Gunung
Pring, setiap orang, terlebih masyarakat Jawa Tengah dan khususnya orang
Magelang pasti sangat mengenalnya. Adalah sebuah desa yang terletak di kec.
muntilan dan sejauh 1 Km dari kota
Kec Muntilan. Desa ini dinamakan Gunung Pring karena di ditengah-tengah desa
ada sebuah bukit yang banyak ditumbuhi pring (pohon bambu) yang sangat
rimbun. Gunung Pring memiliki ketinggian 400 m diatas permukaan laut.
Di puncak
Gunung Pring terdapat sebuah kompleks makam milik Kraton Yogyakarta. Disini dimakamkan
salah seorang wali tanah Jawa, yakni Kyai Raden Santri (Pangeran
Singosari Mataram), salah seorang putra Ki Ageng Pemanahan, dan juga merupakan
keturunan Prabu Brawijaya V. Di dalam kompleks makam tersebut terdapat sebuah
Mushala yang diberi nama Mushala Pangeran Singasari.
Untuk
mencapai kompleks pemakaman tersebut para pengunjung harus berjalan kurang
lebih sekitar 1 km dengan melalui anak tangga yang sudah ada. Sepanjang
perjalanan banyak bertebaran kios-kios yang menjual pakaian maupun makanan serta
buah-buahan. Dari atas gunung Pring
kita dapat memandang Pegunungan Menoreh yang gagah menjulang.
Selain itu,
di kawasan desa Gunung Pring terdapat sebuah Pondok Pesantren salaf yang sudah
sangat tua, yakni Pesantren Watu Congol. Saat ini, pondok pesantren ini dipimpin oleh Kyai Ahmad Abdul Haq (Mbah
Mad). Mbah Mad adalah ulama yang disegani di kalangan ulama-ulama karena
kharismanya.
Wisata Religius : Makam Kyai Raden Santri
Obyek wisata ini berada di Desa Gunung Pring
Kec. Muntilan. Disebut Gunungpring karena tempat tersebut berada di bukit dan
banyak terdapat pohon bambu (pring). Kyai Raden Santri atau Kanjeng
Gusti Paangeran Singosari adalah salah satu putra Kyai Ageng Pemanahan, yang
merupakan keturunan Prabu Brawijaya. Saudara sekandungnya adalah Raden
Sutowijoyo (Panembahan Senopati, Raja Mataram I Th. 1588 - 1591) dan Pangeran
Gagak Bening (Adipati Pajang, Th. 1588 - 1591). Menjelang berdirinya Kerajaan
Mataram, Kyai Raden Santri pernah menjadi Senopati perang, untuk menaklukkan
Kadipaten-Kadipaten yang mbalelo. Namun setelah berhasil, beliau memilih
untuk menyebarkan Agama Islam dan menetap di Dusun Santren. Beliau sering
menyepi untuk Mujahadah dan Taqorubban ilallah di bukit
gunungpring. Pada saat beliau hendak pulang ke dusun santren, terjadi banjir
besar di sungai. Kemudian beliau berkata, "air berhentilah kamu, aku
hendak lewat". Maka berhentilah air tersebut dan mengeras menjadi batu
cadas yang menonjol. Sehingga akhirnya sampai sekarang disebut Watu Congol (batu
yang menonjol).
Fasilitas yang ada disekitar obyek wisata
ini antara lain musholla, wartel, tempat parkir, rumah makan dan kios souvenir.
Adanya kontroversi tentang “Pernikahan
Sirri” di kalangan umat baik „umara maupun zu‟ama serta di dunia pesantren dan
selebritis akhir-akhir ini tentang kriminalisasi bagi pelaku dan bagi yang
terlibat dalam pernikahan tersebut berkenaan akan diundangkannya (RUU)
Peradilan Agama (baca: masuk program leglisasi tahun 2010) adalah karena
belum adanya kesamaan persepsi dalam mengidentifikasikan dan mengklirkan apa
yang dimaksud dengan “nikah sirri” dan “nikah di bawah tangan”. Untuk
menyamakan persepsi dari kedua istlah perkawinan tersebut dan sekaligus untuk
menghindari kerancuan istilah agar tidak terjadi kesalahfahaman, mengingat di
kalangan masyarakat ada yang menganggap kedua istilah tersebut sama artinya.
Dan sesuai dengan judul tulisan ini pembahasan difokuskan pada status nikah
sirri dan nikah di baah tangan dan implikasinya terhadap anak yang
dilahirkannya. Karena itu , sistimatika pembahasan tulisan ini adalah mencakup
: pendahuluan, pengertian dan status nikah sirri dan nikah di bawah tangan
menurut hukum Islam dan Hukum positif , implikasi terhadap anak yang
dilahirkan, kesimpulan serta saran.
II. PENGERTIAN DAN STATUS NIKAH SIRRI
Kata “Sirri” dari segi etimologi berasal
dari bahasa Arab, yang arti harfiyahnya, “rahasia” (secret marriage). Menurut
Terminologi Fiqh Maliki, Nikah sirri, ialah: Nikah atas pesan suami, para saksi
merahasiakannya untuk istrinya atau jama’ahnya, sekalipun keluarga setempat.
Madzhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri. Nikahnya dapat dibatalkan, dan
kedua pelakunya dapat dikenakan hukuman had ( dera atau rajam ), jika telah
terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian
empat orang saksi. Demikian juga Madzhab Syafi’i dan Hanafi tidak membolehkan
nikah sirri.
Menurut madzhab Hambali, nikah yang telah
dilangsungkan menurut ketentuan syari’at islam adalah sah, meskipun dirahasiakan
oleh kedua mempelai, wali, dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh.
1
Nikah siri dalam pandangan agama diperbolehkan sepanjang
hal-hal yg menjadi rukun terpenuhi. Namun perbedaannya adalah tak mempunyai
bukti otentik bila telah menikah atau dengan kata lain tak mempunyai surat sah
sebagai seorang warga negara yang mempunyai kedudukan yang kuat di dalam hukum.
Namun perlu dipikirkan dengan sungguh-sungguh dan tak tergesa-gesa bila Anda
memang ingin melakukan nikah sirri. Tidak ada salah Anda berjuang dahulu
semaksimal mungkin utk memberikan pengertian kepada keluarga agar Anda dapat
menikah secara formal.
Walaupun diperbolehkan oleh agama namun banyak
kekurangan dan kelemahan menikah siri antara lain bagi pihak
wanita akan sulit bila suatu saat mempunyai persoalan dengan sang suami
sehingga harus berpisah misal sedangkan anda tak mempunyai kuat secara hukum.
Di samping itu bagi anak-anak kita kelak yang nanti memerlukan kartu identitas
dan surat-surat keterangan lain akan mengalami kesulitan bila orang tua tak
mempunyai surat-surat resminya.
Oleh karena jangan jadikan nikah sirri'
hanya sebagai jalan pintas untuk keluar dengan mudah dalam mengatasi persoalan.
Tetapi coba dulu untuk berjuang dan melakukan sebagaimana umumnya.
Menurut
suatu riwayat, Khalifah Umar bin al-Khatthab pernah mengancam pelaku nikah
sirri dengan hukuman had. Menurut terminologi fiqh tersebut adalah tidak sah.
Sebab, nikah sirri itu selain bisa mengundang fitnah, tuhmah dan buruk sangka,
juga bertentangan dengan hadis-hadis Nabi, antara lain :
1. Artinya:
“Adakanlah pesta
perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan kambing”.(HR.Bukahri Muslim dll
dari Anas).
2
2. Artinya:
“Umumkanlah
nikah ini, dan laksanakanlah di masjid, serta ramaikanlah dengan menabuh
terbang.” (HR. al-Tirmidzi dari “Aisyah).
Menurut
hukum positif, nikah sirri sebagaimana dirumuskan dalam fiqh madzhab tersebut
di atas, juga tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan syari‟at Islam sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1)
UU No.1/1974 tentang perkawinan.
Ada
perkembangan pengertian dan praktek nikah sirri di kalangan masyarakat Islam
Indonesia. Ada 3 (tiga) tife:
Pertama,
nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut katentuan
syari’at islam ( telah memenuhi rukun dan syaratnya 0 tetapi masih bersifat
interen keluarga, belum dilakukan pencatatan oleh PPN, dan belum diadakan
upacara menurut islam dan adat (Walimatul ’urusy/resepsi perkawinan dengan
segala bunga rampainya). Pada tipe pertama ini, suami istri belum tinggal dan
hidup bersama sebagai suami istri, karena si istri belum tinggal dan belum
hidup dewasa. Biasanya si suami sementara menunggu kedewasaan si istri, ia
belajar di pondok pesantren atau tinggal bersama mertua untuk membantu
pekerjaan mertua. Motif nikahnya adalah untuk ketenangan, persiapan dan
kehalalan bahkan mungkin juga sebagai”kebanggaan” orang tua si gadis kecil.
Kedua,
nikah sirri diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi ketentuan syariat
Islam, dan juga sudah dilangsungkan di hadapan PPN dan telah pula diberikan
salinan akta nikah kepada kedua mempelai karena calon suami isteri sudah
memenuhi syarat-syarat sahnya nikah menurut hukum positif, termasuk telah
mencapai minimal usia kawin (vide Pasal 7 UU 1/1974). Namun, nikahnya masih
dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang sangat
terbatas, belum diadakan resepsi pekawinan. Pada tife kedua ini kedua insan
yang berlainan jenis kelaminnya itu belum tinggal dan hidup bersama sebagai
suami isteri, karena mungkin salah satu atau keduanya masih sedang
menyelesaikan studinya atau training kepegawaian atau perusahaan, atau belum
mendapatkan pekerjaan tetap sekalipun sudah sarjana.Motif nikahnya itu terutama
untuk mendapatkan ketenangan, persiapan dan kehalalan.
3
Ketiga, nikah
sirri diartikan sebagai nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan
syariat Islam, karena terbentur pada PP Nomor 10/1983 jo PP 45/1990 tentang
izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Pada tipe ketiga ini calon suami
mengawini calon isteri secara diam-diam dan dirahasiakan hubungannya sebagai
suami isteri untuk menghindari hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS (vide: PP No.10/1983 pasal 4
ayat (1) dan (13). Motif nikhanya itu terutama untuk pemenuhan kebutuhan
biologis yang halal (terhindar dari perbuatan zina menurut hukum Islam). Diharapkan
dapat persetujuan isteri yang terdahulu, atasannya, dan pejabat yang berwenang
serta izin Pengadilan Agama.
Menurut
penulis, nikah tipe pertama sebenarnya bukan nikah sirri, karena tidak ada
unsur ” sirri ”. Yang terjadi adalah kawin anak-anak, yang menurut fiqih sunni
tidak dilarang ( sah ) berdasarkan sunnah Nabi SAW yang menikahi ” Aisyah RA
yang belum baligh; sedangkan menurut Ibnu Syubrumah al-Dzahiri, nikah anak-anak
tidak boleh dan tidak sah5), karena banyak mudlaratnya. Dan berhubung keadaan
masyarakat kini telah jauh berubah ketimbang masyarakat di zaman Rasulullah SAW
sebagai akibat kemajuan IPTEK, data statistik menunjukkan kawin anak-anak banyak
membawa broken home, maka negara-negara Islam termasuk Indonesia melarang kawin
anak-anak, dan menetapkan batas minimal usia perkawian (karena alasan maslahah
murslah ). Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 UU No.1/1974 tentang perkawinan menetapkan
minimal usia kawin untuk pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun. Tetapi
pengadilan bisa diminta memberi dispensasi, jika ada alasan yang cukup.
Nikah
yipe kedua tampaknya juga tidak tepat jika disebut nikah sirri, karena tidak
ada unsur ’sirri” dan motif/niat nikahnya baik. Maka sahlah nikahnya menurut
hukum islam dan juga menurut hukum positif, karena nikahnya telah dilangsungkan
menurut syariat islam dan juga telah dicatat oleh PPN, sekalipun belum
diramaikan dengan walimatul ”urrusy dan tabuhan terbang/gamelan dan sebagainya
karena bukan rukun dan bukan syarat nikah melainkan perintah sunnah
(recomanded)
Adapun
nikah tipe ketiga itulah yang benar-benar bisa disebut “nikah sirri”, yang
dilarang oleh Islam, karena niat nikahnya dan prakteknya jelek, sebab bisa
merusak rumah tangga orang dan bisa merusak moral suami, serta dapat mendorong
suami berbuat kolusi dan korupsi, karena punya isteri simpanan alias WIL yang
bermasalah itu. Kecuali mendapat persetujuan isteri yang terdahulu, atasannya,
dan pejabat yang berwenang serta izin Pengadilan Agama.
4
III. PENGERTIAN DAN STATUS NIKAH DI BAWAH TANGAN
Istilah
“nikah di bawah tangan” muncul setelah UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan
berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Nikah di bawah tangan pada
dasarnya adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum. Dan nikah
menurut hukum adalah yang diatur dalam UU perkawinan. Dengan demikian,dapat
dirumuskan, bahwa nikah di bawah tangan, ialah nikah yang dilakukan tidak
menurut hukum. Dan nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap liar,
sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum.
UU perkawinan pasal 2 ayat (1) menegaskan, “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan
pasal 2 ayat (1) ini, disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa dalam bidang
perkawinan, hukum agama, termasuk hukum Islam telah mendapat kekuatan yuridis
dan materiil. Hal tersebut sesuai dengan maksud pasal 29 ayat (2) UUD 1945
dimana digariskan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu. Dan bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Kemudian pasal 2 ayat (2)
menegaskan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.” Dan PP Nomor 9/1975 pasal 2 ayat (1) menerangkan, “pencatatan
dari mereka yang melangsungkan perkawinan nenurut agama Islam, dilakukan oleh
Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954
tentang pencatatan Nikah ,Talak dan Rujuk”. Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) dari UU 1/1974 tersebut, hingga kini kalangan teoritisi dan
praktisi hukum masih bersilang pendapat tentang pengertian yuridis sahnya suatu
perkawinan. Ada dua pendapat para pakar hukum mengenai masalah ini:
Pertama, bahwa
sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi pasal 2 ayat (1) UU
perkawinan tersebut, yakni perkawinannya telah dilaksanakan menurut ketentuan syari‟at Islam secara sempurna (memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat nikah yan mumnya dianggap standar oleh dunia Islam. Mengenai
pencatatan nikah oleh PPN, tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi
hanyan kewajiban adminstratif saja.
5
Kedua,
bahwa sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan UU Perkawinan pasal 2
ayat (1) mengenai tatacara agama dan ayat (2) mengenai pencatatan nikahnya oleh
PPN secara simultan. Dengan demikian, ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut
merupakan syarat kumulatif , bukan alternatif. Karena itu, perkawinan yang
dilakukan menurut ketentuan syari‟at Islam tanpa pencatatan oleh PPN, belumlah dianggap sebagai perkawinan
yang sah. Dan perkawinan inilah yang kemudian setelah berlakunya UU Perkawinan
secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 terkenal dengan sebutan “nikah di bawah
tangan”. Menurut hemat penulis, pendapat yang lebih kuat dan mendasar dalam
masalah ini , baik dari segi hukum Islam maupun dari segi hukum positif, ialah
bahwa sahnya suatu akad nikah itu apabila, telah dilangsungkan menurut
ketentuan syari‟at
Islam, di hadapan PPN dan dicatat oleh PPN.
Adapun
dalil syarinya yang dapat memperkuat pendapat penulis tersebut,ialah :
1. Mentaati
perintah agama dan mentatati perintah negara /pemerintah, adalah wajib
sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat Al Nisa ayat 58:
Perintah
Al-Quran ini sangat positif , karena mendidik manusia untuk menciptakan masyarakat
yang sadar dan taat hukum agama dan hukum negara, demi terwujudnya
kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat.
2. Akta nikah
sebagai bukti otentik sahnya perkawinan seseorang, adalah sangat bermanfaat dan
masalahah bagi dirinya dan keluarganya (isteri dan anaknya) untuk menolak
kemungkinan di kemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan akibat
hukum dari perkawinannya itu (harta bersama dalam perkawinan dan hak
kewarisannya), dan juga untuk melindunginya dari firtnah, tuhmah/qadzaf zina
(tuduhan zina). Maka jelaslah, pencatatan nikah untuk mendapatkan akta nikah
itu sangat penting untuk saddud dari‟ah (preventive action) dan juga maslahah mursalah (good interest)”.
Adapun alasan
yuridis dari segi hukum positif yang memperkuat pendapat penulis ialah:
1. Maksud pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan itu telah dirumuskan secara
organik oleh pasal 2 ayat (1) PP Nomor 9/1975 tentang pelaksanaan UU
Perkawinan. Dan tatacara pencatatan perkawinannya lebih lanjut dijabarkan dalam
pasal 3 sampai dengan pasal 9 PP tersebut
6
Kemudian disusul dengan tatacara perkawinannya sampai mendapat akta nikah,
disebut dalam pasal 10 sampai dengan pasal 13 PP tersebut.
2. Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 /1991 dan Keputusan Menteri Agama
Nomor 154 /1991, Pasal 5,6 dan 7 ayat (1) menguatkan bahwa unsur pencatatan
nikah oleh PPN menjadi syarat sahnya suatu akad nikah.
3. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Putusan Nomor 1948/K/Pid/1991 tanggal 18
Desember 1991, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan “Perkawinan” menurut Undang-undang No.1/1974, PP No.9/1975, adalah
perkawinan yang dilangsungkan di hadapan KUA oleh petugas KUA yang berwenang
serta perkawinan tersebut didaftarkan menurut tatacara perundang-undangan yang
berlaku; karena itu perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut
dianggap tidak ada perkawinan, sehingga tidak dapat dipidanakan sebagaimana
dimaksud Pasal 279 KUHPidana (kurungan penjara 5 tahun).
4. Surat Edaran
Kepala BAKN Nomor 48/SE/1990 tentang petunjuk Pelaksanaan PP Nomor 45/1990
tentang perubahan atas PP Nomor 10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian
bagi pegawai negeri sipil, butir IX menegaskan , bahwa isteri
pertama/kedua/ketiga/keempat dari pegawai negeri sipil yang dinikahi sah, yaitu
yang dilakukan sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan Nomor
1/1974 diberikan Kartu Isteri.
IV. RUU Nikah Siri Memicu Kontroversi
Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum
Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan
tanpa dokumen resmi atau nikah siri memicu kontroversi.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) KH Hasyim Muzadi menilai pemidanaan nikah siri sebagai langkah tidak
benar. “Saya kira ini tidak
benar.Nikah siri cukup diadministrasikan saja. Harusnya yang lebih dulu
dipidanakan itu yang tidak nikah (berhubungan seks di luar nikah).Saya yakin
ini ada agenda tersembunyi untuk melegalkan yang melakukan seks bebas (free
sex) dan menyalahkan yang
7
nikah,”kata Hasyim di Gedung PBNU Jakarta
kemarin.
Pemerintah sejauh ini bersikukuh
memperjuangkan draf RUU yang sudah masuk Program Legislasi Nasional
(Prolegnas). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Patrialis Akbar
menegaskan, nikah siri perlu diatur agar ada kepastian hukum dalam pernikahan
dan kepastian hukum anak-anak mereka. “Jadi yang bagus kan nikah itu ada
suratnya.
Jadi jangan hanya, maaf ya, dalam tanda
kutip, lakilaki itu jangan sekadar make aja dong.Tanggung jawabnya di mana
dong? Lahir batin dong! Kanitu bagian dari perkawinan, jadi dia harus
bertanggung jawab. Kalau punya anak, anaknya jadi tanggung jawabnya,” ujar
Patrialis Akbar di sela-sela kunjungan ke LP Anak Kelas II A Tangerang
mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin.
Untuk diketahui, draf usulan RUU Hukum
Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menampung pasal tentang nikah siri
atau nikah yang tidak tercatat di kantor urusan agama (KUA).Pasal tersebut
menyebutkan, jika seseorang melakukan nikah siri atau melakukan kawin
kontrak,ia dapat diancam dengan pidana penjara.
Pasal 143 RUU UU yang hanya diperuntukkan
bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja
melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana
dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan
denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga
menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan
perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal
karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang
berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang
berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri
melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
8
Menurut Patrialias,masyarakat harus diberi
kesadaran bahwa nikah itu tidak sekadar nikah atau bohong-bohongan. Menurutnya,
banyaknya pria menikah di bawah tangan dan janda-janda muda menjadi stimulasi
agar hal tersebut perlu diatur. Ditegaskan, pengaturan pernikahan bukan berarti
negara ikut campur dalam masalah agama. “Kalau kehidupan bermasyarakat tidak diatur,masyarakat
bisa kacau.
Ya, kalau kehidupan beragama itu misalnya
begini, orang mengaji harus mengaji dari jam sekian sampai sekian, itu baru
namanya ikut campur,”jelasnya. Di tempat sama, Menteri Agama Suryadharma Ali
menuturkan bahwa draf RUU tersebut sudah dibuat sekitar lima tahun lalu atau
sebelum dirinya menjabat sebagai Menteri Agama. Karena itu, pembahasan mengenai
nikah siri akan kembali dilihat pasal demi pasal oleh fraksi-fraksi yang ada di
DPR.
Dari daftar inventarisasi masalah yang
telah masuk itu,akan muncul berbagai pandangan mengenai rancangan pasal
itu.“Mungkin saja ada yang cocok atau kurang cocok, mungkin nanti bertemu,
pemikiran yang lebih sesuai dari apa yang dikonsepkan sekarang,”ujarnya. Ketua
Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengakui, nikah siri dalam
syariah agama disahkan.
Namun dalam peraturan undang-undang hal
itu tidak bisa disahkan karena belum tercatat dalam administrasi negara. Untuk
itu, Suryadharma meminta para pelaku nikah siri untuk segera mencatatkan
perkawinannya ke KUA.“Mereka harus mencatatkan itu (pernikahannya ke KUA),
bukan berarti nikahnya nggak sah. Bila tidak sah kan berarti berzina
bertahun-tahun,”katanya.
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama
Nasarudin Umar menjelaskan, maksud draf RUU tersebut tiada lain hanya untuk
menjadikan kewibawaan perkawinan terjaga karena dalam Islam perkawinan adalah
hal yang suci. Selain itu,RUU ini diajukan terkait masalah kemanusiaan.
Dia berharap, adanya UU ini nantinya akan
mempermudah anak mendapatkan
9
haknya seperti dapat warisan, hak perwalian, pembuatan
KTP, paspor,serta tunjangan kesehatan dan sebagainya. Ketua Mahkamah Konstitusi
Mahfud MD menyatakan dukungannya terhadap draf RUU Hukum Materiil Peradilan
Agama Bidang Perkawinan.Dalam pandangannya, nikah siri itu lebih banyak
merugikan anak-anak dan kaum perempuan.
”Anak-anak yang lahir dari kawin siri itu
tidak diakui hukum dan tidak mendapatkan hak waris,” jelasnya di Gedung MK
kemarin. Mahfud menyatakan,perempuan yang dinikahi secara siri tidak diakui
oleh hukum sehingga jika seseorang mempunyai dua istri, kemudian istri pertama
adalah hasil pernikahan yang tercatat dan istri kedua adalah hasil nikah
siri,maka istri pertama sangat kuat di hadapan hukum.
”Jika istri pertama mengatakan saya istri
yang sah,maka hal itu tidak bisa dilawan dengan hukum, ”jelasnya.Kendati
demikian, dia menggariskan bahwa RUU tersebut perlu didiskusikan. Ketua Umum
Fatayat NU Maria Ulfa Anshor juga mendukung langkah pemerintah mengatur kawin
siri. Secara tegas dia menyatakan kawin siri dan kawin kontrak sangat berisiko
bagi perempuan untuk menjadi korban.
Dia menolak pendapat yang menyebut
pengaturan itu melanggar HAM walaupun perkawinan merupakan isu privat.
“Penegakan HAM bukan berarti semua hal yang terkait dengan persoalan privat
tidak ada aturannya. Negara mengatur dalam rangka memberikan koridor. Nikah
siri bisa berdampak timbulnya ketidakadilan bagi perempuan,”katanya.
V. Pidana Nilah Sirri
Inilah pasal-pasal
kawin siri yang dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil
Peradilan Agama Bidang Perkawinan, sebagaimana rancangannya diperoleh wartawan
di Jakarta, kemarin. Dalam pertimbangan, bahwa hukum materiil peradilan agama di bidang
perkawinan sebagaimana diatur dalam UU
10
Nomor 1 Tahun 1974 tentang UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya belum
memadai bagi Badan Peradilan Agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara sehingga perlu menggunakan landasan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
Selain
itu pertimbangannya bahwa dengan berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
mengatur tentang susunan, kekuasaan dan acara Peradilan Agama perlu
ditindaklanjuti dengan pembentukan UU yang mengatur tentang hukum materiil
peradilan agama di bidang perkawinan.
Bab
XXI yang mengatur ketentuan pidana dalam RUU tersebut, Pasal 143 berbunyi, “Setiap
orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan Pejabat
Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp6.000.000 atau hukuman kurungan paling lama 6
bulan.
Pasal
144 berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perkawinan mut’ah
sebagaimana dimaksud pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 2 tahun,
dan perkawinannya batal karena hukum.
Pasal
145, “Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan istri kedua,
ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp6.000.000 atau hukuman kurungan paling lama 6 bulan.
Pasal
146 berbunyi, “Setiap orang yang menceraikan istrinya tidak di depan
sidang pengadilan sebagaimana dalam pasal 119 dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp6.000.000 atau hukuman kurungan paling lama 6 bulan.
Pasal
147 berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang
perempuan yang belum kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang
ia menolak mengawininya dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 bulan.
Pasal
148 berbunyi, “Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 tahun
atau denda paling banyak Rp12.000.000.
Pasal 149
berbunyi, “Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan
bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim
11
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tahun.
Pasal
150, “Setiap orang yang tidak berhak sebagai wali nikah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 22, dan dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun. (Primair)
VI. Implikasi
Nikah Sirri terhadap Perempuan
KETIKA soal nikah siri dipolemikkan dalam kaitan
Rencana Undang-undang Peradilan Agama, wartawan Harian Warta Kota
rupanya segera teringat kepada Haji Rhoma Irama. Tak lain karena penyanyi
dangdut yang berdakwah lewat lagu itu pernah melakukan pernikahan siri
setidaknya satu kali, dengan artis Angel Lelga. Waktu itu sempat ada kehebohan
karena sang raja dangdut itu didapati bertamu lewat tengah malam ke ‘apartemen’
Angel. Tapi reda, setelah
Rhoma mengumumkan telah menikah siri dengan sang artis. Namun tak berapa lama,
pernikahan siri pasangan yang usianya berbeda jauh itu, berakhir dengan
perpisahan.
Koran ibukota itu mengutip komentar Rhoma Irama,
“Menurut pandangan saya, orang-orang yang membuat aturan-aturan ancaman hukum
bagi orang yang menikah atau kawin siri itu adalah orang-orang yang atheis”.
Atheis? Orang-orang Kementerian Agama yang ikut menyusun RUU itu, tidak
ber-Tuhan dong –sesuai pengertian terminologi atheis itu. Rhoma memperjelas
maksudnya dalam menggunakan istilah atheis, “Bukan tidak beragama, tetapi tidak
memihak dan tidak memahami agama”.
Pada kutub pendapat yang berbeda, Dirjen Bimas
Islam Kementerian Agama, Nazaruddin Umar, dikutip detikNews (Selasa,
16 Februari), latar belakang pengajuan RUU tentang Hukum Materil Peradilan
Agama yang antara lain memuat ketentuan pemidanaan bagi pelaku nikah siri dan
nikah kontrak, adalah masalah kemanusiaan. Banyak orang yang memilih memilih
menikah siri maupun nikah kontrak dengan dalih lebih baik begitu daripada zina.
“Alasan menghindarkan dosa zina justru bisa menimbulkan dosa lainnya seperti
penelantaran pasangan dan anak”. Menurut sang
12
Dirjen –yang tentunya sangat memahami agama Islam– kasus meninggalkan
pasangan begitu saja setelah pernikahan yang dicatatkan secara resmi sangat
jarang dibandingkan nikah siri atau nikah kontrak. Satu banding seribu.
Anak-anak hasil pernikahan resmi yang dicatat KUA, lebih mudah mendapatkan
hak-haknya seperti warisan, hak perwalian, dalam pembuatan KTP, paspor serta
tunjangan kesehatan dan sebagainya.
Ketua Umum PB Nahdatul Ulama, KH Hasyim Muzadi,
dengan alasan sedikit berbeda juga menolak pemidanaan pelaku pernikahan siri.
Tetapi ia tidak keberatan bila dilakukan sanksi administratif. “Tidak logis
pelaku nikah siri dihukum, sebab pada waktu yang sama, perzinaan, freesex, dan kumpul kebo dianggap bagian dari hak azasi manusia karena
suka sama suka”. Dalam Islam, pada nikah siri itu sudah ada wali dan dua saksi.
“Secara legal syariah sudah sah, tapi belum lengkap. Rasulullah memerintahkan
akad nikah tersebut diumumkan dan diresepsikan, walimah, sekalipun
perintah itu sunah, bukan wajib”. Apakah sunah Nabi itu tidak sederajat dengan
makna pencatatan pada masa sekarang, mengingat bahwa pada masa itu belum ada
budaya tulis menulis di tanah Arab? Sedang istilah siri itu sendiri, menurut
Prof Dr Syamsul Arifin dari Universitas Muhammadiyah Malang, berasal dari kata
Arab yakni sir yang berarti ‘diam-diam’ yang berlawanan hakekat dengan
walimah yang diperintahkan Nabi.
Dengan bahasa hukum yang lebih tegas, mantan Hakim
Agung, Dr Laica Marzuki SH, yang juga adalah pengajar Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, menyatakan sepantasnyalah pelaku nikah siri dipidanakan.
Nikah siri selalu berujung pada penderitaan pada pihak perempuan. Nikah siri
“mengorbankan anak-anak perempuan kita”. Pemidanaan pelakunya “tidak menyalahi
aturan agama”. Meski berbeda pandangan mengenai pemidanaan, Prof Dr Syamsul
Arifin (Kompas, 20 Februari), “Hal terpenting yang harus dipahami
adalah tujuan keterlibatan negara dalam hukum perkawinan adalah untuk kepastian
hukum yang bemanfaat meningkatkan jaminan hak hukum terhadap pasangan nikah dan
anak yang dihasilkannya”. Selama ini nikah siri yang dibolehkan oleh agama
dimanfaatkan sebagai modus poligami. Nikah siri di masyarakat terkait dengan
praktik nikah kontrak atau nikah mu’tah. Nikah jenis yang disebut
terakhir ini
13
adalah tindakan seorang lelaki menikahkan diri sendiri. KH MN Iskandar SQ
pernah melakukannya atas seorang perempuan janda yang almarhum suaminya adalah
salah seorang tokoh dalam Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984. Pernikahan
itu menjadi sorotan publik, tapi sejumlah tokoh agama tidak mempersalahkannya.
Silang sengketa mengenai RUU Peradilan Agama yang
antara lain menyangkut pemidanaan nikah siri, seakan mengulangi situasi pro
kontra di tahun 1973 saat RUU Perkawinan dibahas di DPR-RI.
Bersamaan dengan berbagai gerakan mahasiswa
menentang korupsi dan menuntut keadilan sosial, pada bulan September dan
Oktober tahun 1973 itu sebenarnya marak juga demonstrasi pemuda-pemudi Islam
menentang RUU Perkawinan di berbagai daerah dan terutama sekali di Jakarta
sendiri. Bagi sebagian umat Islam muncul anggapan, seperti yang dinyatakan
Professor Dr HM Rasyidi dalam Harian Abadi, bahwa RUU itu mengandung
tak kurang dari 7 pasal yang merupakan “Kristenisasi dalam selubung”. Dalam
bahasa yang lebih terang lagi, anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan
Amin Iskandar menyebutkan “RUU Perkawinan yang sekarang ini hanyalah terjemahan
dari peraturan yang berlaku untuk perkawinan orang-orang Kristen”. Dikaitkannya
retorika Kristenisasi dalam masalah ini juga terpicu oleh isu bahwa RUU ini
diluncurkan atas desakan kuat Ibu Negara Siti Suhartinah Soeharto yang menurut
isu itu adalah seorang penganut agama bukan Islam. (Beberapa tahun kemudian,
Ibu Negara turut serta bersama Presiden Soeharto menunaikan Ibadah Haji).
Tetapi sebenarnya polarisasi Islam versus Kristen
dalam soal RUU ini tidak seluruhnya dapat dianggap benar, karena dalam polemik
mengenai beberapa pasal, kerap pula terjadi perbedaan di antara sesama umat.
Misalnya saja, antara kelompok Islam yang dinilai ‘fundamental’ dengan kelompok
Islam yang dianggap menghendaki ‘pembaharuan sosial’ di kalangan umat. Ini
terlihat misalnya dalam perbedaan pendapat mengenai Pasal 3 ayat (1) yang
berbunyi “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri dan wanita hanya boleh mempunyai seorang
14
suami”. Sedang ayat (2) mengatur bahwa bilamana toh ada yang menginginkan
beristeri lebih dari satu ia harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
isteri sahnya yang sudah ada. Mereka yang menentang pasal ini mengatakan bahwa
Islam memperbolehkan seorang pria Muslim memiliki sampai 4 orang isteri. Dan
untuk beristeri lagi seorang laki-laki tidak perlu meminta izin isteri yang
ada. Sedang mereka yang ingin pembaharuan sosial di kalangan umat, tidak
keberatan dengan pembatasan dalam hal beristeri lebih dari satu. Toh pada
hakekatnya tidak melarang, melainkan hanya memperketat persyaratan dengan
memasukkan faktor persetujuan isteri yang sudah ada. Selain itu, tak sedikit
pula kaum perempuan yang menganut Islam, menyetujui pasal yang menjanjikan
kesetaraan dan perlindungan bagi mereka sebagai isteri dari kesewenang-wenangan
yang kerap dipraktekkan oleh sementara kaum lelaki atas nama agama. Akan tetapi
perempuan yang pasrah, lebih banyak lagi.
Demonstrasi terbesar dan dapat disebutkan sebagai
puncak dalam kaitan ini adalah aksi di DPR yang dikenal sebagai Peristiwa Akhir
Sya’ban, pada tanggal 27 September 1973. Penamaan Peristiwa Akhir Syaban adalah
karena memang peristiwa itu terjadi tepat di hari terakhir bulan Sya’ban tepat
satu hari sebelum memasuki bulan Ramadhan 1393 Hijriah. Demonstrasi yang
dilancarkan pemuda-pemudi Islam itu menggemparkan karena sampai saat itu baru
pertama kalinya terjadi suatu gerakan ekstra parlementer sedemikian di gedung
parlemen. Dalam satu seruan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar” yang
bergemuruh, ratusan demonstran berhasil menerobos ke ruang sidang paripurna DPR
memenggal jawaban Pemerintah mengenai RUU Perkawinan tepat pada saat Menteri
Agama Mukti Ali tiba pada bagian mengenai pertunangan dalam Fasal 13, pada
pukul sepuluh lewat 7 menit di hari Kamis 27 September itu. Dan setelah itu
hampir selama dua jam ratusan anak muda, termasuk pelajar-pelajar puteri
berkebaya panjang dengan kerudung putih, ‘menguasai’ ruang sidang DPR.
Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro menanggapi
dengan keras peristiwa ini. “Jangan salah terima kalau dalam situasi bulan
puasa pun kita bertindak”, cetusnya.
15
“Mungkin mereka berpikir, ini menghadapi bulan puasa, jadi ABRI akan
berpikir-pikir dulu kalau mau bertindak…. Puasa sih puasa. Kita juga memang
mikir dua kali. Tapi kalau membahayakan keamanan dan kepentingan negara, kita
juga terpaksa bertindak”. Lalu ia berkata lagi, “Yang saya cari, siapa nih yang
menggerakkannya”. Soemitro dalam hal ini bertindak sesuai patron penguasa yang
lazim waktu itu, yaitu mencari siapa dalang dari suatu peristiwa. Dua tokoh
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ishak Moro dan Yusuf Hasyim kontan bereaksi.
“Saya yakin mereka bergerak secara spontan”, ujar Yusuf Hasyim. Sedang Moro
menggambarkan peristiwa itu adalah letupan dinamika dari sejumlah anak muda
yang beragama Islam, yang tidak didalangi.
Ketika demonstrasi anti RUU Perkawinan ini masih
berkepanjangan, dan berbarengan dengan itu aksi-aksi mahasiswa mengenai modal
asing dan kesenjangan sosial juga mulai terjadi, Wakil Panglima Kopkamtib
Laksamana Laut Soedomo angkat bicara. Soedomo memperingatkan bahwa larangan
demonstrasi tetap berlaku di Indonesia. Menurut Soedomo, demonstrasi pemuda dan
pemudi Islam di DPR 27 September dan “demonstrasi-demonstrasi yang di Bandung”
akan diselesaikan secara hukum. Untuk itu di Jakarta telah terjadi
penahanan-penahanan, setidaknya ada 13 putera dan 1 orang puteri yang ditahan.
Tapi dapat dicatat bahwa di Bandung ada berbagai demonstrasi yang terjadi
secara beruntun, baik oleh Angkatan Muda Islam yang menentang RUU Perkawinan
maupun oleh para mahasiswa untuk pokok masalah lainnya. Maka saat itu belum
terlalu jelas apa dan siapa serta yang mana yang dimaksud Soedomo.
Menghadapi front yang terlalu luas berupa
berbagai aksi dengan tema dan sasaran berbeda, Presiden Soeharto kala itu
memilih jalan kompromi mengenai RUU Perkawinan. Dalam upaya kompromi antara
kalangan kekuasaan dengan kelompok politik Islam, beberapa tokoh HMI
menjalankan peranan penengah dengan baik, sehingga kemudian berhasil diperoleh
titik temu. Sementara itu, terhadap Fraksi Karya Pembangunan dan DPP
Golkar, dilakukan semacam tekanan oleh Pangkopkamtib Jenderal Soemitro yang
disebutkan berdasarkan perintah Presiden Soeharto. Pimpinan-
16
pimpinan Fraksi Karya Pembangunan dipanggil oleh Pangkopkamtib dan diminta
untuk mengubah konsepnya mengenai RUU Perkawinan dan diminta pula mengalah
menerima konsep Fraksi Persatuan Pembangunan dan atau PPP yang merupakan
gabungan partai politik ideologi Islam eks Pemilihan Umum 1971. Meski kecewa
dan merasa ‘dikhianati’ Soeharto, tak ada pilihan lain bagi Fraksi Karya
Pembangunan selain mematuhi perintah.
Praktek perkawinan poligami yang menjadi tuntutan
para pemimpin partai-partai Islam, dengan demikian diakui dan diterima dalam UU
Perkawinan yang berhasil disahkan setelah tercapainya kompromi. Tetapi pada
pihak lain, pernikahan dengan mekanisme pencatatan di Kantor Urusan Agama
diterima oleh para pemimpin politik Islam kala itu, namun tanpa sanksi pidana
bagi yang tidak melakukan pencatatan. Tidak pula ada pengaturan mengenai
pelaksanaan pernikahan yang tidak dilakukan melalui Kantor Urusan Agama. Nikah
siri –dengan segala eksesnya– pun bisa dilakukan dan tampaknya menjadi pilihan
bagi banyak kaum lelaki, terutama bagi mereka yang ingin beristeri lebih dari
satu, namun sulit memenuhi syarat UU yang mengharuskan adanya persetujuan
isteri pertama dan atau isteri-isteri terdahulu.
Selama hasrat kaum lelaki untuk berpoligami tetap
tinggi, tampaknya nikah siri akan tetap menjadi pilihan favorit dan untuk itu
akan ada ‘perjuangan keras’ guna mempertahankan kebebasan nikah siri tanpa
pemidanaan. Namun terlepas dari itu semua, secara faktual harus diakui bahwa
hingga sejauh ini agama maupun sejumlah kebiasaan dalam masyarakat, sejauh ini
tetap menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lemah.
VII. Implikasi
Nikah Sirri terhadap Anak yang Dilahirkan
Akad
nikah dan implikasuinya ( akibat hukumnya ). Menurut jumhur Ulama;akad nikah
ada dua macam :
Pertama, Akad yang sah sempurna, ialah Ialah
akad yang telah memenuhi semua rukun dan semua syarat sahnya nikah. Akad nikah
sempurna ini membawa akibat hukum yang luas, antara lain suami wajib memberi
mahar, nafkah lahir (makan, pakaian dan tempat tinggal)
17
dan nafkah batin
, isteri wajib taat dan setia kepada suami, adanya hak saling mewarisi antara
suami isteri dan adanya hubungan nasab anaknya dengan bapaknya.
Kedua, Akad yang rusak atau
batal/fasid Ialah akad yang salah satu rukun atau syarat sahnya nikah tidak
terpenuhi, misalnya antara suami isteri ternyata masih ada hubungan mahram,
atau wanitanya masih terikat perkawinannya dengan orang lain, atau kawin tanpa
wali atau saksi. Hukumnya wajib memisahkan diri atau dipisahkan atas putusan
hakim segera setelah diketahui cacat rukun atau syarat sah nikahnya. Dan
nikahnya tidak membawa akibat hukum apa pun, jika belum terjadi hubungan
seksual anatara keduanya. Dengan demikian , tidak ada mahar , nafkah dan iddah
dan tidak ada pula hak mewarisi antara keduanya. Tetapi jika telah terjadi
hubungan seksual antara keduanya, maka wajib difasakh nikahnya, sekalipun telah
cukup lama hidup sebagai suami isteri . Dan dalam hal ini , “isteri berhak
mendapat mahar dan ada iddahnya, serta si anak punya hubungan nasab dengan
bapaknya.
Mengenai
status anak yang lahir dari nikah sirri, maka apabila nikah sirri itu diartikan
menurut terminologi fiqh (nikah yang dirahasiakan atas permintaan suami), maka
menurut hukum Islam, anak mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sebab, anak
yang lahir dari hubungan syibhah saja ditetapkan nasabnya kepada bapak, apalagi
nikah sirri yang termasuk nikah yang diperselisihkan”boleh dan sahnya”oleh para
ulama. Karena itu, nikah sirri itu dianggap cacat /fasad yang ringan. Sedangkan
menurut pandangan hukum posiistif, anaknya hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Adapun
status anak yang lahir dari nikah di bawah tangan (nikah yang hanya memenuhi
pasal 2 ayat (1) saja dari UU Perkawinan), maka menurut hukum Islam, anaknya
sah dan mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sedangkan menurut hukum
posiitf, anaknya tidak sah, karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memenuhi
pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Karena itu, si anak hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (vide UU
Perkawinan Pasal 43 dan Kompialsi Hukum Islam pasal 100).
VIII. Penutup
A. SIMPULAN
1. Ada perbedaan antara nikah sirri dan nikah di
bawah tangan dari segi terminologi, historis dan yuridis,
18
2. Nikah sirri yang diartikan menurut terminologi fiqh, dilarang dan tidak
sah menurut hukum Islam, kaena ada unsur sirri (dirahasiakan nikahnya), yang
bertentangan dengan ajaran Islam dan bisa mengundang fitnah dan tuhmah, serta
dapat mendatangkan madarat/resiko berat bagi pelakunya dan keluarganya. Naikah
sirri juga tidak sah menurut hukum positif , karena tidak melaksanakan
ketentuan hukum munakahat yang baku dan benar, dan tidak pula diadakan
pencatatan nikahnya oleh PPN.
3. Istilah nikah di bawah tangan timbul setelah berlakunya UU Perkawinan
secara efektif tahun 1975. Hukumnya sah menurut hukum Islam sepanjang tidak
motifv “sirri”, karena telah memenuhi ketentuan syari‟ah yang benar. Nikah di bawah tangan ini juga tidak
sah menurut hukum positif, karena tidak memenuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam bidang hukum perkawinan
4. Status anak yang lahir dari nikah sirri menurut hukum Islam, adalah
anaknya mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya, karena cacat hukumnya ringan.
Sedangkan menurut hukum positif, anaknya tidak sah karena nikahnya tidak sah,
sebab tidak memnuhi pasal 2 ayat (1) ayat (2) UU Perkawinan.
5. Status anak yang lahir dari nikah di bawah tangan menurut hukum Islam,
adalah sah dan dengan sendirinya mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya.
Sedangkan menurut hukum positif,anaknya tidak sah karena nikahnya tidak sah,
sebab tidak memenuhi pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan.
6. Pelanggaran
terhadap perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan secara kumuilatif Pasal 2
ayat (1) dan ayat (2) tidak mempunyai alasan menurut hukum sebagai delict aduan
untuk dapat dikriminalisasikan/dipidanakan sebagaimana dimaksudkan pasal 279
KUHPidana.
B. SARAN-SARAN
1. Sesuai dengan kaidah hukum Islam : “Al-Khuruj minal
khilaf mustahabbun”, yakni “Menghindari perbedaan pendapat itu dianjurkan”,
maka ummat Islam Indonesia hendaknya dalam melakukan perkawinan, mematuhi
ketentuan hukum munakahat yang baku dan benar
19
serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang
hukum perkawinan.
2. Agar
terealisasinya tujuan hukum, yakni adanya kepastian, ketertiban dan manfaat di
dalam masyarakat, hendaknya lembaga legislatif tidak ragu lagi untuk mensahkan
Rancaangan Undang-Undang yang Mengkriminalisaikan/Mempidanakan bagi pelaku dan
siapa saja yang terlibat di dalam perkawinan Sirri tersebut, karena perkawinan
yang tidak memenuhi persyaratan secara kumuilatif Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
UU Perkawinan tidak dianggap ada perkawinan menurut hukum, sehingga tidak dapat
dijadikan delict aduan untuk dipidanakan sebagaimana dimaksudkan pasal 279
KUHPidana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Drs. Bakri A. Rahman, Drs. Ahmad Sukardja, S.H., Hukum Perkawinan
Menurut Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Penerbit
PT.Hidakarya Agung, 1981.
2. Drs. Damsyi Hanan, Pengertian Yuridis Sahnya Suatu Perkawinan
(catatan terhadap Dua Putusan Kasasi Yang Bertentangan), Mimbar Hukum No.23
Thn. VI 1995.
3. Hartono Marjono, S.H., Syarat Manakah yang Menentukan Sahnya
Perkawinan, Mimbar Hukum No.23 Thn. VI 1995.
4. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, “Nikah Sirri, Nikah di bawah tangan, dan
status anaknya menurut hukum Islam dan Hukum Positif,”Mimbar Hukum No.28
Thn VII 1996.
5. Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum Pusat,Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Juli 2004.
6.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu, vol. VII, Dar
al-Fikr, halaman 688