan diminta untuk mengubah konsepnya mengenai RUU Perkawinan dan diminta pula mengalah menerima konsep Fraksi Persatuan Pembangunan dan atau PPP yang merupakan gabungan partai politik ideologi Islam eks Pemilihan Umum 1971. Meski kecewa dan merasa ‘dikhianati’ Soeharto, tak ada pilihan lain bagi Fraksi Karya Pembangunan selain mematuhi perintah.
Praktek perkawinan poligami yang menjadi tuntutan para pemimpin partai-partai Islam, dengan demikian diakui dan diterima dalam UU Perkawinan yang berhasil disahkan setelah tercapainya kompromi. Tetapi pada pihak lain, pernikahan dengan mekanisme pencatatan di Kantor Urusan Agama diterima oleh para pemimpin politik Islam kala itu, namun tanpa sanksi pidana bagi yang tidak melakukan pencatatan. Tidak pula ada pengaturan mengenai pelaksanaan pernikahan yang tidak dilakukan melalui Kantor Urusan Agama. Nikah siri –dengan segala eksesnya– pun bisa dilakukan dan tampaknya menjadi pilihan bagi banyak kaum lelaki, terutama bagi mereka yang ingin beristeri lebih dari satu, namun sulit memenuhi syarat UU yang mengharuskan adanya persetujuan isteri pertama dan atau isteri-isteri terdahulu.
Selama hasrat kaum lelaki untuk berpoligami tetap tinggi, tampaknya nikah siri akan tetap menjadi pilihan favorit dan untuk itu akan ada ‘perjuangan keras’ guna mempertahankan kebebasan nikah siri tanpa pemidanaan. Namun terlepas dari itu semua, secara faktual harus diakui bahwa hingga sejauh ini agama maupun sejumlah kebiasaan dalam masyarakat, sejauh ini tetap menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lemah.
VII. Implikasi Nikah Sirri terhadap Anak yang Dilahirkan
            Akad nikah dan implikasuinya ( akibat hukumnya ). Menurut jumhur Ulama;akad nikah ada dua macam :
Pertama, Akad yang sah sempurna, ialah Ialah akad yang telah memenuhi semua rukun dan semua syarat sahnya nikah. Akad nikah sempurna ini membawa akibat hukum yang luas, antara lain suami wajib memberi mahar, nafkah lahir (makan, pakaian dan tempat tinggal)
17


dan nafkah batin , isteri wajib taat dan setia kepada suami, adanya hak saling mewarisi antara suami isteri dan adanya hubungan nasab anaknya dengan bapaknya.
Kedua, Akad yang rusak atau batal/fasid Ialah akad yang salah satu rukun atau syarat sahnya nikah tidak terpenuhi, misalnya antara suami isteri ternyata masih ada hubungan mahram, atau wanitanya masih terikat perkawinannya dengan orang lain, atau kawin tanpa wali atau saksi. Hukumnya wajib memisahkan diri atau dipisahkan atas putusan hakim segera setelah diketahui cacat rukun atau syarat sah nikahnya. Dan nikahnya tidak membawa akibat hukum apa pun, jika belum terjadi hubungan seksual anatara keduanya. Dengan demikian , tidak ada mahar , nafkah dan iddah dan tidak ada pula hak mewarisi antara keduanya. Tetapi jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya, maka wajib difasakh nikahnya, sekalipun telah cukup lama hidup sebagai suami isteri . Dan dalam hal ini , “isteri berhak mendapat mahar dan ada iddahnya, serta si anak punya hubungan nasab dengan bapaknya.
Mengenai status anak yang lahir dari nikah sirri, maka apabila nikah sirri itu diartikan menurut terminologi fiqh (nikah yang dirahasiakan atas permintaan suami), maka menurut hukum Islam, anak mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sebab, anak yang lahir dari hubungan syibhah saja ditetapkan nasabnya kepada bapak, apalagi nikah sirri yang termasuk nikah yang diperselisihkan”boleh dan sahnya”oleh para ulama. Karena itu, nikah sirri itu dianggap cacat /fasad yang ringan. Sedangkan menurut pandangan hukum posiistif, anaknya hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Adapun status anak yang lahir dari nikah di bawah tangan (nikah yang hanya memenuhi pasal 2 ayat (1) saja dari UU Perkawinan), maka menurut hukum Islam, anaknya sah dan mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sedangkan menurut hukum posiitf, anaknya tidak sah, karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memenuhi pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Karena itu, si anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (vide UU Perkawinan Pasal 43 dan Kompialsi Hukum Islam pasal 100).

VIII. Penutup
A. SIMPULAN

1. Ada perbedaan antara nikah sirri dan nikah di bawah tangan dari segi terminologi, historis dan yuridis,
18
2. Nikah sirri yang diartikan menurut terminologi fiqh, dilarang dan tidak sah menurut hukum Islam, kaena ada unsur sirri (dirahasiakan nikahnya), yang bertentangan dengan ajaran Islam dan bisa mengundang fitnah dan tuhmah, serta dapat mendatangkan madarat/resiko berat bagi pelakunya dan keluarganya. Naikah sirri juga tidak sah menurut hukum positif , karena tidak melaksanakan ketentuan hukum munakahat yang baku dan benar, dan tidak pula diadakan pencatatan nikahnya oleh PPN.
3. Istilah nikah di bawah tangan timbul setelah berlakunya UU Perkawinan secara efektif tahun 1975. Hukumnya sah menurut hukum Islam sepanjang tidak motifv “sirri”, karena telah memenuhi ketentuan syariah yang benar. Nikah di bawah tangan ini juga tidak sah menurut hukum positif, karena tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang hukum perkawinan
4. Status anak yang lahir dari nikah sirri menurut hukum Islam, adalah anaknya mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya, karena cacat hukumnya ringan. Sedangkan menurut hukum positif, anaknya tidak sah karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memnuhi pasal 2 ayat (1) ayat (2) UU Perkawinan.
5. Status anak yang lahir dari nikah di bawah tangan menurut hukum Islam, adalah sah dan dengan sendirinya mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sedangkan menurut hukum positif,anaknya tidak sah karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memenuhi pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan.
6. Pelanggaran terhadap perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan secara kumuilatif Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak mempunyai alasan menurut hukum sebagai delict aduan untuk dapat dikriminalisasikan/dipidanakan sebagaimana dimaksudkan pasal 279 KUHPidana.

B. SARAN-SARAN

1. Sesuai dengan kaidah hukum Islam : “Al-Khuruj minal khilaf mustahabbun”, yakni “Menghindari perbedaan pendapat itu dianjurkan”, maka ummat Islam Indonesia hendaknya dalam melakukan perkawinan, mematuhi ketentuan hukum munakahat yang baku dan benar
19

serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang hukum perkawinan.
2. Agar terealisasinya tujuan hukum, yakni adanya kepastian, ketertiban dan manfaat di dalam masyarakat, hendaknya lembaga legislatif tidak ragu lagi untuk mensahkan Rancaangan Undang-Undang yang Mengkriminalisaikan/Mempidanakan bagi pelaku dan siapa saja yang terlibat di dalam perkawinan Sirri tersebut, karena perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan secara kumuilatif Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan tidak dianggap ada perkawinan menurut hukum, sehingga tidak dapat dijadikan delict aduan untuk dipidanakan sebagaimana dimaksudkan pasal 279 KUHPidana.

DAFTAR PUSTAKA
1. Drs. Bakri A. Rahman, Drs. Ahmad Sukardja, S.H., Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Penerbit PT.Hidakarya Agung, 1981.
2. Drs. Damsyi Hanan, Pengertian Yuridis Sahnya Suatu Perkawinan (catatan terhadap Dua Putusan Kasasi Yang Bertentangan), Mimbar Hukum No.23 Thn. VI 1995.
3. Hartono Marjono, S.H., Syarat Manakah yang Menentukan Sahnya Perkawinan, Mimbar Hukum No.23 Thn. VI 1995.
4. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, “Nikah Sirri, Nikah di bawah tangan, dan status anaknya menurut hukum Islam dan Hukum Positif,”Mimbar Hukum No.28 Thn VII 1996.
5. Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum Pusat,Himpunan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Juli 2004.
6. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu, vol. VII, Dar al-Fikr, halaman 688
7. http://www.eramuslim.com









20